Laman

Rabu, 19 Mei 2010

Terorisme: Perang Salib Baru?

Istilah terorisme bukan suatu hal yang kompleks, bahkan secara bahasa istilah ini tidak mampu memberikan arti secara menyeluruh. Lalu kenapa orang lambat sekali dalam menempatkan definisi istilah ini? Dari fakta yang ada, terdapat sebuah kedengkian di balik semua ini, karenanya dibutuhkan definisi yang menyeluruh termasuk variasi komponen-komponennya dan batasan-batasan yang diperlukan dari aspek yang berlawanan dengan komponen tersebut. Dalam fikiran banyak orang sekarang ini justru membutuhkan semua partai untuk mendefinisi istilah ini supaya tidak menjatuhkan hukuman pada orang yang tidak bersalah atas sejumlah tindak kejahatan dan sejumlah kebenaran yang disimpangkan.

Sayang sekali pemerintahan Barat terlalu terburu-buru menyikapi hal ini dengan mengeluarkan sejumlah hukum untuk memerangi terorisme dalam semua aspek kehidupan, juga membatasi gerak teroris dan menguras kering sumber-sumber pemasukan mereka yang pada akhirnya mengeliminasi mereka. Pemerintah Barat juga gagal mendefinisikan apa itu terorisme dan siapa teroris itu? Adakah yang terlihat lebih bodoh daripada melihat lembaga-lembaga pemerintahan seperti DPR dan gereja-gereja mengeluarkan argumen yang satu sama lain saling menentang dalam membahas Teror Bill (Undang-Undang Terorisme di UK, sebagaimana juga Undang-Undang Terorisme di negara-negara sekuler lainnya), tentang siapa yang ditahan dan siapa yang dibebaskan, siapa yang dipenjara dan siapa yang diizinkan untuk bebas hidup di atmosfer bumi ini?

Teror Bill menjadi politik sepak bola antara DPR (House of Representative-DPRnya Inggris) dan pihak gereja. Dalam setiap pertemuan mereka berselisih dan diakhir pertemuan isu-isu tersebut dibuang dan dilupakan begitu saja, walaupun mereka sama-sama marah terhadap terorisme dan pelakunya, akan tetapi mereka tidak menggambarkan siapa teroris itu, siapa yang mereka perangi dan mereka lawan atau siapa yang ingin mereka tawan. Istilah terorisme dilebarkan/diluaskan definisinya dengan kepandaian berbicara mereka dan dengan istilah-istilah kontroversial di era saat ini. Belum lagi jika kita memperhatikan dunia sekitar dari orang-orang yang menggunakan dalih pembelaan dengan dalih "Perang Melawan Terorisme". Kita dapati mereka meluaskan arti tanpa terkecuali pada Muslim yang jujur, ikhlas, benar dan tekun beribadah. Hal ini menimbulkan 100 pertanyaan yang muncul di benak kita berkenaan dengan maksud dan tujuan dari pemerintah Barat dan pemerintahan murtad sekuler lainnya dalam perang mereka melawan terorisme, termasuk pertanyaan, apakah ini perang melawan terorisme (yang tetap tidak terdefinisikan) atau perang melawan Islam dan kaum Muslimin ?

Kita tidak akan menempatkan definisi sesuai dengan Islam karena terorisme sudah menjadi kristal yang amat jelas bagi seorang muslim. Sesungguhnya Islam tidak akan pernah memberikan arti yang bermakna ganda berkaitan dengan masalah apapun. Bagaimanapun dalam analisis singkat ini, kami sepertinya akan menyoroti alasan yang telah dibuat oleh senat di Amerika, PBB dan parlemen-parlemen di Eropa, rumah-rumah dewan dan pihak gereja, serta di negara-negara atau rezim murtad sekuler boneka Barat yang mengklaim ahli dalam menempatkan hukum dan perundang-undangan serta ahli dalam mempermainkan peran Tuhan dalam kehidupan, menunda definisi tersebut untuk diinformasikan kepada kita apa itu terorisme dan siapa teroris itu dengan tujuan agar kita mengakui salah satu pendapat dari mereka.

Kesimpulannya:

(i) Sebagai seorang Muslim kami berfikir bahwa menunda persoalan ini atas definisi terorisme oleh pemerintah Barat disebabkan oleh dalamnya akar historis perang salib, diniatkan atau tidak, secara fakta melawan Islam dan kaum muslimin karena mereka tidak mengijinkan keberadaan Muslim yang ikhlas, definisi teroris dalam kacamata pemerintah Barat lebih menyoroti masalah peran dan perkembangan dakwah Islam, jika mereka menemukan pada diri Muslim maka mereka akan dijatuhkan definisi teroris. Dengan kata lain definisi ini akan menteror setiap Muslim yang beriman karena ia dapat berpotensi menjadi subyek teroris yang rawan untuk dipenjara dan ditahan. Ini akan menggerakkan seorang Muslim untuk menganggap hina satu sama lain dan mendorong jutaan Muslim lainnya untuk menghentikan pelaksanaan agama mereka sendiri atau memaksa mereka untuk menjadi defensif dalam semua aspek kehidupan karena takut untuk dipenjara.

(ii) Pemerintah Barat telah gagal untuk mendefinisikan istilah terorisme, karena mereka khawatir akan mujahidin yaitu para pejuang kebebasan, berperang untuk memerdekakan (membebaskan) tanah kelahiran mereka, mungkin juga mereka mengambil manfaat dari keadaan tersebut sehingga meniadakan definisi istilah tersebut. Penegasan istilah terorisme justru akan mendorong umat muslim di UK (Inggris) atau di bagian dunia lainnya lebih terdorong untuk mengumpulkan dana dan dukungan atas saudara muslim mereka yang berperang melawan invasi asing seperti yang telah mereka kerjakan selama beberapa tahun dalam memberikan dukungan atas mujahidin di Palestina, Bosnia, Chechnya, Kashmir, Libanon Selatan dan lain-lain melawan invasi yang mayoritas dilakukan oleh pemerintahan Barat sendiri dan tentara-tentaranya seperti tentara AS, UK (Inggris) dan negara-negara Eropa lainnya yang berada di Afghanistan, Iraq dan lain-lain. Mereka melarang semua group-group/kelompok-kelompok jihad yaitu para pejuang kemerdekaan di seluruh dunia, mereka dihubung-hubungkan dengan aksi terorisme beberapa waktu lalu, mereka mulai ditahan/dipenjara karena memiliki latar belakang pernah mendukung organisasi-organisasi teroris walaupun ketika itu masih belum ada undang-undang yang tertulis yang mengaturnya akan tetapi sebaliknya pemerintah Barat melakukan legitimasi hukum dengan studi kasus termasuk apa yang terjadi saat ini membubarkan organisasi-oraganisai Islam dan menangkapi aktivisnya dengan melabelinya sebagai teroris.

(iii) Definisi terorisme dan pembuatnya menjadi standart internasional akan mencegah banyak pemerintahan di dunia untuk melakukan bentuk terorisme melawan oposisi mereka. Dapat dipastikan akan terjadi gencatan senjata di negara-negara yang memiliki catatan tertinggi angka diskriminasi dengan melawan rakyat mereka sendiri karena latar belakang warna kulit, agama atau perbedaan pandangan sebagaimana yang terjadi di AS, Jerman, Israel dan semua rezim di Timur Tengah, Asia dan negara-negara Timur Jauh.

(iv) Jika istilah terorisme didefinisikan dan disetujui secara internasional maka ini akan mempermudah dalam menyalahkan/menolak negara-negara yang mengirimkan tentara mereka melawan negara berdaulat yang lain dan akan mencegah campur tangan dalam negara lain, contoh campur tangan AS di Panama, Iraq dan Afghanistan atau Rusia di Chechnya dan sekarang AS di Dalfur, Sudan dan lain-lain.

(v) Definisi terorisme akan menunjukkan bahwa pemberontakan rakyat Palestina adalah suatu perang yang sah dan layak untuk mendapatkan dukungan atau akan menjadikan legal/sah bagi umat Muslim di dunia untuk mendukung mereka. Definisi terorisme secara mutlak menjadikan negara Israel sebagai pasukan penjajah dan Israel layak untuk diperangi dan dilawan.

(vi) Definisi terorisme akan membuat pemerintahan seperti Amerika dan Inggris sebagai pemerintahan yang patut dicela karena melakukan praktek terorisme melawan banyak orang-orang Muslim yang menentang hukum buatan manusia, orang-orang muslim ditahan dan didiskriminasi, ditentang atau aktivitas mereka dilarang dibawah dalih terorisme seperti halnya pelbagai jama'ah kaum muslimin yang di bekukan diberbagai negara dan individu-individu yang ditahan seperti Khalid Al Fawaaz, Syeikh Abu Qatadah dan Syeikh Abu Hamza Al Misry.

(vii) Definisi istilah terorisme tidak menjadi target kepentingan orang munafik seperti MCB, MAB dan MPAC (organisaisi-organisasi sekuler liberal di UK) atau organisasi-organisasi yang lain yang menampakkan titel "moderat", organisasi-organisasi yang menjadi penyeru kedamaian dari pemerintah Inggris dan organisasi Islam gadungan karena mendiamkan umat yang mengalami teror kemudian masih saja mampu untuk mempromosikan kekotoran mereka terhadap syariah dan menyimpangkannya dengan nama Islam yang dipalsukan dalam versi Barat; menekankan kedaulatan untuk ratu atau pemerintahan murtad sekuler, menyerukan umat muslim untuk kafir (murtad) dengan bergabung ke parlemen, badan intelejen (untuk memata-matai aktivis dan kaum muslimin), polisi dan tentara serta menyerukan mereka untuk berintegrasi ke jalan hidup kufur dan menghalalkan apa yang Allah SWT larang seperti riba, mempromosikan pergaulan bebas dan berpartisipasi dalam pemilu, menyerukan dialog antar umat beragama dan lain-lain.

Karenanya membiarkan istilah terorisme tidak terdefinisi justru akan menteror umat dan akan membiarkan MCB untuk mengungkapkan pernyataan yang salah terhadap orang-orang Muslim yang benar serta mengklaim mengontrol lebih dari 1000 mesjid, sebagaimana mereka telah mengontrol pemilihan presidensil yang hanya memiliki satu kandidat yaitu presiden dari Mesir atau Libya dan orang yang menang adalah yang menguasai suara mayoritas dengan ketiadaan kandidat oposisi yang lain.

Atas alasan di atas kami menantang pemerintah Barat, termasuk pihak gerejawan dan anggota dewan bahwa jika ini bukan sebuah perang salib melawan Islam dan kaum muslimin, lalu kenapa penyatuan definisi teroris tidak pernah mereka buat? Itu karena akan menjadikan mereka sebagai orang pertama yang akan disalahkan oleh dunia karena aplikasi terorisme yang telah mereka perbuat kepada yang lain. Bagaimanapun, sangat jelas bahwa mereka tidak ingin mendefinisikannya agar dapat menjaga kebebasan mereka dalam bertindak, bebas melarang atas yang lain dan menjaga slogan retorikal berperang melawan terorisme, karena alasan itu dianggap sangat elastic (pasal karet), juga memungkinkan bagi mereka untuk campur tangan dalam urusan negara lain kapan saja mereka inginkan dan menyimpangkan kebebasan masyarakat (sebagaimana definisi mereka) melawan individu yang menantang kepentingan mereka dan terlebih lagi kepentingan historis dalam perang salib melawan Islam dan kaum muslimin khususnya orang-orang yang menjadi ahlul tauhid.

Baru-baru ini kami mendengar sebuah berita baru tentang seorang laki-laki yang menyerang Parlemen Swiss dan membunuh 14 orang anggota parlemen, walaupun secara fakta dia tidak membunuh begitu banyak anggota parlemen dan sempat melukai banyak orang. Komentar pertama yang keluar dari juru bicara kantor tempat kejadian, itu bukanlah sebuah aksi teroris dan tidak berhubungan dengan terorisme, seluruh isu berkaitan dengan itu ditutup rapat-rapat sepertinya kejadian itu tidak pernah terjadi karena pelakunya orang swiss dan non muslim.

Tidak diragukan lagi seandainya dia adalah seorang muslim maka insiden tersebut akan dilabeli dengan aksi terorisme. Dia sendiri beserta keluarganya akan dikatakan sebagai teroris dan umat muslim di seluruh dunia juga akan dilabeli sebagai kaki tangannya. Kejadian tipe ini dan yang lainnya serupa, yang menimbulkan beberapa pertanyaan berkaitan dengan teroris ini, sebesar apakah tentara yang akan disiapkan untuk membasmi teroris dan siapakah yang ingin mereka basmi dan ingin mereka kuras kekayaannya?

Pandangan sekilas di seluruh dunia yang akan muncul akan menampakkan banyaknya organisasi-organisasi yang dermawan (bergerak di bidang sosial) yang dikelola oleh orang-orang Muslim justru itu yang banyak ditutup dan dilarang dan sumber-sumber kekayaan mereka dibekukan. Fenomena ini akan membuat kita semakin percaya bahwa sumber-sumber kekayaan yang mereka ingin kuras justru dari pihak orang-orang yang mendukung/membantu orang-orang miskin dan orang-orang yang membutuhkan.

Adapun para pengungsi Muslim yang ada diseluruh dunia adalah korban dari terorisme internasional yang diperankan oleh AS dan Inggris beserta anak haram mereka yang dikenal dengan sebutan negara Israel. Jika mereka benar-benar ingin menghentikan dukungan terhadap kriminal perang yaitu penjahat zionis dan negara Israel serta pendukung-pendukung mereka yang merupakan rezim yang angkuh di seluruh dunia seperti Mesir, Libya, Pakistan, Saudi Arabia, Iran, Turki dan lain-lain.

Karena alasan-alasan tersebut dan banyak alasan lainnya, kami tidak meragukan bahwa tidak terdefinisikannya istilah terorisme secara tegas adalah bagian dari perang melawan Islam dan umat muslim yang didukung pula oleh orang-orang munafik yang mengaku sebagai seorang muslim seperti pemerintah Saudi Arabia yang mendeklarasikan dukungan penuh atas terorisme AS dan negara-negara seperti Iran yang menyerukan kematian atas Amerika, akan tetapi ketika Amerika mendapat serangan, mereka sholat jenazah untuk mereka, selama beberapa menit suasana menjadi hening (turut berduka cita) dan bahkan yang lebih parah lagi mereka menutup daerah perbatasan mereka dengan Afghanistan sehingga tidak memberikan kesempatan kepada laki-laki atau wanita untuk selamat dari bom-bom Amerika dengan alasan yang sangat sederhana hanya karena orang-orang muslim di Afghanistan adalah golongan Sunni.

Ada banyak contoh lain yang menunjukkan bahwa perang melawan terorisme diorganisasi oleh orang-orang salib demi melawan Islam dan umat Muslim yang ikhlas. Perang itu akan berlangsung terus antara kebenaran dan kebathilan. Bagaimanapun pada akhirnya kemenangan adalah sebuah permasalahan yang telah ditakdirkan akan diraih oleh golongan yang benar, kaum Muslimin. Insya Allah.

(M Fachry/Ikhwan UK/arrahmah.com)

Senin, 17 Mei 2010

Aktivis JAT, Susno, dan Century

alt
Kaum muslimin rahimakumullah,

Beberapa waktu lalu secara mengagetkan sejumlah aktivis Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) ditangkap oleh Densus 88 di markas jamaah yang dipimpin oleh Ustadz Abu Bakar Ba’asyir ini di kawasan Pejaten Jakarta Selatan. Mereka ditangkap dengan tuduhan sebagai teroris daqn oleh karenanya 7x24 jam setelah penangkapan tidak boleh dijenguk keluarga.

Sehingga ketika keluarga para aktivis yang menjenguk mereka di Mabes Polri bersama Koordinator TPM, Ahmad Michdan tidak bisa ketemu mereka dan kabarnya hanya ditunjukkan foto mereka. Menurut penuturan Michdan di TV, keluarga khawatir mereka diperlakukan secara zalim sebagaimana yang telah menimpa Muhammad Jibril Abdurrahman yang dianiaya di dalam tahanan sekalipun sebelumnya telah dikatakan oleh petinggi Densus 88 bahwa mereka tidak disentuh.

Kaum muslimin rahimakumullah,

Para pengamat di Jakarta menilai bahwa penangkapan sejumlah pengurus dan aktivis Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) di kantor secretariat mereka di Jakarta itu sebagai salah satu upaya untuk menjebloskan kembali KH. Abu Bakar Ba’asyir ke dalam penjara. Sebab, pengasuh pondok pesantren AL Mukmin Ngruki Jawa Tengah ini memang sudah ditarget. Dulu begitu meledak Bom Bali 1 pada tahun 2002, kyai yang tegas dan lantang bicaranya dalam menyampaikan ajaran Islam itu dituduh sebagai otak pengeboman yang menewaskan ratusan orang itu dan divonis 1,5 tahun penjara.

Namun keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu dianulir oleh Mahkamah Agung dengan putusan beliau tidak terbukti sebagai otak pengeboman tersebut. Beliau dibebaskan berdasarkan keputusan MA tersebut, sekalipun secara riil beliau menjalani seluruh masa pemenjaraan karena keputusan MA datang setelah beliau menjalaninya. Artinya, terkait dengan konstalasi implementasi global war on terrorism yang dilancarkan pemerintahan AS sejak masa Bush, maka secara politik Ustadz Abu yang sangat vocal sebagai ulama yang anti AS dan selalu mendorong diterapkannya ajaran Islam oleh negara secara kaffah ini memang harus dipenjara.

Kaum muslimin rahimakumullah,

Selain analisa di atas juga ada analisa bahwa penangkapan para aktivis JAT itu adalah salah satu upaya untuk mengalihkan perhatian masyarakat terhadap kasus bail out yang dilakukan oleh mantan Gubernur BI yang kini jadi Wapres Boediono dan mantan ketua KSSK Menkeu Sri Mulyani kepada Bank Century sebesar 6.7 T. KPK yang baru-baru ini memamerkan tontonan yang tidak sedap, yakni mendatangi istana Wapres dan kantor Menkeu dalam rangka memeriksa mereka telah menyulut banyak protes dari berbagai pihak.

Dan Sri Mulyani pun secara spektakuler tiba-tiba dipinang Bank Dunia untuk menjadi managing director Bank yang menebar jala rente ke seluruh dunia itu. Anehnya, Presiden SBY justru memberikan ucapan selamat sebagai tanda lampu hijau bagi Menkeu dan KPK pun dengan terang-terangan mengatakan tidak perlu mencekalnya. Ini semua memicu berbagai tanda Tanya di masyarakat. Apa sebenarnya yang terjadi. Oleh karena itu, penangkapan aktivis JAT diperkirakan bisa mengelabui masyarakat.

Kaum muslimin rahimakumullah,

Belum cukup dengan pameran arogansi polisi pada penangkapan para aktivis JAT, polisi memamerkan arogansinya pada penangkapan mantan Kabareskrim Komjenpol Susno Duaji yang baru-baru ini membongkar para jenderal di Mabes Polri yang terlibat dalam makelar kasus (markus) di Mabes Polri terkait kasus rekening 25 M yang dimiliki pegawai pajak golongan 3A, Gayus Tambunan dan kasus penipuan pada penangkaran Arwana.

Susno yang selama ini vocal melawan para markus dan oknum petinggi polri yang dianggapnya telah mengkhianati institusi Polri itu sendiri dijadikan tersangka meskipun tanpa bukti, tapi hanya berdasarkan keterangan orang-orang yang terlibat markus yang dibongkarnya. Oleh karena itu, istrinya, Herawati menulis surat terbuka aduan kepada ibu negara, Ani SBY dan disiarkan secara langsung oleh media massa. Herawati melaporkan kezaliman yang dihadapi oleh keluarganya dan keyakinannya bahwa suaminya bersih dari segala tuduhan elit Polri. Namun toh Susno tetap ditahan dan dipindahkan dari kamar tahanan Bareskrim Mabes Polri ke Mako Brimob Kepala Dua.

Demikian juga reaksi keprihatinan dari Ketua DPR Marzuki Ali dan Komnas HAM serta berbagai pihak tidak menyurutkan tekad polisi menahan mantan Kabareskrim itu. Tidak sedikit keprihatinan para ulama atas penangkapan dan penahanan tersebut disampaikan melalui FUI. Artinya, penangkapan dan penahanan terhadap Jenderal Bintang Tiga yang kabarnya anti judi dan kemaksiatan serta anti setoran itu sudah menjadi sabda pandito ratu!

Kaum muslimin rahimakumullah,

Apa yang telah kita bahas di atas adalah paparan tentang berbagai ketidak adilan dan upaya pengalihan perhatian masyarakat dari kasus skandal penyalahgunaan yang sangat besar, yakni kesalahan kebijakan bail out century. Masyarakat pun akan skeptis kepada institusi Polri.

Mereka akan khawatir kalau melaporkan suatu kasus kejahatan, sebab bisa-bisa bernasib sial seperti Jendral Susno, justru dijadikan tersangka! Aneh, Susno yang sering disebut namanya oleh persidangan para marskus di propam Mabes Polri dan disebut oleh Syahril Johar menerima uang 500 juta langsung ditangkap dan ditahan, sementara yang terlibat kejahatan kebijakan bail out 6,7T malah dibiarkan melenggang kemana-mana, bahkan tidak dicekal. Jelas ini pameran ketidakadilan.

Kaum muslimin rahimakumullah,

Islam mengajarkan bahwa siapapun yang diberi wewenang hukum, wajib berbuat adil. Allah SWT berfirman:

Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. AL Maidah 8).

Kaum muslimin rahimakumullah,

Allah SWT memerintahkan kepada kita semua untuk tetap di jalan yang benar dan tidak berpihak kepada siapapun yang berbuat zalim. Allah SWT berfirman:

Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang Telah Taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, Kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan. (QS. Huud 112-113).

Kaum muslimin rahimakumullah,

Dan janganlah ada pihak-pihak yang menjadi alat kekuasaan yang menjalankan angkara murkanya. Rasulullah saw. bersabda:

"سَيَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ شَرَطَةٌ، يَغْدُونَ فِي غَضِبِ اللَّهِ، وَيَرُوحُونَ فِي سَخَطِ اللَّهِ، فَإِيَّاكَ أَنْ تَكُونَ مِنْ بِطَانَتِهِمْ".

Di akhir zaman akan ada polisi-polisi yang di pagi hari membuat Allah marah dan di sore hari membuat Allah murkan, maka janganlah menjadi teman-teman mereka” (HR. Tabrani).

Semoga bangsa yang mayoritas muslim ini menyadari hakikat masalah ini dan segera mengembalikan kepada jalur yang benar sesuai dengan tuntunan syariat Allah SWT.

Baarakallah lii walakum!
(Buletin Ad Dakwah/Tuesday, 11 May 2010 21:41 | PostAuthorIconWritten by Ahmad Fahmi | PDF Print E-mail)
Susno Tetap Gak Mau Diperiksa Sebagai Tersangka
Senin, 17 Mei 2010 /Republika OnLine » Breaking News
Respons Pesan Jihad Abdullah Sonata, Polri-FBI Blokir Situs Teroris
JAKARTA - Mabes Polri bergerak cepat dalam merespons pesan jihad Abdullah Sonata di internet. Setelah dimuat Jawa Pos kemarin (16/5), situs yang beralamat di http://7ihadmedia.wordpress.com tersebut diblokir. Hal itu terjadi setelah Cybercrime Bareskrim Mabes Polri berkoordinasi dengan Biro Penyelidik Federal AS (FBI).

''Saya mendapat informasi dari Kombespol Faisal dari cybercrime bahwa sudah ada koordinasi dengan FBI terkait dengan situs internet itu,'' ujar Kepala Bidang Penerangan Umum Mabes Polri Kombespol Zulkarnaen kepada Jawa Pos kemarin.

Menurut dia, Mabes Polri tidak bisa menghambat seseorang membuat situs yang proteroris. ''Itu kewenangan Wordpress yang berkantor pusat di Amerika Serikat. Mereka punya free space untuk setiap orang yang berkreasi,'' katanya.

Sebelumnya, Sonata yang menjadi buron utama Densus 88 Mabes Polri mengirimkan pesan dari tempat pelariannya. Dalam naskahnya, Sonata yang disebut-sebut sebagai pengganti dan penerus Dulmatin (teroris buron yang ditembak mati beberapa waktu lalu) meminta bantuan para alumnus daerah konflik dan eks narapidana terorisme untuk bergabung (Jawa Pos, 16/5). Sonata juga mengecam mantan teroris yang justru membantu polisi.

Zulkarnaen menjelaskan, dalam kasus terorisme, biasanya respons AS lebih cepat.

''Ini kasus yang khusus. Jadi, ada atensi tersendiri,'' ujarnya.

Ucapan mantan Kabid Bina Mitra Mabes Polri itu memang terbukti. Nyatanya, website itu tutup kemarin sore. Meski begitu, ada beberapa yang lolos blokir. Misalnya, http://azzamalqitall.wordpress.com masih bisa diakses.

Koordinasi Unit Cybercrime Mabes Polri dengan FBI juga dilakukan untuk melacak otentisitas pembuat pesan. ''Koordinasi itu termasuk dalam rangkaian pengungkapan jaringan pendukungnya di dunia maya (internet),'' tutur Zulkarnain.

Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring berjanji segera mempelajari isi website pendukung teroris Abdullah Sonata. Jika benar-benar menyimpang dan membahayakan, pihaknya akan berupaya menutup situs tersebut.

''Tapi, itu juga tidak mudah. Jika domain situs tersebut berada di Indonesia, kami bisa menutup. Tapi, kalau wordpress.com, itu yang sulit,'' ucapnya saat dihubungi Jawa Pos via ponsel kemarin.

Menurut Tifatul, situs tersebut memiliki domain di Amerika. Jadi, pihaknya tidak bisa menutup. ''Kami hanya bisa mengirimkan surat agar mereka memblokir alamat situs itu,'' ucapnya.

Tetapi, biasanya setelah dihapus situs itu muncul lagi dengan alamat yang berbeda. Nah, itulah yang menjadi masalah bagi Kemenkominfo. Tifatul hanya berjanji akan memelototi situs-situs yang menyim­pang dan menyaringnya.

Sementara itu, Zulkarnaen menjelaskan bahwa konsentrasi Densus 88 memang tertuju kepada Sonata. Sebab, peran teroris berusia 32 tahun itu sangat sentral dalam perekrutan anggota baru. ''Dia termasuk pengurus inti (jaringan),'' kata Zulkarnaen.

Korps burung hantu berusaha meringkus Sonata hidup-hidup. ''Itu prinsip utama kami, apakah dia pengurus inti, pendukung, donatur, atau simpatisan. Kami semaksimal mungkin berusaha menangkap hidup,'' ujarnya.

Alasannya, jika mereka tewas, jalur informasi akan terputus. Di antara 73 orang yang ditangkap dalam rangkaian pengungkapan jaringan teroris sejak kasus bom Marriott 2009, 13 orang terpaksa ditembak mati. ''Kami sebut itu terpaksa karena ada perlawanan. Bagi mereka, itu mati syahid. Jadi, membahayakan anggota (Densus) di lapangan,'' terangnya.

Saat ini Sonata diduga menggantikan peran Dulmatin yang tewas di Pamulang, Tangerang. Dia mengoordinasi kelompok pendukung dan juga menyuplai senjata. Maulana, yang menjadi supplier utama senjata jaringan itu, sudah tewas. ''Kami duga peran Maulana digantikan oleh seorang bernama Kamaluddin,'' ujar sumber Jawa Pos kemarin.

Menurut dia, satu jenazah yang hingga kini belum bisa dikenali diduga sebagai Imron Baehaqi alias Musthofa alias Abu Tholut, komandan lapangan yang juga alumnus Mindanao. Namun, data ante-mortem dan post-mortem ternyata tidak cocok. ''Itu berarti Abu Tholut masih berkeliaran, sangat berbahaya,'' kata anggota Ikatan Keluarga Pratisara Wirya itu.

Abu Tholut mempunyai kemampuan militer setara dengan Mustaqim (sudah tertangkap). Dia juga residivis yang divonis di Pengadil­an Negeri (PN) Jakarta Timur pada 11 Mei 2004.

Saat itu jaksa mendakwa Abu Tholut hendak melakukan tindak pidana terorisme. Itu terkait de­ngan ditemukannya bukti-bukti berupa senjata api dan bahan peledak di Jalan Taman Sri Rejeki Selatan VII/2, Semarang; Perumahan Permata Hijau Permai Blok F-11 No 16 RT 07/18 Kali Abang Tengah, Bekasi Utara; Jl Kebagusan III No 63 Pasar Minggu, Jakarta Selatan; dan Jl Cakrawijaya III Blok I No 22 RT 02/12 Cipinang Muara, Jakarta Timur.

Abu Tholut yang disebut jaksa sebagai salah seorang pimpinan manthiqi III di struktur Jamaah Islamiah itu juga didakwa hendak membunuh konglomerat Ciputra yang dituding sebagai dalang kristenisasi di Indonesia.

Menurut jaksa, rencana pembunuhan itu semula akan dilakukan saat rapat umum pemegang saham luar biasa di Hotel Ciputra, Grogol, Jakarta Barat, pada 30 Juni 2003. Selain itu, polisi menemukan dokumen-dokumen berupa jadwal kebaktian di beberapa gereja, daftar pengurus Ayub Jabotabek, dan daftar nama pengurus PDI Perjuangan. Yaitu, Roy B.B. Janis, Alex Litaay, Jacob Tobing, J.E. Sahetapy, dan Pramono Anung.

Namun, dalam pertimbangannya, majelis hakim hanya mengenakan dakwaan sekunder (kepemilikan senjata api) sebagai hal yang memang terbukti dalam persidangan. Saat ini Abu Tholut bebas.

''Kami juga menemukan dokumen yang menunjukkan bahwa kelompok itu berupaya meniru Al Qaidah dalam membentuk negara baru,'' tutur sumber tersebut. Dokumen dibawa Rosikin Noor, tersangka teroris yang tertangkap Senin malam pekan lalu (10/5).

Mereka percaya bahwa aksinya akan direstui Al Qaidah yang sekarang dikomando dari lembah-lembah di Afghanistan. Teroris menyebut serangan 17 Agustus atau amaliyah badar 7 Ramadan sebagai fase keempat strategi Al Qaidah.

Fase pertama disebut fase penyadaran. Dimulai pada awal 2000 dan berakhir 2003. (rdl/kuh/c4/dwi)(jAWA POS/[ Senin, 17 Mei 2010 ]
Susno Terancam Pemecatan tanpa Jalani Sidang
JAKARTA - Mantan Kabareskrim Komjen Pol Susno Duadji benar-benar berada di ujung karir. Kuasa hukum Susno menerima informasi dari orang dalam bahwa Mabes Polri bakal memecat Susno dalam pekan ini.

"Kami menerima informasi A-1 bahwa akan dilakukan sidang in absentia (tanpa dihadiri terperiksa, Red) dengan putusan akhir pemecatan," kata koordinator pengacara Susno, Henry Yosodiningrat, kemarin (16/5).

Sidang in absentia digelar karena Susno selama ini menolak diperiksa atas dugaan pelanggaran kode etik.

Susno menganggap tak ada aturan untuk pemeriksaan tersebut. "Kalau info itu betul, itu benar-benar penzaliman atas pribadi beliau sebagai jenderal bintang tiga," tutur Henry. Selain itu, jika benar, tindakan tersebut melecehkan DPR yang sebelumnya berjanji memberikan perlindungan kepada Susno. "Kami berharap Polri bisa memberikan penjelasan," papar dia.

Kubu Susno juga bereaksi keras terhadap pembatasan para pembesuk Susno di tahanan Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jabar. Salah seorang pengacara Susno, Ari Yusuf Amir, menilai pembatasan itu mengekang hak asasi Susno. Ari juga menganggap perlakuan itu sudah kebablasan. Sebab, Susno berhak untuk dijenguk siapa pun.

Mabes Polri memang menyeleksi ketat pembesuk Susno. Yang boleh membesuk hanya anggota keluarga dan pengacara. Selain mereka, tidak ada yang boleh menjenguk kendati sesuai dengan jam besuk.

Menurut Ari, perlakuan berlebihan terhadap Susno itu menunjukkan bahwa Mabes Polri ketakutan dengan manuver Susno.

Isu pemecatan Susno itu dibantah Mabes Polri. Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Pol Edward Aritonang menjelaskan, vonis atas dugaan pelanggaran kode etik dijatuhkan setelah sidang digelar. "Sekarang belum ada sidangnya. Jadi, belum bisa ditentukan sanksinya," kata Edward. Dia juga memastikan sidang diadakan secara terbuka. (aga/rdl/c11/agm)(JAWA POS/[ Senin, 17 Mei 2010 ]
[ Minggu, 16 Mei 2010 ]
Abdullah Sonata Tak Mau Menyerah, Siap Melawan
JAKARTA - Teroris paling diburu oleh Densus 88 Mabes Polri saat ini, Abdullah Sonata, menyatakan tak mau menyerah. Sonata justru meminta dukungan dari para eks narapidana teroris yang sudah bebas. Selain itu, pria yang diduga polisi menggantikan peran Dulmatin itu mengajak seluruh alumni Afghanistan, Moro-Mindanao (Filipina), dan konflik Poso untuk bergabung.

''Ana (aku) bukanlah orang yang alim dan terbaik dari antum (kalian) semua. Tetapi, risalah ini ana buat dalam pelarian DPO sebagai bentuk tanashuh (nasihat) dan tadzkirah (pengingat) bagi kita semua,'' ujar Sonata melalui naskah yang di-posting di beberapa situs ''projihad''. Situs-situs itu, antara lain, beralamat di http://azzamalqitall.wordpress.com dan situs 7ihadmedia.wordpress.com.

Posting itu tertanggal 3 Mei 2010. namun, di akhir suratnya, Sonata yang menggunakan nama alias Abu Ikrimah Al Bassam Al Mathlubi itu mencantumkan tanggal 29 April 2010. Hingga tadi malam pukul 20.00, situs itu masih bisa diakses.

Nama Abdullah Sonata disebut langsung oleh Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri dalam jumpa pers Jumat lalu (14/5). Menurut Kapolri, Sonata adalah figur yang berbahaya karena militan dan pintar merekrut anggota baru. Polisi juga menduga, setelah Dulmatin tewas, Sonata menggantikan dia sebagai amir, pemimpin (lihat grafis struktur, Red).

Sonata adalah teroris residivis. Dia lahir di Bambu Apus, Jakarta Timur, 4 Oktober 1978. Dia disegani setelah menjadi komandan Laskar Mujahidin Kompak (Komite Penanggulangan Krisis) di Ambon pada konflik bernuansa SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) pada 1999. Saat itu laskarnya beranggota sekitar 500 orang.

Polisi juga menuduh dia menyabot gudang senjata Brimob Polri di Tantui, Ambon, pada 2000. Di Poso, Sulawesi Tengah, dia memimpin kelompok Kompak Kayamanya.

Pada 2002, setelah bom Bali I, Sonata bertemu dengan Dulmatin dan Umar Patek di Jakarta. Sonata dan Maulana (tewas di Cawang, Red) membantu membuka kamp pelatihan di Mindanao, Filipina, sekaligus memasok dana dari Timur Tengah.

Pada April 2004, Sonata membangun kamp pelatihan Olas, Seram Barat, untuk konflik di Ambon. Dia tertangkap 6 Juli 2005 dan disidang Mei 2006.

Dalam naskahnya yang dipenuhi ilustrasi ayat Alquran, Sonata meminta para alumni daerah konflik bersatu dan bergabung bersamanya melawan Densus 88. ''Ya akhi (Hai saudaraku), jangan antum merasa cukup karena pernah berjihad di Afghanistan, Moro, Ambon, Poso, dan tempat lainnya. Jangan antum merasa cukup karena sudah bergelar alumni, kemudian sekarang antum diam dan mundur ke belakang,'' tulisnya.

Sonata juga mengatakan, selama dipenjara dirinya tetap berkoordinasi dengan rekan-rekannya sesama napi teroris. ''Di Cipinang dulu, dalam kajian via HP, Ust Mukhlash (terpidana mati bom Bali, sudah dieksekusi, Red) pernah menasihati kita agar istiqamah,'' kata Sonata.

Dia mengkritik para mantan narapidana terorisme yang setelah keluar dari penjara justru membantu polisi. ''Mereka telah menjadi ansharu thaghut (penolong setan). Bahkan, ada di antaranya yang sadar atau tidak sadar telah menjadi Bani Abas, anak buah Nasir Abas,'' tulis Sonata.

Nasir Abas adalah mantan ketua mantiqi JI (Jamaah Islamiyah) yang sekarang bersama Densus 88 aktif memerangi terorisme.

Sonata berharap, teman-temannya yang belum bergabung dalam kelompok teror segera terlibat. Dia mencoba merayu dengan membangkitkan masa lalu mereka. ''Masih ingatkah antum ketika kita amaliyah bersama di front jihad Ambon, di Poso, dan tempat lainnya? Masih ingatkah antum ketika kita terombang-ambing di lautan dan kelelahan melintasi pegunungan dalam rangka menyongsong kematian?'' tulis Sonata.

Tampaknya, teroris berusia 32 tahun itu juga tak ingin tertangkap hidup-hidup. ''Tidak mungkin kita bisa meraih keutamaan ini tanpa amal jihad fii sabiilillah, tidak mungkin kita meraih kemenangan tanpa terbunuh di jalan Allah, tidak mungkin Allah memberikan rezeki sebagai syahid kalau kita cuma duduk-duduk saja,'' tulisnya.

Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Edward Aritonang menegaskan, perburuan terhadap Sonata masih berlanjut. ''Semua nama DPO, termasuk Sonata, kita harap bisa segera tertangkap oleh tim yang tak kenal lelah di lapangan,'' katanya.

Mantan juru bicara kasus bom Bali 1 itu meminta bantuan masyarakat jika memperoleh informasi tentang para buron polisi, termasuk Abdullah Sonata, untuk menginformasikan kepada aparat. ''Kerja memberantas terorisme tak bisa ditanggung sendiri oleh polisi, harus ada bantuan dari warga,'' katanya.

Edward meminta ketua RT dan RW meningkatkan kewaspadaan jika ada laporan dari warga tentang aktivitas yang mencurigakan. ''Bisa melalui polisi sektor atau aparat setempat di sekitar tempat tinggal,'' ujarnya.

Secara terpisah, pengamat terorisme Rakyan Adibrata SH menilai, surat Sonata di website sengaja dibiarkan oleh Densus 88 Mabes Polri. ''Tujuannya agar bisa dilacak siapa saja simpatisan mereka, misalnya yang posting atau yang mengakses,'' kata dia.

Peneliti dari Research Center for Terrorism and Security itu menjelaskan, internet protocol (IP) address bisa digunakan sebagai dasar Unit Cybercrime Densus 88 untuk melacak jejak Sonata. ''Tapi, jangan disamaratakan seolah-olah semua yang mengakses website itu teroris,'' tuturnya.

Alumnus Fakultas Hukum UII itu yakin, kemampuan Korps Burung Hantu (Densus 88) sangat memadai dalam melacak situs di dunia maya. ''Mereka dilatih langsung oleh agen NSA (National Security Agency, Red) dalam kursus-kursus yang rutin dilakukan,'' kata Rakyan.

Sebenarnya di mana posisi Sonata sekarang? Sumber Jawa Pos di lingkungan antiteror menyebutkan, posisi Sonata sudah terdeteksi. ''Dia susah lari jauh karena semua simpatisannya sekarang tiarap,'' kata dia.

Peran Sonata dalam jaringan teror baru yang menggelar tadrib asykari (latihan militer) di Aceh sangat signifikan. ''Dia menggantikan peran Dulmatin yang tertembak di Pamulang,'' ucapnya.

Sebuah regu khusus Densus 88 Mabes Polri sekarang membawa dua tersangka yang ditangkap sebelumnya untuk mengendus lokasi persembunyian Abdullah Sonata.

Siapa yang dikeler? ''Wah, itu tidak bisa dibuka di koran," elaknya.

Sementara itu, hingga tadi malam, kelima jenazah teroris yang tertembak di Cikampek berada di gedung Instalasi Kedokteran Forensik RS Polri Kramatjati, Jakarta Timur.

Menurut Kepala Forensik RS Polri AKBP Triroso, hingga kemarin, pihaknya belum mendapat instruksi dari Tim Densus 88 untuk memperbolehkan mengeluarkan kelima jenazah itu. ''Kami hanya dititipi. Yang berwenang mereka (Densus 88, Red),'' katanya saat dihubungi Jawa Pos.

Lebih lanjut, pria berkacamata itu mengatakan, proses identifikasi terhadap lima jenazah tersebut sudah pada tahap ante mortem. Yakni, mencocokkan ciri-ciri tubuh setelah mati dengan data-data sebelum mati. Karena itu, masih ada tim di lapangan yang menggali data-data dari pihak keluarga.

Bagaimana keluarga Saptono yang datang Jumat lalu (14/5) dan menyatakan bahwa berdasar ciri-ciri fisik, salah satu jenazah adalah Saptono? ''Itu kan masih data sekunder. Yang kami perlukan sekarang data primer,'' jelasnya.

Ba'asyir: Saya Difitnah Polisi

Amir Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) Abu Bakar Ba'asyir membantah terlibat dalam jaringan teroris di Aceh. Dia merasa menjadi korban fitnah yang keji. "Saya difitnah. Saya tidak kenal ataupun terlibat dengan berbagai gerakan dan pelatihan di Aceh," ujar Ba'asyir saat menggelar jumpa pers di Markas Besar JAT Surakarta, Jalan Batik Keris, Turi Baru, Cemani, Grogol, Sukoharjo, kemarin (15/5).

Ba'asyir yang juga didampingi sejumlah anggota Tim Pengacara Muslim (TPM) mengatakan, pihaknya menyayangkan sikap polisi yang secara terang-terangan memfitnahnya. Dia mengatakan, jika memang terlibat, dirinya siap dipanggil sewaktu-waktu. "Namun, sampai sekarang polisi tidak pernah melakukan tindakan apa pun. Apalagi, memberi tahu saya soal informasi tersebut," ujarnya.

"Jika itu benar, mengapa polisi tidak memanggil dan memberi tahu saya? Mereka malah menggunakan model orang lain," tantang Ba'asyir.

Selain membantah isu keterlibatan dirinya dalam gerakan teroris, Ba`asyir membantah bahwa JAT beserta anggotanya yang sempat diamankan polisi di Jakarta beberapa hari lalu terlibat dengan jaringan teroris Aceh. Untuk itu, dia meminta polisi merehabilitasi 11 orang, termasuk anggota JAT yang ditangkap pada 6 Mei lalu. Selain itu, Ba'asyir mendesak polisi segera membuka police line di kantor pengurus JAT di Jakarta.

Ba`asyir menegaskan, beberapa pihak juga sempat menginformasikan bahwa penangkapan terhadap sejumlah anggota JAT itu merupakan bagian dari skenario atau upaya besar untuk menangkapnya. Hal itu, lanjutnya, sengaja dikait-kaitkan dengan harapan dia juga bisa diseret dalam kasus serupa.

"Secara organisasi dan kegiatan, JAT berbeda dengan kelompok teroris di Aceh. Meski demikian, JAT masih saja dikait-kaitkan dengan gerakan teroris," bebernya.

Selama ini, lanjut Ba'asyir, kegiatan anggota JAT dan laskar tidak ada kaitannya dengan jaringan teroris mana pun. (rdl/kuh/in/jpnn/c4/c2/ari/kum)(jAWA pOS/[ Minggu, 16 Mei 2010 ]
[ Minggu, 16 Mei 2010 ]
Susno Duadji Nilai Isu Teroris Alihkan Penahanannya
JAKARTA - Mantan Kabareskrim Mabes Polri Komjen Susno Duadji terus melakukan perlawanan atas penahanannya. Yang terbaru, Susno menilai operasi antiterorisme yang saat ini digelar Mabes Polri adalah pengalihan terhadap kasusnya.

Ucapan Susno itu diungkapkan politikus Ali Mochtar Ngabalin setelah menjenguknya di rumah tahanan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jabar. ''Pak Susno menyampaikan (penangkapan teroris, Red) itu bukan barang baru, tapi pengalihan isu. Masyarakat harus paham,'' ujar Ali Mochtar Ngabalin ketika dihubungi Jawa Pos kemarin (15/5).

Mantan anggota Komisi I DPR itu juga menyebut bahwa Susno punya data kuat soal adanya rekayasa dalam pengungkapan kasus terorisme belakangan ini. ''Harapannya tinggal masyarakat mendoakan kesehatannya agar bisa berjuang,'' katanya.

Saat ini, tutur dia, Susno dalam kondisi sehat. ''Beliau cerita bahwa alasan utama penahanannya bermula dari kasus kecurangan DPT (daftar pemilih tetap) dan kasus dugaan korupsi IT (information technology) KPU yang akan dibongkar KPK,'' terangnya.

Saat itu, jelas Ngabalin, sebagai Kabareskrim, Susno menyatakan siap mendukung KPK. ''Tetapi, tiba-tiba ada pembunuhan Nasruddin, Antasari kena. Lalu, kasus cicak-buaya, mafia pajak, Century, dan sekarang Susno ditahan,'' jelasnya.

Saat dukungan terhadap Susno menguat, seperti dari Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud M.D., polisi mencari isu baru. ''Kalau soal teroris, ini kan sebenarnya sudah lama ada. Polisi menunggu saja momentum. Masyarakat juga tahu dan sudah dewasa,'' tuturnya.

Secara terpisah, komisioner Komnas HAM Dr Saharuddin Daming juga menilai pengungkapan kasus terorisme tersebut adalah upaya pengalihan isu semata. Menurut dia, Polri terindikasi mengungkap kasus-kasus besar bersamaan dengan munculnya sorotan media terhadap kondisi internal.

''(Kasus terorisme) ini (diungkap) agar publik mengabaikan penahanan secara sewenang-wenang terhadap Susno Duadji dan pembelokan isu semata,'' ujar Saharuddin.

Dia mempertanyakan prosedur tetap penangkapan teroris yang dilakukan Densus 88 yang selama ini selalu menewaskan tersangka. Dia menyebut hal itu tidak lebih dari sekadar pembantaian aktivis Islam untuk berlindung dari isu mafia hukum.

Karena itu, ungkap dia, Komnas HAM akan merekomendasikan kepada DPR untuk segera membentuk panja guna mengevaluasi kinerja Polri. ''Tak cukup mengevaluasi, tetapi juga mengusut abuse of power dan arogansi oknum pejabat Polri yang merugikan masyarakat luas,'' usulnya.

Panja DPR, lanjut dia, harus mengagendakan revisi KUHAP dan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Kedua undang-undang tersebut dinilai terlalu memberikan kepercayaan dan kekuatan berlebihan kepada pejabat Polri dengan wewenang penegakan hukum. ''Akhirnya justru banyak disalahgunakan dengan mengatasnamakan penegakan hukum. Itu buktinya, semua yang dituding teroris langsung ditembak mati,'' katanya.

Selain itu, pemerintah perlu merevisi UU tentang kejaksaan, peradilan umum, dan advokat. Meski dibuat pascareformasi, kultur yang dibangun dalam UU tersebut masih bernuansa Orde Baru dengan ciri khasnya yang represif dan otoriter. ''Parahnya lagi, UU itu memberikan wewenang yang sangat luas,'' ungkapnya.

Komnas HAM sangat berharap DPR periode ini berani mengubah sistem penegakan hukum melalui penggunaan hak inisiatif atas semua UU penegakan hukum. Menurut Saharuddin, sudah tidak ada lagi cara mengobati penyakit kronis penegakan hukum. Kecuali, DPR mengubah UU penegakan hukum yang tadinya dimonopoli secara absolut oleh lembaga penegakan hukum.

Dia mengusulkan adanya lembaga lain yang diberi kewenangan memproses secara hukum oknum penegak hukum yang melanggar. Jadi, tidak boleh lagi anggota Polri yang melanggar hukum diselesaikan oleh Propam atau investigasi dari Polri sendiri yang sangat subjektif.

''Saya mengusulkan fungsi reserse dan kriminal tidak dilekatkan pada Polri. Kita perlu membentuk badan tersendiri, seperti di Amerika Serikat yang disebut FBI. Jadi, Polri cukup kamtibmas saja,'' usulnya. (rdl/zul/c2/dwi)[ JAWA POS/Minggu, 16 Mei 2010 ]

Jumat, 14 Mei 2010

Tak Khawatir Dicurigai Densus 88, Konsisten pada Amanah

Ustadz Hasyim Abdullah, sejak 2001 Melayani Napi Kasus Terorisme

SETIA: Sudah delapan tahun Ustaz Hasyim Abdullah melayani narapidana terorisme. Aktivitas ini dilakoni sejak bergabung dengan Tim Pembela Muslim 2001.(jpnn)

Nama Ustaz Hasyim Abdullah sangat dikenal di kalangan ikhwan yang terbelit tudingan kasus terorisme. Dia terlibat pembelaan dalam sidang hingga melayani kebutuhan mereka di penjara. Inilah sikap dan pandangannya soal cap teroris itu.

RIDLWAN HABIB, Jakarta

SUARA tilawah Alquran yang dilantunkan tiga puluh santri secara bersama-sama terdengar merdu dan padu. Siang itu Sabtu (10/10), mereka sedang membaca Surat At Taubah, surat urutan kesembilan Alquran yang banyak membahas tentang pengampunan Allah.

Mereka adalah sebagian santri Pondok Pesantren Missi Islam di bilangan Koja, Jakarta Utara. Lokasinya di tengah permukiman padat penduduk. Bangunan pondok tersebut sederhana. Ada sebuah lapangan bulu tangkis di pelatarannya.

’’Saat ini ada 246 santri dari seluruh Indonesia yang belajar di sini,’’ jelas Ustaz Hasyim Abdullah, pengasuh pondok tersebut.

Sejak 1983, pria asal Malang, Jawa Timur itu, tinggal di wilayah tersebut. Selain menjadi pengasuh pondok, dia aktif sebagai anggota dewan syura Tim Pengacara Muslim (TPM). Karena amanahnya sebagai bagian dari TPM, sejak 2001, Hasyim mendampingi orang-orang yang dituduh terlibat kasus terorisme.

’’Kalau Densus sekarang membagi-bagi istilah ada operator, ada kurir, ya saya ini kurir. Tapi, hanya kurir beras dan lauk-pauk untuk ikhwanyang di dalam (di penjara, Red), tak lebih dari itu,’’ katanya, lantas tersenyum.

Hasyim sekarang mendampingi puluhan napi kasus teror yang masih berada dalam penjara. ’’Di Nusakambangan ada 15, di Cipinang lima orang, di Polda ada 11 orang,’’ ungkapnya.

Saat Abu Bakar Ba’asyir tersangkut kasus hukum terkait pelanggaran imigrasi pada 2001 sampai bebas 14 Juni 2006, Hasyim juga setia mendampingi. Saat itu, dia ditugaskan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) sebagai asisten pribadi Ba’asyir. Trio kasus bom Bali, Amrozi, Imam Samudera, dan Mukhlas, juga difasilitasi Hasyim sampai proses hukumnya selesai dan dieksekusi.

’’Densus tentu paham posisi saya. Kalau dicurigai, mungkin saja. Tapi, saya konsisten saja dengan amanah ini,’’ tegasnya.

Jika ada kebutuhan ikhwan-ikhwan yang mendesak, Hasyim akan mengusahakan. Dananya berasal dari infak umat Islam atau perorangan. ’’Kalau dulu, memang beras dan lauk-pauk diusahakan dibawa dari luar. Sebab, di dalam memang di bawah standar. Istilahnya, nggak ada garamnya. Tapi, sekarang alhamdulillah, sudah ada perbaikan. Sudah ada rasa asinnya,’’ ujarnya.

Dia mencontohkan, di Lapas Cipinang, kantin di dalam penjara sudah beroperasi. Para napi teroris memang tetap membawa beras dan lauk-pauk sendiri, tapi dimasak oleh pengelola kantin. ’’Format baru kamar atau selnya tidak memungkinkan lagi untuk memasak sendiri,’’ jelas Hasyim yang hampir dua minggu sekali berkeliling ke tahanan demi tahanan itu.

Bertahun-tahun bergaul dengan para ikhwan, dia tahu banyak cerita tentang mereka. Termasuk, tentang ’’pembinaan’’ oleh polisi. Istilah Densus 88, program deradikalisasi. ’’Memang saya dengar ada. Tapi, jangan salah lho, mereka (para ikhwan, Red) itu berangkat dari pemahaman akidah tentang jihad dan dakwah. Jadi, tidak bisa dihilangkan dengan hipnosis atau yang semacamnya,’’ tegasnya.

Dia menyatakan, polisi sering melakukan pendekatan personal dengan para ikhwan di penjara. Misalnya, mencukupi kebutuhan finansial mereka, membiayai jika ada keluarga yang sakit, atau membiayai sekolah anaknya. ’’Itu pilihan masing-masing. Mereka sebenarnya orang front, orang militer. Jadi, kalau dipaksa hidup normal, harus diakui, secara permodalan mereka lemah,’’ tuturnya.

Namun, dia menegaskan, masih banyak ikhwan yang tetap mandiri dan menolak bantuan polisi. Sebagian di antara mereka yang sudah keluar, walau dengan susah payah, akhirnya juga bisa hidup normal dan kembali ke masyarakat dengan baik.

’’Verifikasinya memang susah. Tidak bisa hanya dilihat dari penampakan luar,’’ katanya. Misalnya, celana di atas mata kaki (isbal), gamis atau jubah, jenggot, serta tanda bekas sujud di dahi tidak bisa dikaitkan dengan kelompok itu. ’’Di sini,’’ katanya sambil memegang dada untuk menjelaskan akidah sebagai penentu.

Bahkan, Hasyim pernah menerima curhat (keluhan) dari seorang terpidana kasus terorisme yang telah bebas. ’’Saya ini repot, Pak Hasyim. Di kalangan ikhwan, saya dicurigai. Tapi, oleh Densus, saya diinteli terus,’’ ungkapnya menirukan ikhwan tersebut.

Keluhan itu disampaikan saat kebetulan bersama-sama membesuk Imam Samudera cs di Nusakambangan. ’’Saya bilang, sabar saja, itu ujian,’’ katanya.

Sebenarnya, jelas Hasyim, tanpa program deradikalisasi pun, napi-napi tersebut sudah ’’bersih’’. ’’Mereka itu dai. Di penjara adalah ladang dakwahnya. Mereka membina napi yang lain,’’ tegas Hasyim.

Dia mengungkapkan, almarhum Amrozi bisa menyadarkan banyak napi kelas kakap untuk insaf dan bertobat. ’’Sekarang, hal itu dilanjutkan oleh yang masih dalam tahanan. Bahkan, napi pembunuh pun disadarkan,’’ ungkapnya.

Dia mencontohkan seorang residivis di Nusakambangan yang selalu menganiaya teman satu selnya hingga luka berat. Begitu seterusnya, tiap ganti sel, selalu saja ada yang luka. ’’Tapi, begitu satu sel dengan ikhwan kami, dia sadar. Sekarang, dia rutin mengaji. Setiap hari tilawah Alquran,’’ ujarnya.

Di setiap penjara (Batu, Permisan, Cipinang, maupun Polda Metro), kata Hasyim, ikhwan-ikhwan tersebut mengajari baca Alquran serta tata cara wudu dan salat. ’’Ormas-ormas yang dipercaya Dirjen Lapas mengelola pembinaan agama berterima kasih kepada ikhwan-ikhwan itu. Walaupun disebut teroris, di setiap penjara, mereka disegani dan mampu mengubah orang menjadi lebih baik,’’ jelasnya.

Hasyim menyesalkan masyarakat terlalu percaya pada propaganda dan definisi Amerika Serikat tentang terorisme. ’’Ini sebenarnya soal sebab akibat. Mereka itu bukan teroris, tapi mujahid. Selama ini tidak pernah tuntas dicari solusi penyebabnya. Untuk kasus Indonesia misalnya, hingga kini belum jelas pengungkapan dalang kasus Ambon atau Poso dan umat Islam selalu disalahkan. Juga di Afghanistan, Palestina, Iraq, Thailand Selatan, serta tempat-tempat lain,’’ tegasnya.

Hasyim yakin mereka yang dianggap teroris punya prinsip sendiri. ’’Kita boleh tidak sepakat karena di sini (Indonesia) adalah wilayah aman. Tapi, menolak jenazahnya adalah juga sebuah kejahatan dan pelanggaran berat HAM serta dosa besar di sisi Allah,’’ tuturnya.

Selama akar teror, yakni ketidakadilan, tidak dicarikan solusi, Hasyim pesimistis ada perdamaian sejati. ’’Sekarang ini semu saja perdamaiannya. Pemerintah terlau fobia dan menutup-nutupi kasus-kasus itu. Tokoh-tokoh sentral seperti almarhum Noordin juga dibunuh, sehingga tak jelas bagaimana sebenarnya. Bisa saja ini rekayasa dan skenario intelijen,’’ tegasnya. (nw/jpnn/kaltimpost)

Foto:www.kaltimpost.co.id

Selasa, 11 Mei 2010

Negeri Tidak Toleran Mengajari Umat Islam Toleransi
Tuesday, 20 April 2010 20:24
E-mail Print PDF

Banyak dana dari Barat mengalir ke Indonesia untuk mengembangkan sikap moderat pada umat Islam. Anehnya, di negeri Barat justru sedang berkembang sikap memusuhi Islam



Hidayatullah.com—Aktivisi Islam liberal Ulil Abshar Abdalla ikut maju dalam pencalonan Ketua Umum PBNU pada Muktamar NU ke-32 NU di Makassar, 23-28 Maret 2010. Ia maju bersama sejumlah calon lainnya, Said Aqil Siradj, Salahuddin Wahid, Masdar F Masudi, Ali Maschan Moesa, dan Slamet Effendy Yusuf.

Namun langkah Ulil kemudian terganjal oleh tata tertib pencalonan Ketua Umum PBNU. Sebagian isi tata tertib itu menyebutkan calon ketua umum tidak terlibat Jaringan Islam Liberal. Disebutkan dalam Pasal 22 Ayat 3 bahwa, "Seorang calon tidak sedang menjabat sebagai pengurus harian partai politik dan tidak merangkap ormas yang secara langsung dan tidak langsung bertentangan dengan paham ahlusunnah wal jamaah dan Jaringan Islam Liberal."

Ulil pun sempat kecewa dengan munculnya pasal “penghadangan” ini. "Seharusnya anak muda NU perlu mendapat bimbingan. Bukan malah dibuang," ujarnya dikutip Kompas.com. Namun ia mengaku lega, persyaratan tidak pernah terlibat pada organisasi Jaringan Islam Liberal (JIL) akhirnya dihapus dalam Tatib, walau langkahnya untuk maju tetap tidak mulus. Terpilih sebagai Ketua Umum periode 2010-2015 KH Dr. Said Aqil Siradj.

Kehadiran Ulil Abshar Abdalla dalam bursa pemilihan Ketua Umum PBNU ini bukan datang secara tiba-tiba. Sebagaimana dimuat dalam portal Washington Post pada 25 Oktober 2009, Ulil sudah mempersiapkan diri maju jauh hari sebelumnya. Disebutkan, Ulil agaknya capek dijuluki antek Amerika. Untuk itu ia ikut pemilihan Ketua Umum PBNU. Ia memang tidak terlalu berharap menang, tapi ingin "terlibat dalam arus utama dan bukan hanya sebagai orang pinggiran saja."

Ulil antek Amerika Serikat? Julukan ini mungkin saja tidak salah. Ia memang digadang-gadang oleh Amerika sebagai model dari kelompok Islam moderat. Pada tahun 2002 Ulil diterbangkan ke Washington untuk bertemu dengan para pejabat di Kementerian Luar Negeri dan Pentagon, termasuk Paul D Wolfowitz, yang ketika itu menjadi Deputi Menteri Pertahanan dan mantan Dubes AS di Jakarta.

Sebelumnya pada 2001 atas pendanaan dari Asia Foundation, ia mendirikan Jaringan Islam Liberal. Kegiatan organisasi itu di antaranya menyiarkan acara di radio 1 kali sepekan, yang di antara materinya mempertanyakan tafsir literal ayat-ayat suci tentang wanita, homoseksual, dan doktrin-doktrin dasar.

JIL juga membeli jam siar televisi nasional untuk menayangkan video yang menggambarkan Islam sebagai agama yang memiliki "banyak warna" dan menyebarkan selebaran yang mengusung ideologi liberal di masjid-masjid. "Kami ingin melawan pemikiran kelompok garis keras," kata Ulil Abshar Abdalla, sebagaimana ditulis pada portal WP itu.

Intervensi AS

Setelah berakhirnya Perang Dingin antara negara-negara Barat dan negara-negara penganut ideologi Komunis pada awal tahun 1990-an, berkaitan runtuhnya negara Uni Sovyet dan berubahnya ideologi negara-negara Eropa Timur, tampaknya Barat mulai memusatkan perhatiannya pada (negara-negara) Islam. Ini sejalan dengan teori yang disampaikan Samuel P. Huntington dalam buku Clash of Civilizations, ketika perang ideologi antara negara penganut ekonomi pasar bebas dan komunis berakhir, maka poros konflik utama di dunia berikutnya berkaitan dengan faktor kultural dan keyakinan agama, di antaranya Islam.

Persoalan terhadap (negara) Islam mulai dapat dirasakan saat konflik antara AS dan Irak pada tahun 1991. Pendanaan untuk “menghadapi” dunia Islam pun mulai dipersiapkan. Asia Foundation yang didirikan sebagai lembaga non-governmental organization pada tahun 1950 untuk memberikan bantuan guna melawan komunisme, mengalihkan misinya melakukan perlawanan terhadap Islam garis keras di Indonesia, sebagai bagian dari program USAID yang diberi nama Islam dan Masyarakat Beradab. Program itu dimulai sebelum terjadinya serangan 11/9 (serangan terhadap gedung WTC di New York pada 11 September 2001), namun menjalankan aktivitasnya setelah peristiwa itu.

Ini akan sangat berbeda jika melihat kebijakan AS pada tahun 1980-an. Ada satu cerita menarik mengenai hal ini. Di 1980-an itu, Nasir Tamara, seorang cendekiawan muda Indonesia memerlukan uang untuk membiayai sebuah studi tentang Islam dan politik. Dia mendatangi kantor yayasan AS, Ford Foundation, di Jakarta meminta bantuan.

Namun ia pulang dengan tangan hampa. AS mengatakan padanya, "tidak tertarik dengan Islam."

Penampikan kasar itu datang dari ibunda Presiden Obama, Ann Dunham, seorang pakar antropologi AS yang tinggal di Indonesia selama lebih dari satu dekade. Dunham, yang wafat tahun 1995, memusatkan perhatian pada isu-isu pembangunan ekonomi, bukan pada masalah agama dan politik --sebuah subyek sensitif di negara yang ketika itu dipimpin seorang otokrat sekular.

"Pada saat itu mengkaji Islam tidak lazim," kata Tamara mengenang. Sekarang, Indonesia adalah negara demokrasi dan peran Islam menjadi salah satu isu terpenting bagi kebijakan AS terhadap negara yang jumlah muslimnya melebihi Mesir, Suriah, Yordania, dan gabungan seluruh negara Arab dan Teluk Persia. Praktik-praktik Islam di Indonesia saat ini menjadi perhatian sangat penting bagi AS, agar kepentingan negara itu di negara ini tidak terganggu.

"Ini adalah perang pemikiran, seperti apa Indonesia diinginkan di masa depan," kata Walter North, Kepala U.S. Agency for International Development (USAID) Jakarta. North mengenal Dunham ketika ia tinggal di Indonesia tahun 1980-an.

Kebijakan yang diterapkan AS ini lantas memicu pertanyaan: haruskah Amerika menjaga jarak atas dunia Islam di seluruh dunia, atau ikut terjun untuk mendukung muslim yang memiliki kesamaan pandangan dengan Amerika?

Nyatanya untuk mendapatkan mendapatkan cara pandang yang sama antara negara Islam dan kebijakan AS, guna AS dapat melaksanakan kepentingannya di negara-negara muslim tersebut, akhirnya ikut terjun memberikan dukungan terhadap muslim yang memiliki pandangan sama dengan AS.

Segera setelah serangan 11 September, Washington mengucurkan uang dan janji guna menyokong kelompok muslim 'moderat' untuk melawan apa yang disebut Bush sebagai "ideologi yang nyata dan mendalam" dari Islam-fasis. Di samping The Asia Foundation, C. Holland Taylor, bekas eksekutif bidang telekomunikasi dari Winston-Salem, Carolina Utara, lewat lembaganya LibForAll Foundation mempromosikan “budaya kebebasan dan toleransi".

Taylor, yang bisa berbahasa Indonesia, mendapatkan dukungan dari orang-orang ternama, termasuk mantan Presiden RI Adurrahman Wahid, dan seorang artis pop yang mengeluarkan lagu hit Laskar Cinta, dengan semboyannya "No to the warriors of jihad! Yes to the warriors of love" (Katakan tidak untuk Laskar Jihad , katakan ya untuk Laskar Cinta).

Taylor lalu membawa Wahid ke Washington, bertemu dengan Wolfowitz, Wakil Presiden AS Richard B. Cheney, dan lainnya. Taylor juga merekrut seorang sarjana Quran reformis dari Mesir untuk membantu mempromosikan "kebangkitan pluralisme Islam, toleransi, dan berpikir kritis."

Dana datang dari orang-orang kaya AS, termasuk pewaris kekayaan pengusaha pakaian dalam Hanes dan beberapa organisasi Eropa. Taylor dalam pernyataannya di Jakarta, menolak menyebutkan penyumbang terbesarnya yang berasal dari AS.

Dia mengatakan, dirinya telah berulang kali meminta uang kepada pemerintah AS, tapi hanya mendapatkan 50.000 dollar, hadiah dari Unit Kontraterorisme Departemen Luar Negeri.

"Anda tidak bisa memenangkan perang dengan uang segitu," kata Taylor. Ia pun membuat 26 seri film dokumenter dengan tujuan menghilangkan doktrin Islam garis keras. "Orang-orang di Washington lebih suka berpikir, bahwa jika kita tidak melakukan apa-apa, maka kita akan baik-baik saja: penggal saja kepala-kepala para teroris dan semuanya akan beres."

Agaknya tidak salah adanya asumsi tangan-tangan asing mengobok-obok praktik-praktik keagamaan umat Islam. Obok-obok itu rupanya tidak hanya sebatas dalam praktik politik dan ekonomi saja, tetapi lebih dari itu. Sayangnya ada dari kalangan umat Islam yang justru patuh pada “Tuan Besar”nya.
Sejatinya sikap radikalisme dalam umat Islam hanya sebatas reaksi dari “kekotoran tangan” yang dilakukan pihak luar. Dalam sejarah hubungan antaragama dan sosial, justru umat Islam lebih menjaga toleransi terhadap pihak lain. Di pihak yang merasa jawara dalam praktik demokrasi dan mengaku beradab, justru antidemokrasi dan antiperadaban dengan praktik memusuhi umat Islam di negeri mereka sendiri. Itulah yang sedang terjadi saat ini di AS dan negara-negara Eropa saat ini. [Washington Post/si/www.hidayatullah.com]

Gambar: Kompas.com
Tunggulah Kehancurannya!

“Apabila sesuatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggu saat kehancurannya” (HR. Bukhari).

Geger artis porno/cabul dan pezina mencalonkan diri jadi pemimpin membuat kita teringat pada beberapa hadist Rosulullah saw yang menjadi panutan kita. Pertama sabda Rosulullah saw: “Tunggu saat kehancuranannya, apabila amanat itu disia-siakan!” Para sahabat serentak bertanya, “Ya Rasulullah, apa yang dimaksud menyia-nyiakan amanah itu?” Nabi SAW menjawab: “Apabila sesuatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggu saat kehancurannya” (HR. Bukhari).

Jelas artis-artis seronok ini tidak punya kapabilitas untuk mengatur urusan umat yang merupakan hal utama dalam politik. Seorang pemimpin politik haruslah mengerti apa yang menjadi masalah masyarakat dan paham solusinya. Bukan hanya itu, dalam Islam, solusi yang diberikan, bukanlah sembarang solusi, tapi haruslah berdasarkan kepada syariah Islam.

Bagaimana artis-artis cabul ini menyelesaikan masalah kemiskinan, kebodohan, sementara selama ini mereka tidak pernah hirau dalam urusan ini. Apalagi berharap mereka akan menyelesaikannya berdasarkan syariah Islam ? Bukankah yang mereka bicarakan selama ini hanyalah persoalan hiburan, gaya pakaian sensual yang mengundang nafsu , gaya panggung memikat yang mengumbar aurat ? Bukankah selama ini justru mereka menjadi pelaku maksiat yang banyak melanggar syariah Islam. Kalau kepemiminan politik ini diserahkankepada mereka tunggu saja kehancurannya !

Saat ini bukti kehancuran itu sudah terjadi di depan mata. Ketika umat Islam dipimpin oleh orang yang maksiat, yang tidak mau berhukum pada hukum Allah SWT. Lebih tunduk kepada hukum kufur, tunduk kepada penjajah kufur dan mengikuti arahan mereka dalam mengatur kehidupan masyarakat. Tunduk kepada imperialis Amerika dengan perangkat sistem sekuler dan organisasi - alat penjajahannya- seperti PBB, IMF dan Bank Dunia. Lihatlah nasib umat Islam yang semakin terpuruk.

Yang kedua adalah hadist Rosulullah saw tentang munculnya ruwaibidhoh. Sabda Rosulullah saw : “Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan, pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah berbicara.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?“. Beliau menjawab, “Orang bodoh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas.” (HR. Ibnu Majah)

Hal ini pun sudah terjadi. Banyak orang bodah yang memimpin umat . Mereka disebut bodoh karena menerapkan sistem yang bodoh (jahiliyah), tidak mau menjalankan syariah Islam. Bodoh , karena sudah tahu sistem sekuler danlibarel yang ada tidak akan membawa kepada kebaikan , malah membawa kehancuran, namun tetap saja dipertahankan. Bodoh, karena tidak mau mendengar pada kebenaran Islam untuk menerapkan syariah Islam.

Dan terbukti, saat ini penuh dengan penipuan. Yang tadinya berpakaian seksi , menipu ummat dengan, pura-pura berbusana muslim. Berjanji akan memperhatikan rakyat, setelah memimpin malah memiskinkan dan menambah derita rakyat. Bicara mempertahankan kedaulatan negara, pada realitanya malah menjual negara kepada asing, dengan menyerahkan kekayaan alam yang seharusnya untuk rakyat, dirampok oleh penjajah asing. Namun , sayangnya, masih ada masyarakat yang menganggap mereka sebagai orang yang amanah, bukan pengkhianat. Sebaliknya, yang menyerukan syariah Islam yang berasal dari Allah SWT yang Maha Pengasing dan Penyayang , justru dituduh mengancam negara.

Namun yang jelas , maraknya artis maksiat mencalonkan diri menjadi pemimpin , tidak bisa dilepaskan dari sistem demokrasi yang kita anut sekarang ini. Inilah yang menjadi pangkal kehancuran sistem politik kita. Dalam sistem demokrasi dimana sekulerisme menjadi asasnya, persoalan agama dianggap merupakan persoalan pribadi. Sehingga syarat-syarat agama, tidak menjadi penting dan tidak bisa jadi ukuran .

Ditambah dengan prinsip liberalisme yang memberikan kepada siapapun kebebasan atas nama suara rakyat untuk dipilih menjadi pemimpin. Seperti yang dikatakan Gary Hart, calon presiden AS (1988) yang ketahuan selingkuh : Let the people decide, biarkan rakyat memilih, menjadi slogan demokrasi. Tanpa perlu melihat ketaqwaan dari sang pemimpin. Sampai-sampai Amin Rais mengatakan : meskipun yang terpilih adalah setan gundul.

Padahal ketaqwaan menjadi hal yang sangat penting dalam Islam. Hancur atau tidaknya sebuah negara , bangsa, dan rakyatnya tergantung pada ketaqwaan masyarakat , tergantung kepada keterikatan mereka pada syariah Islam. Kalau mereka bertaqwa Allah SWT akan membukakan pintu barakoh dari langit dan bumi (QS al A’raf : 96). Sebaliknya kalau mereka menyimpang dari aturan Allah swt mereka akan ditimpakan dengan kehidupan yang sempit dengan berbagai penderitaan (QS Thoha: 123-126).

Ketaqwaan disini bukanlah sekedar ketaqwaan personal dari pemimpin , tapi juga sistem yang dijalankan oleh sang pemimpin. Artinya, kita bukan hanya butuh pemimpin yang terikat pada syariat Islam secara individu, tapi sistem yang diterapkan untuk mengatur kehidupan masyarakat dalam berpolitik, ekonomi, pendidikan, dan masalah mua’amalah lainnya haruslah berdasarkan syariah Islam. Jangan berharap itu akan terwujud selama sistem yang diterapkan adalah sistem demokrasi, sistem kufur yang menyerahkan sumber kedaulatan hukum kepada manusia, bukan kepada Allah SWT semata-mata. (edit HTI,09-05-2010/Farid Wajdi)
Dakwah Islam Bukan Publikasi Terorisme

BETAPA sulitnya memperbaiki nasib bangsa Indonesia, karena orang-orang yang baik di negeri ini kian langka adanya. Sistem Negara demokrasi, bahkan lebih banyak memberi peluang menebar kejahatan daripada menabur kebaikan. Sudah jamak terjadi, seseorang yang dikenal sebagai tokoh baik-baik di masyarakat, begitu terlibat dalam kekuasaan pemerintahan, bukannya memperbaiki keadaan yang sudah rusak, malah dia sendiri yang diperbaiki akibat melakukan kerusakan di atas kerusakan yang sudah ada.

Dalam keadaan demikian, berlakulah firman Allah: "Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada penguasa di negeri itu (supaya mentaati Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan di dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya." (Qs. Al-Isra', 17:16)

Adalah kewajiban para pejabat untuk membangun Negara, menyuburkan keadilan sosial, meningkatkan kesejahteraan rakyat, membela kemanusiaan secara adil dan beradab. Dalam suatu Negara, penguasa/pejabat negara dan pengusaha adalah dua unsure mutrafin yang saling menguatkan. Apabila keduanya menjadi mata rantai kejahatan di suatu negeri, maka mereka telah memosisikan dirinya sebagai penghancur, implementasi program syetan-iblis laknatullah untuk menghancurkan rakyat dan negerinya.

Kenyataannya, penguasa yang bertindak sebagai Fir'aun selalu ingin menguasai segala hal demi melestarikan kekuasaannya. Sedangkan pengusaha, bertindak seperti Namrud yang selalu mengusahakan apa saja agar menguntungkan ushanya. Maka sekalipun kejahatan korupsi, illegal login, peredaran narkoba, dekadensi moral, berkembangbiaknya mafia hukum serta markus (makelar kasus), terbukti telah menjadi penyakit epidemi yang melahirkan keterbelakangan, ketidak adilan, dan kebodohan masyarakat. Namun, semua itu belum cukup merangsang penguasa negeri ini untuk marah, kemudian memberantas tuntas hingga ke akar-akarnya.

Bandingkan dengan tindakan represif kepolisian memberantas tindak pidana terorisme, jelas memperlihatkan kemarahan polisi (Densus 88) hingga mencapai ubun-ubun. Kulminasi kemarahan ini, justru menyebabkan sikap paranoid dan panik. Buktinya, untuk mengejar teroris dan membongkar jaringannya, polisi (Densus 88 antiteror) berani mengobok-obok lembaga pendidikan pesantren, mengawasi juru dakwah, dan mengintimidasi masyarakat publik.

Jika 'kebijakan' represif ini ditujukan untuk membasmi terorisme, guna melindungi rakyat dan menegakkan supremasi hukum, mungkin masih dapat ditolerir. Memberantas teroris kita dukung, tapi jangan salah kaprah dan overacting, dikhawatirkan upaya itu justru meresahkan masyarakat, menciptakan suasana antagonis, karena para pendakwah diposisikan sebagai orang yang dicurigai. Faktanya, kemarahan Densus 88 terhadap para teroris, identik dengan kemarahan terhadap dakwah Islam, juru dakwah, serta para mujahid penegak syari'at Islam.

Kriminalisasi Juru Dakwah

Dakwah Islam di Indonesia bagai pelita yang tak pernah padam. Ia melaju, dipandu dalam gerak estafeta generasi ke generasi sejak ratusan tahun silam. Adakalanya obor dakwah meredup, akibat kondisi internal yang melemah atau tekanan dari luar. Tapi selalu ada juru dakwah yang tampil menuangkan energi baru, sehingga obor dakwah terang kembali. Sumbu dakwah Islam tidak boleh kering dari sinar kebenaran, sekalipun rekayasa politik maupun fakta sosial menggerogoti eksistensinya.

Sedangkan para Da'i (juru dakwah) Islam merupakan urat nadi kehidupan sosial masyarakat; dan selamanya tidak pernah menjadi juru teror. Mereka senantiasa menawarkan perspektif humanistik dan ideologis, yang menyentuh peranan akhlak dan amar ma'rfu nahi munkar. Adakalanya mereka tampil di halayak umat sebagai tabib, yang dengan keramahannya bisa mengatasi frustasi dan depresi mental.

Disaat lain, seorang da'i juga aktif sebagai pengamat sosial dengan melancarkan kritik konstruktif untuk mereformasi masyarakat yang bobrok, jorok, dan bodoh menjadi masyarakat yang terhormat. Bahkan tidak jarang, para juru dakwah ini menjadi pendamping yang produktif bagi si kaya, sekaligus pendamping yang kreatif bagi si miskin.

Lalu, mengapa pemberantasan terorisme diarahkan untuk menyerang faham keagamaan yang dianggap sebagai penyulut ideologi terorisme? Ada apa di balik gagasan kepolisian untuk mengawasi dakwah para da'i dengan dalih menghentikan publikasi terorisme? Pertanyaan ini menjadi penting dan relevan, mengingat beredarnya pernyataan kepolisian terkait perlunya mengawasi aktivitas dakwah sangat meresahkan masyarakat Muslim.

Kemarahan polisi terhadap para juru dakwah, antara lain dapat dilihat dalam kasus 'kriminalisasi juru dakwah' Ustadz Abu Jibril Abdurrahman. Sebagai juru dakwah yang konsisten dengan misi penegakan syari'at Islam di lembaga Negara melalui manhaj dakwah dan jihad, sudah berulangkali difitnah sebagai 'mata air terorisme', sekalipun segala tuduhan itu hanya omong kosong belaka.

Akibatnya, tidak hanya sebatas penangkapan putranya M Jibriel, melainkan juga teror, isolasi serta intimidasi dakwah. Sejumlah masjid, yang selama ini tempatnya menyampaikan dakwah, secara sepihak membatalkan dan mencekal pengajian rutin yang biasanya diisi oleh Ustadz Abu Jibriel. Pengurus masjid dan majelis ta'lim mengaku didatangi aparat dan diteror agar tidak lagi mendatangkan beliau untuk berceramah. Segala tindakan kedzaliman dan ketidakadilan ini mengingatkan kita ke masa represif rezim orde baru yang sangat membenci syari'at Islam dan kaum Muslimin.

Prilaku aparat keamanan yang mengintimidasi masyarakat agar menjauhi juru dakwah yang berani berterus terang dengan kebenaran Islam, merupakan warisan orang-orang kafir di masa Nabi Syu'aib alaihi salam, sebagaimana firman Allah Swt:

"Pemuka-pemuka kaum Syu'aib yang kafir berkata (kepada sesamanya): "Sesungguhnya jika kamu mengikuti Syu'aib, tentulah kamu menjadi orang-orang yang rugi." Kemudian mereka ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah mereka." (Qs. Al-AS'raf, 7:90-91)

Maka patutlah dipertanyakan, seorang juru dakwah yang dijauhkan dari masyarakat karena dituduh sebagai teroris, apakah karena tindakan teror yang dia lakukan, ataukah stigmatisasi Amerika yang diadopsi oleh antek-anteknya di negeri ini? Lalu, apa sanksi hukum bagi mereka yang memvonis orang lain sebagai 'gembong teroris', sementara segala tuduhan keji itu tidak pernah terbukti, baik melalui pengadilan maupun fakta sosial di lapangan?

Kasus Muhammad Jibril Abdurrahman, yang ditangkap 25 Agustus 2009, adalah salah satu kasus yang sangat dipaksakan dan sewenang-wenang. Dia diculik di tengah jalan setelah polisi mengumumkan sebagai DPO. Dua hari kemudian, Densus mengantar surat penangkapan pada keluarganya. Padahal memasukkan seseorang sebagai anggota jaringan teroris, tanpa aturan dan ukuran yang jelas, lebih berbahaya dari teror. Aparat keamanan akan bertindak seenaknya melakukan penangkapan berdasarkan kecurigaan semata-mata.

Pada awalnya Muhammad Jibril disangka sebagai penyandang dana teror bom di Hotel JW Marriot dan Ristz Carlton. Setelah Duta besar Inggris datang menemui Kapolri, 27 Agustus 2009, tuduhannya berubah sebagai mantan anggota Al Qaeda, dan telah menyembunyikan korban salah bunuh Syaifuddin Zuhri. Dalam sidang pengadilan yang digelar di PN Jakarta Selatan sejak......hingga pemeriksaan saksi, semua tuduhan itu tidak dapat dibuktikan oleh jaksa penuntut umum, tapi tetap saja dipenjara. Lalu untuk kepentingan siapa sesungguhnya penangkapan dan penahanan ini?

Proses kriminalisasi juru dakwah dilakukan melalui tiga tahapan propaganda, yaitu: Pertama, propaganda safsathah, yaitu menyebarkan informasi dusta yang dibungkus dengan data-data fiktif, seperti dilakukan oleh Sidney Jones (Direktur International Crisis Group).

Laporan berkala Sidney Jones menjadi masukan resmi Kongres Amerika, FBI, dan CIA, seringkali menipu dan memprovokasi aparat kepolisian Indonesia. Banyak hal yang dilaporkan Sidney Jones menipu orang Indonesia, bahkan mengejutkan orang yang namanya disebut dalam laporan itu, karena ia terkesan sangat menguasai hingga ke detail peristiwa radikalisme bahkan sampai ke "celana dalam" pelaku, seperti dalam laporan "The Case of The Ngruki Network in Indonesia".

Oleh karena itu, tak jelas apakah terorisme di Indonesia itu karya orang Indonesia atau mainan intelijen Barat. Apakah teroris itu pelaku teror atau korban dari permainan politik global. Kiprah Sidney Jones nampak sekali standar gandanya, tetapi yang jelas hasilnya adalah menciptakan citra negatif Indonesia di mata internasional. Pers Indonesia pun larut ke dalam teori safsathah Sidney Jones karena memang tidak ada laporan lain yang bisa menandinginya sehingga wacana terorisme di Indonesia hanya melalui satu corong, yakni corong Sidney Jones.

Kedua, propaganda Jadal, artinya menyebarkan pendapat tertentu dengan mengajukan fakta-fakta yang akurasinya diragukan. Misalnya, pernyataan mantan kepala BIN, Hendropiyono, Begitupun AM Hendro Priyono, mantan kepala BIN selama beberapa jam melakukan wawancara jarak jauh dg TVone, 17-07-2009. Yang menarik adalah kesimpulan dia bahwa kaum ekstrimis Islam yg terlibat teroris mancanegara berasal dari dua aliran dalam agama Islam, yaitu Wahabi dan Ikhwanul Muslimin.

Mantan Kadensus 88/Antiteror Polri Brigjen Pol (pur) Suryadarma Salim menyatakan, bahwa jaringan Al Qaidah berada di balik aksi pengeboman di Jakarta tersebut. Lantas, mengapa Indonesia yang menjadi sasaran para teroris itu? Sur ya menjelaskan, JI sudah ter bagi ke dalam beberapa zona. Mi salnya, Malaysia dan Singa pura sebagai zona ekonomi. "Orang luar negeri yang Muslim lebih besar menyumbangnya daripada orang Indonesia," katanya.

Nah, Indonesia menjadi daerah trainer untuk melakukan operasi-operasi. Yakni, untuk pelatih an setelah kamp JI dibubarkan Al Qaidah dan dipaksa keluar dari Afghanistan . Selanjutnya, me reka membangun kamp di Min danao , Filipina, yang disebut kamp Abu Bakar. " Indonesia tem pat melakukan operasi dengan prediksi kalau Indonesia bisa dikuasai, Indonesia akan menyerang Singapura , Malaysia , Thai land , dan seterusnya," jelasnya.

Ketiga, teori khithabi, analisa yang bersifat provokatif, dengan menebar fitnah guna merusak citra, seakan-akan segala ancaman yang menimpa adalah akibat perbuatan musuh politiknya. Misalnya, pernyataan jawara intelijen Hendropriyono ketika mengomentari peristiwa teror dengan menyisipkan fitnah bahwa para teroris ini adalah dari kelompok gerakan Wahabi, Darul Islam, Ikhwanul Muslimin ala Hasan Al Banna. Hendro dengan entengnya melemparkan fitnah tersebut sebagaimana biasanya dilakukan agen zionis dan Amerika.

Gerakan Wahabi yang diplopori oleh Abdul Wahab pada abad 19 M atau 12 H, hanya mengajak umat Islam meninggalkan akidah syirk, amaliyah yang bercampur aduk dengan kepercayaan syirk tanpa pernah melakukan kekerasan fisik, melainkan dengan ceramah dan menulis buku. Dan tidak pernah ada bukti bahwa Syeikh Abdul Wahab mendirikan laskar untuk melakukan kekerasan pada rakyat. Adapun Kerajaan Saudi Arabia di bawah pimpinan Raja Ibnu Saud yang sering melakukan tindakan represif tidak berkaitan dengan paham keagamaan, tetapi berkaitan dengan kelompok yang memberontak kepadanya.

Jadi, antara Abdul Wahab dengan prilaku Ibnu Saud di dalam menegakkan kerajaannya merupakan dua hal yang berbeda. Dan Syeikh Abdul Wahab tidak bisa dipersalahkan, apalagi Wahabi disebut sebagai pelopor teroris. Begitupun Ikhwanul Muslimin yang menjadi korban tindakan kekerasan raja Farouk dengan penjajah Inggris, sehingga Hassan Al Banna dibunuh secara keji di tengah jalan. Padahal Hasan Al Banna hanya mengajarkan Islam kepada rakyat mesir dan mengajak raja serta para pejabat kerajaan Mesir untuk menghargai agamanya, dan menyatakan tekad merdekanya dari penjajahan Inggris.

Jihad Versus Terorisme

Dialektika terorisme, secara faktual disebabkan oleh dua hal. Pertama, adanya kekerasan durjana dan durhaka yang hendak menaklukkan masyarakat tertindas (mustadh'afin) agar tidak berani melawan kekuatan sang penindas (mustakbirin). Kedua, terorisme yang dimotivasi oleh perlawanan rakyat tertindas terhadap penguasa zalim, sementara mereka yang tertindas itu tidak mampu melawan atas penindasan yang dideritanya kecuali dengan melakukan teror. Tujuannya, tentu saja untuk menekan si penindas yang kejam itu agar tidak melestarikan kejahatannya terus menerus.

Tindakan Israel yang menghancurkan perkampungan rakyat Palestina dan membunuh rakyat sipil. Termasuk imprialisme Amerika di Irak dan Afghanistan yang meluluhlantakkan sarana sosial, pendidikan bahkan struktur pemerintahan merupakan terorisme mustakbirin. Sebaliknya, perjuangan rakyat Palestina untuk mengenyahkan penjajah Israel menggunakan senjata seadanya, demi merebut kemerdekaannya dituduh sebagai kaum teroris oleh zionis Israel. Bahkan perjuangan rakyat Muslim di Irak dan perlawanan pejuang Taliban di Afghanistan dianggap sebagai terorisme oleh Amerika berdasarkan keputusan diskriminatif dari PBB. Padahal, bagi kedua Negara tersebut, prilaku AS bahkan lebih jahat dari kaum teroris.

Lalu, siapa sesungguhnya meneror siapa? Apabila dalam persepektif ini kita memosisikan Israel, Amerika dan Negara pendukungnya disatu pihak, dan Hamas, Al Qaidah, kelompok Imam Samudera di pihak lainnya, dengan niat dan motivasinya masing-masing; barangkali aparat keamanan tidak perlu paranoid menghadapi teror bom yang terjadi di Negara kita. Artinya, pemberantasan terorisme tidak perlu menggunakan pendekatan SARA, distorsi agama, apalagi bersikap diskriminatif terhadap juru dakwah dan aktivis Islam.

Munculnya gagasan untuk mengawasi aktivitas dakwah para Da'i Muslim, akibat terjebak dalam teori 'tangkap dulu baru kemudian diperiksa', menciptakan keresahan di masyarakat, atau meneror para Du'at yang lantang mengkritik berbagai pelanggaran penanganan teror di Indonesia, justru menjadi bagian dari aksi teror itu sendiri.

Pasca penembakan Dulmatin, muncul sikap-sikap oportunis dan munafiq, yang secara sistimatis dan radikal mengopinikan jihad sebagai tindak kejahatan. Namun anehnya, dalam menghadapi kejahatan narkoba misalnya, polisi menggunakan istilah jihad melawan narkoba. Disatu sisi jihad dimaki sebagi teror, dipihak lain kegagalan pemerintah memberantas narkoba, mereka gunakan kata jihad untuk membangkitkan semangat masyarakat memberantas narkoba. Inilah adalah sikap oportunis kaum pragmatis.

Tindakan Densus 88 yang secara sadis membunuh orang-orang yang baru diduga teroris sehingga menimbulkan ketakutan masal di masyakat, dan menyebabkan orang takut menghadiri majelis taklim tertentu karena mubalihgnya bicara jihad, dapat dikategorikan sebagai tindakan teror yang sebenarnya. Betapapun jahatnya AS ketika menangkap Hambali di Pattani, tapi CIA tidak membunuhnya sekalipun dianggap DPO yang sangat berbahaya. Begitupun pemuda Liberia mau membajak pesawat AS tidak dibunuh oleh CIA, tapi ditangkap hidup-hidup. Karena itu, atas dasar hukum apa Densus dengan mudah membunuh dan memenjara mereka yang disetigma teroris? Apakah manusiawi, memenjarakan istri yang sedang hamil tua setelah suami mereka dibunuh dengan tuduhan teroris?

Stigmatisasi Islam sebagai sumber terorisme karena adanya beberapa aktivis yang melakukan tindakan teror, tidak boleh menjadi alasan bagi tindakan represif, apalagi dengan seenaknya membunuh dan menyeret mayat tersangka teroris di jalanan. Seharusnya dipertanyakan, apakah tindakan teror yang dilakukan, muncul sebagai reaksi terhadap kezaliman yang merajalela pada suatu bangsa karena penguasanya bertindak represif kepada rakyat? Jika ternyata unsur paling dominan yang memotivasi gerakan teror disebabkan tindakan destruktif penguasa pada rakyat demi melayani kepentingan asing, maka yang bertanggungjawab atas munculnya berbagai peristiwa teror ini adalah pemerintah yang berkuasa, dan bukan agama yang dipeluk oleh tersangka teroris itu.

Dengan alasan demikian, maka terorisme yang terjadi di Indonesia harus dibebankan tanggungjawabnya pada pemerintah dan aparat keamanan yang selama ini gagal menghadirkan kesejahteraan pada mayoritas rakyatnya. Presiden SBY pernah mengatakan, bahwa kemiskinan merupakan salah satu penyebab munculnya terorisme. Oleh karena itu, salah besar jika pemerintah ataupun aparat keamanan menstigmatisasi ajaran Islam sebagai sumber teroris khusunya syariat jihad.

Dalam praktik sosial, jihad fisabilillah berarti memberdayakan rakyat untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, serta memberantas kebathilan menumpas kemaksiatan. Adapun dalam ranah kekuasaan Negara, jihad sesungguhnya merupakan suatu sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta yang menjadi bagian dari tata kehidupan bernegara semenjak umat manusia mengenal tatanan bernegara. Sebuah Negara pasti membutuhkan adanya tentara, alat perang, dan aturan perundang-undangan yang menjadi dasar untuk mepertahankan Negara dari serangan musuh dan rekruitmen tenaga tentara dari Negara yang bersangkutan.

Oleh karena itu, menyamakan teror dengan jihad merupakan upaya menyesatkan umat Islam dari ajaran agamanya; sekaligus membuktikan adanya ghazwul fikri yang dilakukan musuh Islam terhadap umat Islam. Begitupun perburuan Densus terhadap orang yang diduga sebagai teroris, yang ternyata hanya ditujukan pada mereka yang beragama Islam menunjukkan bahwa perang ideologi sedang terjadi dengan hebat di Indonesia. Apalagi dengan adanya usaha membagi umat Islam menjadi kelompok radikal dan moderat, militan dan toleran, yang telah merasuki sebagian dari tokoh ormas Islam sehingga mereka lebih senang memerangi saudaranya sesame Muslim daripada menghadapi agresi zionis dan salibis.

Untuk mengatasi terorisme di Indonesia, rezim pemerintahan SBY harus berani melakukan debat publik dengan rakyat Indonesia yang meragukan hal-hal yang diwacanakan oleh aparat mengenai jihad dan terorisme. Jika tidak, maka tindakan Densus 88 membunuh orang-orang yang dicurigai sebagai teroris merupakan tindakan keji dan biadab terhadap rakyatnya sendiri. Wallahu a'lam bis shawab

Oleh Irfan S Awwas

Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
Jogjakarta, 1 April 2010
Sang Pencetus Larangan Masjid Di Swiss Itu Kini Masuk Islam
Senin, 01/02/2010 13:37 WIB | email | print | share

Daniel Streich, politikus Swiss, yang tenar karena kampanye menentang pendirian masjid di negaranya, tanpa diduga-duga, memeluk Islam.

Streich merupakan seorang politikus terkenal, dan ia adalah orang pertama yang meluncurkan perihal larangan kubah masjid, dan bahkan mempunyai ide untuk menutup masjid-masjid di Swiss. Ia berasal dari Partai Rakyat Swiss (SVP). Deklarasi konversi Streich ke Islam membuat heboh Swiss.

Streich mempropagandakan anti-gerakan Islam begitu meluas ke seantero negeri. Ia menaburkan benih-benih kemarahan dan cemoohan bagi umat Islam di Negara itu, dan membuka jalan bagi opini publik terhadap mimbar dan kubah masjid.

Tapi sekarang Streich telah menjadi seorang pemeluk Islam. Tanpa diduganya sama sekali, pemikiran anti-Islam yang akhirnya membawanya begitu dekat dengan agama ini. Streich bahkan sekarang mempunyai keinginan untuk membangun masjid yang paling indah di Eropa di Swiss.

Yang paling menarik dalam hal ini adalah bahwa pada saat ini ada empat masjid di Swiss dan Streich ingin membuat masjid yang kelima. Ia mengakui ingin mencari “pengampunan dosanya” yang telah meracuni Islam. Sekarang adalah fakta bahwa larangan kubah masjid telah memperoleh status hukum.

Abdul Majid Aldai, presiden OPI, sebuah LSM, bekerja untuk kesejahteraan Muslim, mengatakan bahwa orang Eropa sebenarnya memiliki keinginan yang besar untuk mengetahui tentang Islam. Beberapa dari mereka ingin tahu tentang hubungan antara Islam dan terorisme; sama halnya dengan Streich. Ceritanya, ternyata selama konfrontasi, Streich mempelajari Alquran dan mulai memahami Islam.

Streich adalah seorang anggota penting Partai Rakyat Swiss (SVP). Ia mempunyai posisi penting dan pengaruhnya menentukan kebijakan partai. Selain petisinya tentang kubah masjid itu, ia juga pernah memenangkan militer di Swiss Army karena popularitasnya.

Lahir di sebuah keluarga Kristen, Streich melakukan studi komprehensif Islam semata-mata untuk memfitnah Islam, tapi ajaran Islam memiliki dampak yang mendalam pada dirinya. Akhirnya ia malah antipati terhadap pemikirannya sendiri dan dari kegiatan politiknya, dan dia memeluk Islam. Streich sendiri kemdian disebut oleh SVO sebagai setan.

Dulu, ia mengatakan bahwa ia sering meluangkan waktu membaca Alkitab dan sering pergi ke gereja, tapi sekarang ia membaca Alquran dan melakukan salat lima waktu setiap hari. Dia membatalkan keanggotaannya di partai dan membuat pernyataan publik tentang ia masuk Islam. Streich mengatakan bahwa ia telah menemukan kebenaran hidup dalam Islam, yang tidak dapat ia temukan dalam agama sebelumnya. (sa/iol)

Senin, 10 Mei 2010

DA'WAH ISLAM BUKAN TERORISME

BETAPA sulitnya memperbaiki nasib bangsa Indonesia, karena orang-orang yang baik di negeri ini kian langka adanya. Sistem Negara demokrasi, bahkan lebih banyak memberi peluang menebar kejahatan daripada menabur kebaikan. Sudah jamak terjadi, seseorang yang dikenal sebagai tokoh baik-baik di masyarakat, begitu terlibat dalam kekuasaan pemerintahan, bukannya memperbaiki keadaan yang sudah rusak, malah dia sendiri yang diperbaiki akibat melakukan kerusakan di atas kerusakan yang sudah ada.

Dalam keadaan demikian, berlakulah firman Allah: "Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada penguasa di negeri itu (supaya mentaati Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan di dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya." (Qs. Al-Isra', 17:16)

Adalah kewajiban para pejabat untuk membangun Negara, menyuburkan keadilan sosial, meningkatkan kesejahteraan rakyat, membela kemanusiaan secara adil dan beradab. Dalam suatu Negara, penguasa/pejabat negara dan pengusaha adalah dua unsure mutrafin yang saling menguatkan. Apabila keduanya menjadi mata rantai kejahatan di suatu negeri, maka mereka telah memosisikan dirinya sebagai penghancur, implementasi program syetan-iblis laknatullah untuk menghancurkan rakyat dan negerinya.

Kenyataannya, penguasa yang bertindak sebagai Fir'aun selalu ingin menguasai segala hal demi melestarikan kekuasaannya. Sedangkan pengusaha, bertindak seperti Namrud yang selalu mengusahakan apa saja agar menguntungkan ushanya. Maka sekalipun kejahatan korupsi, illegal login, peredaran narkoba, dekadensi moral, berkembangbiaknya mafia hukum serta markus (makelar kasus), terbukti telah menjadi penyakit epidemi yang melahirkan keterbelakangan, ketidak adilan, dan kebodohan masyarakat. Namun, semua itu belum cukup merangsang penguasa negeri ini untuk marah, kemudian memberantas tuntas hingga ke akar-akarnya.

Bandingkan dengan tindakan represif kepolisian memberantas tindak pidana terorisme, jelas memperlihatkan kemarahan polisi (Densus 88) hingga mencapai ubun-ubun. Kulminasi kemarahan ini, justru menyebabkan sikap paranoid dan panik. Buktinya, untuk mengejar teroris dan membongkar jaringannya, polisi (Densus 88 antiteror) berani mengobok-obok lembaga pendidikan pesantren, mengawasi juru dakwah, dan mengintimidasi masyarakat publik.

Jika 'kebijakan' represif ini ditujukan untuk membasmi terorisme, guna melindungi rakyat dan menegakkan supremasi hukum, mungkin masih dapat ditolerir. Memberantas teroris kita dukung, tapi jangan salah kaprah dan overacting, dikhawatirkan upaya itu justru meresahkan masyarakat, menciptakan suasana antagonis, karena para pendakwah diposisikan sebagai orang yang dicurigai. Faktanya, kemarahan Densus 88 terhadap para teroris, identik dengan kemarahan terhadap dakwah Islam, juru dakwah, serta para mujahid penegak syari'at Islam.

Kriminalisasi Juru Dakwah

Dakwah Islam di Indonesia bagai pelita yang tak pernah padam. Ia melaju, dipandu dalam gerak estafeta generasi ke generasi sejak ratusan tahun silam. Adakalanya obor dakwah meredup, akibat kondisi internal yang melemah atau tekanan dari luar. Tapi selalu ada juru dakwah yang tampil menuangkan energi baru, sehingga obor dakwah terang kembali. Sumbu dakwah Islam tidak boleh kering dari sinar kebenaran, sekalipun rekayasa politik maupun fakta sosial menggerogoti eksistensinya.

Sedangkan para Da'i (juru dakwah) Islam merupakan urat nadi kehidupan sosial masyarakat; dan selamanya tidak pernah menjadi juru teror. Mereka senantiasa menawarkan perspektif humanistik dan ideologis, yang menyentuh peranan akhlak dan amar ma'rfu nahi munkar. Adakalanya mereka tampil di halayak umat sebagai tabib, yang dengan keramahannya bisa mengatasi frustasi dan depresi mental.

Disaat lain, seorang da'i juga aktif sebagai pengamat sosial dengan melancarkan kritik konstruktif untuk mereformasi masyarakat yang bobrok, jorok, dan bodoh menjadi masyarakat yang terhormat. Bahkan tidak jarang, para juru dakwah ini menjadi pendamping yang produktif bagi si kaya, sekaligus pendamping yang kreatif bagi si miskin.

Lalu, mengapa pemberantasan terorisme diarahkan untuk menyerang faham keagamaan yang dianggap sebagai penyulut ideologi terorisme? Ada apa di balik gagasan kepolisian untuk mengawasi dakwah para da'i dengan dalih menghentikan publikasi terorisme? Pertanyaan ini menjadi penting dan relevan, mengingat beredarnya pernyataan kepolisian terkait perlunya mengawasi aktivitas dakwah sangat meresahkan masyarakat Muslim.

Kemarahan polisi terhadap para juru dakwah, antara lain dapat dilihat dalam kasus 'kriminalisasi juru dakwah' Ustadz Abu Jibril Abdurrahman. Sebagai juru dakwah yang konsisten dengan misi penegakan syari'at Islam di lembaga Negara melalui manhaj dakwah dan jihad, sudah berulangkali difitnah sebagai 'mata air terorisme', sekalipun segala tuduhan itu hanya omong kosong belaka.

Akibatnya, tidak hanya sebatas penangkapan putranya M Jibriel, melainkan juga teror, isolasi serta intimidasi dakwah. Sejumlah masjid, yang selama ini tempatnya menyampaikan dakwah, secara sepihak membatalkan dan mencekal pengajian rutin yang biasanya diisi oleh Ustadz Abu Jibriel. Pengurus masjid dan majelis ta'lim mengaku didatangi aparat dan diteror agar tidak lagi mendatangkan beliau untuk berceramah. Segala tindakan kedzaliman dan ketidakadilan ini mengingatkan kita ke masa represif rezim orde baru yang sangat membenci syari'at Islam dan kaum Muslimin.

Prilaku aparat keamanan yang mengintimidasi masyarakat agar menjauhi juru dakwah yang berani berterus terang dengan kebenaran Islam, merupakan warisan orang-orang kafir di masa Nabi Syu'aib alaihi salam, sebagaimana firman Allah Swt:

"Pemuka-pemuka kaum Syu'aib yang kafir berkata (kepada sesamanya): "Sesungguhnya jika kamu mengikuti Syu'aib, tentulah kamu menjadi orang-orang yang rugi." Kemudian mereka ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah mereka." (Qs. Al-AS'raf, 7:90-91)

Maka patutlah dipertanyakan, seorang juru dakwah yang dijauhkan dari masyarakat karena dituduh sebagai teroris, apakah karena tindakan teror yang dia lakukan, ataukah stigmatisasi Amerika yang diadopsi oleh antek-anteknya di negeri ini? Lalu, apa sanksi hukum bagi mereka yang memvonis orang lain sebagai 'gembong teroris', sementara segala tuduhan keji itu tidak pernah terbukti, baik melalui pengadilan maupun fakta sosial di lapangan?

Kasus Muhammad Jibril Abdurrahman, yang ditangkap 25 Agustus 2009, adalah salah satu kasus yang sangat dipaksakan dan sewenang-wenang. Dia diculik di tengah jalan setelah polisi mengumumkan sebagai DPO. Dua hari kemudian, Densus mengantar surat penangkapan pada keluarganya. Padahal memasukkan seseorang sebagai anggota jaringan teroris, tanpa aturan dan ukuran yang jelas, lebih berbahaya dari teror. Aparat keamanan akan bertindak seenaknya melakukan penangkapan berdasarkan kecurigaan semata-mata.

Pada awalnya Muhammad Jibril disangka sebagai penyandang dana teror bom di Hotel JW Marriot dan Ristz Carlton. Setelah Duta besar Inggris datang menemui Kapolri, 27 Agustus 2009, tuduhannya berubah sebagai mantan anggota Al Qaeda, dan telah menyembunyikan korban salah bunuh Syaifuddin Zuhri. Dalam sidang pengadilan yang digelar di PN Jakarta Selatan sejak......hingga pemeriksaan saksi, semua tuduhan itu tidak dapat dibuktikan oleh jaksa penuntut umum, tapi tetap saja dipenjara. Lalu untuk kepentingan siapa sesungguhnya penangkapan dan penahanan ini?

Proses kriminalisasi juru dakwah dilakukan melalui tiga tahapan propaganda, yaitu: Pertama, propaganda safsathah, yaitu menyebarkan informasi dusta yang dibungkus dengan data-data fiktif, seperti dilakukan oleh Sidney Jones (Direktur International Crisis Group).

Laporan berkala Sidney Jones menjadi masukan resmi Kongres Amerika, FBI, dan CIA, seringkali menipu dan memprovokasi aparat kepolisian Indonesia. Banyak hal yang dilaporkan Sidney Jones menipu orang Indonesia, bahkan mengejutkan orang yang namanya disebut dalam laporan itu, karena ia terkesan sangat menguasai hingga ke detail peristiwa radikalisme bahkan sampai ke "celana dalam" pelaku, seperti dalam laporan "The Case of The Ngruki Network in Indonesia".

Oleh karena itu, tak jelas apakah terorisme di Indonesia itu karya orang Indonesia atau mainan intelijen Barat. Apakah teroris itu pelaku teror atau korban dari permainan politik global. Kiprah Sidney Jones nampak sekali standar gandanya, tetapi yang jelas hasilnya adalah menciptakan citra negatif Indonesia di mata internasional. Pers Indonesia pun larut ke dalam teori safsathah Sidney Jones karena memang tidak ada laporan lain yang bisa menandinginya sehingga wacana terorisme di Indonesia hanya melalui satu corong, yakni corong Sidney Jones.

Kedua, propaganda Jadal, artinya menyebarkan pendapat tertentu dengan mengajukan fakta-fakta yang akurasinya diragukan. Misalnya, pernyataan mantan kepala BIN, Hendropiyono, Begitupun AM Hendro Priyono, mantan kepala BIN selama beberapa jam melakukan wawancara jarak jauh dg TVone, 17-07-2009. Yang menarik adalah kesimpulan dia bahwa kaum ekstrimis Islam yg terlibat teroris mancanegara berasal dari dua aliran dalam agama Islam, yaitu Wahabi dan Ikhwanul Muslimin.

Mantan Kadensus 88/Antiteror Polri Brigjen Pol (pur) Suryadarma Salim menyatakan, bahwa jaringan Al Qaidah berada di balik aksi pengeboman di Jakarta tersebut. Lantas, mengapa Indonesia yang menjadi sasaran para teroris itu? Sur ya menjelaskan, JI sudah ter bagi ke dalam beberapa zona. Mi salnya, Malaysia dan Singa pura sebagai zona ekonomi. "Orang luar negeri yang Muslim lebih besar menyumbangnya daripada orang Indonesia," katanya.

Nah, Indonesia menjadi daerah trainer untuk melakukan operasi-operasi. Yakni, untuk pelatih an setelah kamp JI dibubarkan Al Qaidah dan dipaksa keluar dari Afghanistan . Selanjutnya, me reka membangun kamp di Min danao , Filipina, yang disebut kamp Abu Bakar. " Indonesia tem pat melakukan operasi dengan prediksi kalau Indonesia bisa dikuasai, Indonesia akan menyerang Singapura , Malaysia , Thai land , dan seterusnya," jelasnya.

Ketiga, teori khithabi, analisa yang bersifat provokatif, dengan menebar fitnah guna merusak citra, seakan-akan segala ancaman yang menimpa adalah akibat perbuatan musuh politiknya. Misalnya, pernyataan jawara intelijen Hendropriyono ketika mengomentari peristiwa teror dengan menyisipkan fitnah bahwa para teroris ini adalah dari kelompok gerakan Wahabi, Darul Islam, Ikhwanul Muslimin ala Hasan Al Banna. Hendro dengan entengnya melemparkan fitnah tersebut sebagaimana biasanya dilakukan agen zionis dan Amerika.

Gerakan Wahabi yang diplopori oleh Abdul Wahab pada abad 19 M atau 12 H, hanya mengajak umat Islam meninggalkan akidah syirk, amaliyah yang bercampur aduk dengan kepercayaan syirk tanpa pernah melakukan kekerasan fisik, melainkan dengan ceramah dan menulis buku. Dan tidak pernah ada bukti bahwa Syeikh Abdul Wahab mendirikan laskar untuk melakukan kekerasan pada rakyat. Adapun Kerajaan Saudi Arabia di bawah pimpinan Raja Ibnu Saud yang sering melakukan tindakan represif tidak berkaitan dengan paham keagamaan, tetapi berkaitan dengan kelompok yang memberontak kepadanya.

Jadi, antara Abdul Wahab dengan prilaku Ibnu Saud di dalam menegakkan kerajaannya merupakan dua hal yang berbeda. Dan Syeikh Abdul Wahab tidak bisa dipersalahkan, apalagi Wahabi disebut sebagai pelopor teroris. Begitupun Ikhwanul Muslimin yang menjadi korban tindakan kekerasan raja Farouk dengan penjajah Inggris, sehingga Hassan Al Banna dibunuh secara keji di tengah jalan. Padahal Hasan Al Banna hanya mengajarkan Islam kepada rakyat mesir dan mengajak raja serta para pejabat kerajaan Mesir untuk menghargai agamanya, dan menyatakan tekad merdekanya dari penjajahan Inggris.

Jihad Versus Terorisme

Dialektika terorisme, secara faktual disebabkan oleh dua hal. Pertama, adanya kekerasan durjana dan durhaka yang hendak menaklukkan masyarakat tertindas (mustadh'afin) agar tidak berani melawan kekuatan sang penindas (mustakbirin). Kedua, terorisme yang dimotivasi oleh perlawanan rakyat tertindas terhadap penguasa zalim, sementara mereka yang tertindas itu tidak mampu melawan atas penindasan yang dideritanya kecuali dengan melakukan teror. Tujuannya, tentu saja untuk menekan si penindas yang kejam itu agar tidak melestarikan kejahatannya terus menerus.

Tindakan Israel yang menghancurkan perkampungan rakyat Palestina dan membunuh rakyat sipil. Termasuk imprialisme Amerika di Irak dan Afghanistan yang meluluhlantakkan sarana sosial, pendidikan bahkan struktur pemerintahan merupakan terorisme mustakbirin. Sebaliknya, perjuangan rakyat Palestina untuk mengenyahkan penjajah Israel menggunakan senjata seadanya, demi merebut kemerdekaannya dituduh sebagai kaum teroris oleh zionis Israel. Bahkan perjuangan rakyat Muslim di Irak dan perlawanan pejuang Taliban di Afghanistan dianggap sebagai terorisme oleh Amerika berdasarkan keputusan diskriminatif dari PBB. Padahal, bagi kedua Negara tersebut, prilaku AS bahkan lebih jahat dari kaum teroris.

Lalu, siapa sesungguhnya meneror siapa? Apabila dalam persepektif ini kita memosisikan Israel, Amerika dan Negara pendukungnya disatu pihak, dan Hamas, Al Qaidah, kelompok Imam Samudera di pihak lainnya, dengan niat dan motivasinya masing-masing; barangkali aparat keamanan tidak perlu paranoid menghadapi teror bom yang terjadi di Negara kita. Artinya, pemberantasan terorisme tidak perlu menggunakan pendekatan SARA, distorsi agama, apalagi bersikap diskriminatif terhadap juru dakwah dan aktivis Islam.

Munculnya gagasan untuk mengawasi aktivitas dakwah para Da'i Muslim, akibat terjebak dalam teori 'tangkap dulu baru kemudian diperiksa', menciptakan keresahan di masyarakat, atau meneror para Du'at yang lantang mengkritik berbagai pelanggaran penanganan teror di Indonesia, justru menjadi bagian dari aksi teror itu sendiri.

Pasca penembakan Dulmatin, muncul sikap-sikap oportunis dan munafiq, yang secara sistimatis dan radikal mengopinikan jihad sebagai tindak kejahatan. Namun anehnya, dalam menghadapi kejahatan narkoba misalnya, polisi menggunakan istilah jihad melawan narkoba. Disatu sisi jihad dimaki sebagi teror, dipihak lain kegagalan pemerintah memberantas narkoba, mereka gunakan kata jihad untuk membangkitkan semangat masyarakat memberantas narkoba. Inilah adalah sikap oportunis kaum pragmatis.

Tindakan Densus 88 yang secara sadis membunuh orang-orang yang baru diduga teroris sehingga menimbulkan ketakutan masal di masyakat, dan menyebabkan orang takut menghadiri majelis taklim tertentu karena mubalihgnya bicara jihad, dapat dikategorikan sebagai tindakan teror yang sebenarnya. Betapapun jahatnya AS ketika menangkap Hambali di Pattani, tapi CIA tidak membunuhnya sekalipun dianggap DPO yang sangat berbahaya. Begitupun pemuda Liberia mau membajak pesawat AS tidak dibunuh oleh CIA, tapi ditangkap hidup-hidup. Karena itu, atas dasar hukum apa Densus dengan mudah membunuh dan memenjara mereka yang disetigma teroris? Apakah manusiawi, memenjarakan istri yang sedang hamil tua setelah suami mereka dibunuh dengan tuduhan teroris?

Stigmatisasi Islam sebagai sumber terorisme karena adanya beberapa aktivis yang melakukan tindakan teror, tidak boleh menjadi alasan bagi tindakan represif, apalagi dengan seenaknya membunuh dan menyeret mayat tersangka teroris di jalanan. Seharusnya dipertanyakan, apakah tindakan teror yang dilakukan, muncul sebagai reaksi terhadap kezaliman yang merajalela pada suatu bangsa karena penguasanya bertindak represif kepada rakyat? Jika ternyata unsur paling dominan yang memotivasi gerakan teror disebabkan tindakan destruktif penguasa pada rakyat demi melayani kepentingan asing, maka yang bertanggungjawab atas munculnya berbagai peristiwa teror ini adalah pemerintah yang berkuasa, dan bukan agama yang dipeluk oleh tersangka teroris itu.

Dengan alasan demikian, maka terorisme yang terjadi di Indonesia harus dibebankan tanggungjawabnya pada pemerintah dan aparat keamanan yang selama ini gagal menghadirkan kesejahteraan pada mayoritas rakyatnya. Presiden SBY pernah mengatakan, bahwa kemiskinan merupakan salah satu penyebab munculnya terorisme. Oleh karena itu, salah besar jika pemerintah ataupun aparat keamanan menstigmatisasi ajaran Islam sebagai sumber teroris khusunya syariat jihad.

Dalam praktik sosial, jihad fisabilillah berarti memberdayakan rakyat untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, serta memberantas kebathilan menumpas kemaksiatan. Adapun dalam ranah kekuasaan Negara, jihad sesungguhnya merupakan suatu sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta yang menjadi bagian dari tata kehidupan bernegara semenjak umat manusia mengenal tatanan bernegara. Sebuah Negara pasti membutuhkan adanya tentara, alat perang, dan aturan perundang-undangan yang menjadi dasar untuk mepertahankan Negara dari serangan musuh dan rekruitmen tenaga tentara dari Negara yang bersangkutan.

Oleh karena itu, menyamakan teror dengan jihad merupakan upaya menyesatkan umat Islam dari ajaran agamanya; sekaligus membuktikan adanya ghazwul fikri yang dilakukan musuh Islam terhadap umat Islam. Begitupun perburuan Densus terhadap orang yang diduga sebagai teroris, yang ternyata hanya ditujukan pada mereka yang beragama Islam menunjukkan bahwa perang ideologi sedang terjadi dengan hebat di Indonesia. Apalagi dengan adanya usaha membagi umat Islam menjadi kelompok radikal dan moderat, militan dan toleran, yang telah merasuki sebagian dari tokoh ormas Islam sehingga mereka lebih senang memerangi saudaranya sesame Muslim daripada menghadapi agresi zionis dan salibis.

Untuk mengatasi terorisme di Indonesia, rezim pemerintahan SBY harus berani melakukan debat publik dengan rakyat Indonesia yang meragukan hal-hal yang diwacanakan oleh aparat mengenai jihad dan terorisme. Jika tidak, maka tindakan Densus 88 membunuh orang-orang yang dicurigai sebagai teroris merupakan tindakan keji dan biadab terhadap rakyatnya sendiri. Wallahu a'lam bis shawab

Oleh Irfan S Awwas

Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
Jogjakarta, 1 April 2010