Laman

Minggu, 25 September 2011

Duh, KKN sejak TK


Oleh Sabrul Jamil

Kita sebut saja namanya Nenek Habibah. Tidak apa-apa, kan bukan nama sebenarnya. Nenek yang baik ini setiap hari mengantar jemput cucunya – si Habibah – yang sekolah di TK kami. Nenek ini dengan ikhlas menjalankan peran orang tua Habibah, yang tidak sempat mengantar jemput Habibah. Orang tua Habibah, suami istri, sama-sama sibuk bekerja. Pagi sekali sudah harus pergi. Malam baru kembali. Untung ada Nenek Habibah yang bersedia mengasuh Habibah. Dulu yang diasuh adalah Ibunya Habibah. Dari kecil sampai besar. Sekarang, setelah ibunya Habibah menjadi wanita karir, giliran cucunya yang diasuh. Mungkin sampai besar juga.
Pagi itu Nenek Habibah menyempatkan diri berkunjung ke TK kami, walau Habibah sudah lulus TK, sudah diwisuda. Nenek Habibah bermaksud memberikan masukan berharga ke istri saya, sang Kepala Sekolah .
“Saya khawatir TK ini lama-lama kehabisan siswa, terus ditutup,” demikian salah satu kalimat Nenek Habibah.
Wah, apa pasal? Kok sampai begitu serius masukannya?
Ternyata, Nenek Habibah menceritakan para tetangganya yang enggan memasukkan anak-anak mereka ke sekolah kami. Mereka enggan, sebab sekolah kami dinilai kurang kooperatif dengan SD. Sekolah lain mengadakan ‘kerjasama’ dengan SD Negeri favorit, dengan harapan siswa-siswa TK tersebut bisa dengan mudah masuk SD Negeri favorit di dekat tempat tinggal kami.
Pola kerja samanya sederhana. Para orang tua diminta menyediakan uang lebih, disetorkan ke pengelola TK. Pengelola TK, setelah mengutip sekian persen, menyerahkan sisanya ke pengelola SD. Dengan demikian, urusan akan lancar, dan semua senang. Pengelola TK kebagian, pengelola SD kebagian, dan anak kita masuk SD dengan melenggang. Asyik kan?
Ya, lancar dan senang. Asalkan tak peduli kualitas, asalkan tak hirau kompetensi, dan juga tak pusing rampas hak orang lain, juga sudah tak takut lagi dosa. Lebih jauh lagi, tak kasihan dengan anak-anak kita yang tidak tahu apa-apa.
Istri saya mendengarkan saja masukan Nenek tersebut. Dengarkan, senyum, karena toh Nenek Habibah terdorong memberikan masukan oleh rasa cintanya kepada almamater cucunya. Tapi mendengarkan kan tidak berarti setuju. Kami jelaskan baik-baik prinsip-prinsip kami.
Kami – saya dan istri – mendiskusikan temuan Nenek tersebut. Meski sudah jelas kami tak akan ikut-ikutan cara curang seperti itu. Kami memutuskan untuk menanyakan prosedur resmi yang seharusnya ditempuh. Kami juga minta kejelasan kriteria penerimaan siswa. Sejauh ini, setelah lebih dari lima tahun kami mengelola TK, siswa-siswi asal TK kami cukup banyak yang lolos seleksi masuk ke SD Negeri favorit. Masuk lewat prosedur resmi, tanpa uang pelicin dan cara-cara siluman lainnya.
Jadi, kenapa harus menggunakan cara curang?
Namun, jika ternyata situasi nantinya berkembang sedemikian rupa, sehingga semua warga di sekitar rumah kami hanya mau dengan cara itu, dan tak ada lagi yang mau bersekolah di TK kami yang dinilai tidak kooperatif, mungkin menutup TK sudah menjadi kehendakNYA. Tidak apa-apa, walau harus menggigit akar rotan sekalipun, seperti kata Rasulullah.
Tapi, sejauh yang kami telusuri, kriteria utama penerimaan siswa adalah faktor demografis, ketepatan usia, dan kesiapan bersekolah. Semua siswa kami yang memenuhi kriteria tersebut terbukti lolos. Fakta ini membuat kami berpikir, jangan-jangan kebanyakan orang tua enggan mencari tahu lebih jauh kriteria dasar ini. Mereka lebih memilih menelan gosip. Menelan mentah-mentah, dan bertindak begitu saja berdasarkan hal itu. Sayang seribu sayang.
Di sisi lain, fakta ini juga membuat kami berpikir betapa mudahnya seseorang kehilangan idealismenya. Semua orang benci korupsi, anti kolusi dan alergi nepotisme. Semua orang berteriak garang hantam korupsi. Kita akan mencibir semua koruptor yang ditayangkan di televisi, walau diam-diam terpesona dengan perolehan hartanya.
Tapi agaknya kita hanya marah jika itu dilakukan oleh orang lain. Jika diri kita sendiri yang berhadapan dengan situasi yang dilematis – seperti kasus penerimaan siswa SD ini – KKN jadi terlihat menjadi alternatif yang baik-baik saja. So what? Kan semua orang juga kayak begitu. Lupalah kita pada kebencian terhadap KKN. Muncullah berbagai justifikasi alias pembenaran. Toh hanya urusan kecil, kan enggak sampai seperti Nazarudin dan Gayus? Belum apa-apa lah urusan ini dibandingkan para koruptor besar itu. Jadilah kita sebagai salah satu penyumbang keruntuhan negeri ini.
Tapi kami yakin masih banyak yang mencintai dan mau memperjuangkan kebenaran di negeri ini. Tugas kita adalah berusaha menjadi bagian itu.

Sabruljamil at majelisanaksholeh.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar