Laman

Sabtu, 19 November 2011

Menolak Kebenaran Awal Bencana dan Kekalahan

“Thaahaa. Kami tidak menurunkan Al Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah, tetapi sebagai peringatan kepada orang yang takut (kepada Allah), yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi. (Yaitu Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy). Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang ada di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah. Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi. Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak di sembah) melainkan Dia, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang baik).” (Qs. Thaahaa, 20: 1-8)
 
TANGGUNG JAWAB risalah dakwah yang di-bebankan Allah Swt ke-pada Kaum Muslim, sebagaimana diamanah-kan kepada Rasulullah Saw, tentunya tidak akan terasa berat manakala Kaum Muslim mau mene-lusuri sejarah panjang kehidupan Rasulullah Saw dan para sahabatnya, se-perti di paparkan dalam Al-Qur’anul Karim.
Ketika Umar ibn Khattab mencapai puncak kemarahannya kepada Rasulullah Saw dan Kaum Muslim, termasuk di antaranya adalah adik perempuannya sendiri, ia bergegas dengan pedang terhunus ditangan men-cari Rasulullah Saw, yang ia anggap mengganggu dan membuat masyarakat Makkah terpecah-belah. Yang tadinya tidak seorang pun berani mengatakan bahwa tradisi Jahiliah ada-lah tradisi terkutuk, tapi se-telah kedatangan Rasulul-lah Saw, suasana yang di-anggap telah tenang, da-mai, dan mapan selama ini, tiba-tiba diubah menjadi sesuatu yang membuat me-reka gempar. Bahkan mem-buat gigi graham mereka gemeretuk menahan ama-rah.
Api amarah yang di-usung oleh Umar dan orang-orang Quraish ha-nya akan padam bila di-bayar oleh melayangnya nyawa Muhammad. Begi-tulah gelora kebencian mereka kepada nabi yang dianggap sebagai biang segala kekacauan. Padahal mereka mengetahui bah-wa Muhammad adalah orang yang jujur. Tidak ada seorang dari bangsa Arab, bahkan dunia sekali-pun yang mendapat gelar Al-Amin, kecuali Muham-mad Rasulullah Saw. Hal ini membuktikan bahwa ternyata gelar dan pujian-pujian yang diberikan oleh Kaum Jahiliah tersebut tidak ada artinya, karena mereka mengingkari peng-hargaan yang mereka sematkan sendiri.
Tradisi-tradisi Jahi-liah yang selama ini me-reka jalankan dengan te-nang, tanpa ada koreksi dan teguran, ternyata di-babat habis oleh keda-tangan Muhammad yang mereka kenal paling jujur di muka bumi, paling halus dan lembut pekerti-nya, serta paling santun terhadap siapa saja. Bagi Umar, orang yang me-nyandang sekian banyak titel kemuliaan itu ternyata seorang pembawa bencana dan gangguan bagi me-reka. Umar merasa tak pantas berdiam diri saja, ia pun bersumpah untuk membunuh Rasulullah Saw.
Tetapi dengan takdir Allah Swt, gejolak dan kemarahan Umar dialih-kan dan disalurkan. Per-tama-tama, dengan api ke-marahan di ubun-ubun ia menuju rumah adik pe-rempuannya yang kala itu sedang belajar al-Qur’an.
Dari luar rumah ia mendengar ada suara, yang diantaranya adalah bacaan dari permulaan surat Thaahaa. Kema-rahannya ia lampiaskan dengan menempeleng adiknya dan membantik adik iparnya, hingga wajahnya lebam-lebam. Tetapi kemarahan Umar itu serta-merta reda karena kesadarannya tergugah ketika ia membaca sendiri catatan kecil yang berisi-kan beberapa ayat dari surat Thaahaa, yang ia rebut dari adiknya.

Apa sesungguhnya yang terjadi pada sosok Umar yang awalnya begitu anti Islam, berubah total menjadi pembela Islam, menjadi kekayaan Islam yang tiada tandingannya sampai hari kiamat?
Setelah di buka oleh ayat pertama, pada ayat kedua Allah menyatakan, “Wahai laki-laki (Muham-mad), Kami turunkan ke-padamu al-Qur’an bukan untuk membuat kamu celaka hidup di dunia”. Ayat ini menjadi bantahan Allah terhadap kaum Quraish yang berkeyakin-an bahwa Muhammad adalah manusia paling ce-laka, karena dia membawa al-Qur’an.
Melalui ayat ini Allah meyakinkan Nabi Saw, bahwa beliau dipilih dan diutus oleh Allah bukan untuk dicelakakan dan bukan pula untuk mene-rima musibah, sebagai-mana anggapan orang-orang Quraish dan Umar yang hendak membunuh beliau. Tetapi ada tujuan mulia, yaitu sebagaimana dinyatakan pada ayat ke-tiga, “Melainkan al-Qur’an ini diturunkan ke-pada kamu Muhammad supaya kamu menyam-paikan per-ingatan kepada orang yang masih punya takut kepada Allah”.
Ayat di atas berisi pe-negasan Allah yang sangat jelas, bahwa orang yang bisa diajak untuk meng-ikuti ajaran Islam hanya-lah orang-orang yang masih punya takut kepada Allah. Se-lebihnya tidak a-kan bisa.
Tanpa Paksaan

Mengajak se-mua manusia agar berkenan  meng-ikuti jejak Rasulul-lah Saw adalah harapan yang mu-lia, tetapi Allah memperi- ngatkan bahwa hal itu ada-lah suatu yang mustahil. Yang bisa diajak hanya-lah orang-orang yang dalam hati-nya masih ada rasa takut kepada Allah. Dengan demikian, hati Nabi Saw menjadi lega karena tidak ada target point men-jadikan semua manusia memeluk Islam. Allah ti-dak menuntut Nabi Saw mengislamkan semua orang, karena hal itu bukan kewajiban beliau. Beliau hanyalah penyeru, bukan penentu Islam atau tidak-nya seseorang.
Adapun orang-orang yang tidak punya rasa ta-kut kepada Allah menjadi urusan-Nya. Dengan be-gitu Rasulullah Saw bisa mengangkat muka dalam menyampaikan dakwah Islam.
Tidak adanya tang-gung jawab kewajiban mengislamkan semua o-rang bagi Rasulullah Saw, juga berlaku bagi Kaum Muslim sekarang. Dengan demikian, Umat Islam tidak diperkenankan me-maksa orang untuk harus beragama Islam dan tun-duk kepada Allah.
Pemaksaan agar se-mua orang memeluk Islam tidak parlu dilakukan me-ngingat kekuasaan Allah yang begitu tinggi. Hal ini yang ditegaskan pada ayat yang keempat, “Dan Qur’an ini Muhammad, di-turunkan dari Tuhan yang menciptakan bumi dan yang menciptakan langit yang tinggi”. Islam atau tidaknya sese-orang, tidak ber-pengaruh terha-dap kekuasaan Allah.
Hal lain yang tersurat pada ayat keempat ini adalah Allah meyakinkan manusia bahwa al-Qur’an bukanlah buatan Muham-mad, bukan pula buatan jin, dukun, apalagi para pe-nyair. Tapi Allah lah yang men-ciptakan langit dan bumi. Ini jaminan Allah kepada Nabi Saw supaya beliau tidak ragu dan bimbang karena perlawanan manusia.
Adanya pene-gaskan jaminan dari Allah menim-bulkan keyakinan kuat pada diri Rasulullah Saw bahwa beliau tak akan mungkin mampu dikalah-kan oleh manusia. Karena manusia tidak mungkin dapat mengalahkan pen-cipta langit dan bumi. Itu berarti pula bahwa manu-sia juga tidak akan mung-kin mengalahkan al-Qur’an. Inilah cermin ter-besar bagi kaum Muslim, bahwa ketika mereka kon-sisten membawa al-Qur-’an, maka tidak akan ada seorang pun yang mampu mengalahkan mereka.
Jaminan uni-versal bagi kaum Muslim, ketika me-reka menyam-paikan al-Qur’an yang sebenarnya, adalah mereka ti-dak akan bisa ber-buat neko-neko (macam-macam). Konsekuensinya, manusia hanya a-kan menjalankan yang diperintahkan oleh Allah Swt. Dan dakwah yang ia sampaikan ada-lah dakwah jujur tanpa ada yang di-sembunyikan, dan tanpa ada yang di-takuti kecuali Allah Swt.
Urgensi rasa takut yang harus dimiliki oleh Kaum Muslim adalah lahirnya kewajiban me-nyampaikan adanya siksa neraka. Allah memberi-kan keyakinan, “liman yakhsya”, hanya orang takutlah yang kamu ajak. Sedangkan orang yang tidak mempunyai rasa ta-kut tidak akan mungkin terketuk hatinya. Oleh ka-rena itu, menyampaikan kepada setiap orang ten-tang neraka dan siksanya, wajib hukumnya. Karena hal itulah yang menjadi titik pangkal untuk mem-bersihkan hati manusia. Ketakutan akan siksa ne-raka dan alam akhirat akan melahirkan kebersihan jiwa.
Namun kenyataan-nya, cerita-cerita tentang pedihnya siksa neraka cenderung disembunyi-kan oleh sebagian besar juru dakwah dengan ala-san takut ditolak oleh masyarakat, dengan alasan tidak akan disukai oleh masyarakat. Padahal, me-mang pada dasarnya tidak ada orang yang suka men-dengarkan hal-hal ngeri apalagi disiksa. Jangankan siksa akhirat, cerita ten-tang penjara di dunia saja, lengkap dengan penyik-saan, pemukulan dan lain sebagainya, sudah cukup membuat bergidik. Itulah watak manusia, apa yang tidak enak me-mang tidak akan disukai.
Tetapi jangan karena hal itu, ancaman neraka menjadi disembu-nyikan, sebab ke-tika dia sadar bah-wa azab itu tidak enak, maka hal itu-lah yang menjadi titik tonggak mun-culnya rasa takut kepada Allah.
Rasa takut ini-lah yang telah men-dera batin Umar. Ia tersentuh ayat, bahwa orang yang bisa memahami al-Qur’an adalah o-rang yang takut kepada Allah. Ma-ka ketika rasa takutnya ke-pada Allah telah muncul, saat itulah ia melupakan kemarahan dan kejeng-kelannya. Kesadaran yang datang tiba-tiba itulah yang menyebabkan ia spontan bertanya kepada adiknya, “Dimana Muhammad sekarang?”. Adiknya balik bertanya, “Untuk apa kamu ber-tanya demikian?, kalau kamu ingin membunuh dia, sebagaimana kamu menganiaya aku, maka lebih kamu bunuh aku daripada kamu menemui Muhammad”.
Mentalitas yang di-tunjukkan oleh adik pe-rempuan Umar adalah mentalitas hasil gemble-ngan al-Qur’an. Lantaran rasa takut yang ia miliki kepada Allah, maka ia me-rasa lebih baik dirinya yang menjadi korban daripada harus mengorbankan utu-san Allah.
Inilah contoh sejarah cemerlang yang akan terus diangkat dengan rasa bang-ga sepanjang zaman. Bah-wa rasa takut kepada Allah akan memunculkan ke-cintaan kepada-Nya dan kitab suci-Nya, melahirkan pembelaan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Sebagai-mana dia rela menerima tanggung jawab dari Allah untuk menyampaikan al-Qur’an itu.
Mendengar pekataan adiknya, Umar menyang-gah, “Tidak, aku tidak akan memusuhinya lagi”. Sehingga adiknya pun memberi tahu, “Dia se-dang berada di rumahnya Arqam”.
Begitulah, ketakutan kepada Allah akan mem-bangun keimanan yang te-guh. Sebaliknya, seseorang yang hatinya nihil dari rasa takut, tidak akan bisa diharapkan untuk mem-bangun keimanan, apalagi kemauan untuk membela agama Allah.

Hanyalah orang-o-rang yang sadar akan perlunya bekal untuk hari esok yang akan mau mem-perjuangkan agama Allah, memperjuangkan Syari’at Allah di tengah-tengah masyarakat yang meng-anggap bahwa al-Qur’an adalah pembawa mala-petaka, sebagaimana ang-gapan orang-orang Qu-raish.
Jadi, kalau masya-rakat Islam menganggap bahwa al-Qur’an hanyalah pembawa perpecahan, ma-ka orang itu pada hakikat-nya telah berkhianat ke-pada Islam. Karena Allah telah menyatakan bahwa al-Qur’an ini datang bukan untuk membuat manusia celaka dan saling ber-musuhan.
Namun kenyataan inilah yang dewasa ini se-ring menjadi tontonan. Orang-orang yang menga-ku Islam, dengan bangga mengatakan, “Kami ber-musuhan sebagai hasil bacaan kami terhadap al Qur’an”. Inilah manusia-manusia yang celaka.
Inilah yang harus di-jaga oleh Kaum Muslim, jangan sampai terjadi per-pecahan dengan alasan sama-sama menjalankan al-Qur’an. Bila hal ini ter-jadi, berarti tuduhan o-rang-orang kafir Quraish benar adanya. Tapi ben-dera yang harus dikibar-kan oleh Kaum Muslim adalah bendera yang dibawa oleh Rasulullah Saw, “wamaa arsalnaaka illa rahmatan lil ‘alamiin”.
Melalui keterangan di atas, diharapkan Kaum Muslim mampu meng-hayati tantangan dari ma-syarakat musyrik tentang al-Qur’an, serta bagaimana jawaban yang diberikan Allah kepada Nabi Mu-hammad Saw, tentang hakekat al-Qur’an ini. Setelah jelas bahwa al-Qur’an bukan untuk men-ciptakan kesengsaraan, dan tahu bahwa al-Qur’an hanya bisa diterima oleh orang-orang yang takut kepada Allah, ma-ka marilah segenap Kaum Muslim bersama-sama un-tuk mengikuti jejak Ra-sulullah dan para sahabat.
Aplikasi dari ke-sada-ran itu adalah kesediaan menyampaikan al-Qur’an secara terbuka, tidak perlu sembunyi-sembunyi, tidak perlu berbisik-bisik, tidak perlu hanya kepada kelom-poknya saja. Tetapi harus ada langkah spektakuler dengan menyampaikan al-Qur’an kepasar-pasar, ke-pada orang-orang kaya, ke rumah para pejabat, ke ru-mah orang-orang ber-kuasa, karena mereka itu-lah sasaran dakwah.
Bukan zamannya lagi main bisik-bisikan. Bukan-kah al-Qur’an diturunkan Allah bukan untuk dijadi-kan bahan bisikan, tetapi untuk disampaikan secara terbuka kepada siapa saja. Bukankah dalam menyam-paikan al-Qur’an yang dibutuhkan adalah percaya diri, bukan rasa minder. Dan bukankah menyam-paikan Islam tidak hanya dibatasi pada ruang masjid semata, atau dimushalla saja. Bila yang menjadi objek dakwah mempunyai rasa takut kepada Allah, maka do’a yang pantas terlontar adalah semoga mereka menjadi orang yang beriman. Amin
 
Artikel Ini Kerjasama antara:
Arrahmah.com dengan Risalah Mujahidin

http://arrahmah.com
The State of Islamic Media

Sabtu, 01 Oktober 2011

Bom Solo: Saatnya Penguasa Koreksi Diri!

Oleh: Harits Abu Ulya (Pemerhati Kontra-Terorisme & Direktur CIIA –The Community of Ideological Islamic Analyst-)

Isu terorisme kembali menjadi perniagaan yang dianggap menguntungkan oleh sebagian besar media. Momentumnya ada, peristiwa Bom Solo (25 September 2011) yang di lakukan oleh seseorang diduga bernama Achmad Yosepa Hayat alias Ahmad Abu Daud.
Presiden juga terlihat cekatan dalam hitungan 6 jam paska ledakan, menggelar jumpa pers menjelaskan intelijen (produk) disertai mimik yang serius, gesture tubuh yang meyakinkan, intonasi yang menahan “kemarahan”, dan tekanan intruksi untuk menggerakkan seluruh instrument aparat terkait untuk melakukan kontra-terorisme secara maksimal dan menyeluruh.Yang tidak lupa juga, Presiden sudah “memvonis” siapa pelaku dan kelompok jaringannya.Dua arus bekerja, dengan motif yang berbeda dan terkadang beririsan namun yang menjadi korban adalah sama “Islam & kelompok-kelompok Islam”.
Penulis sering ungkap dalam berbagai kesempatan (dalam tulisan dan seminar,ect); Kapan pemerintah mau belajar dan mau muhasabah diri dalam proyek kontra-terorisme? Karena sampai detik ini, secara tidak sadar pemerintah melalui aparatnya (Densus88 dan Lembaga BNPT) telah menjadi sumber dan akar kekerasan yang tidak berujung di negeri Indonesia dengan judul “terorisme”.Kenapa demikian? Ada beberapa aspek alasan yang secara obyektif perlu dikaji:
Pertama; dalam kerangka besar “Global war on terrorism” yang di kumandangkan Amerika paska runtuhnya gedung WTC, menjadikan Indonesia berada dibelakang barisan Amerika. Ini terbukti dengan lahirnya UU Terorisme No 15 Tahun 2003, kemudian juga lahirnya Detasemen 88 yang awal terbentuknya Amerika cs mensuport habis baik teknis dan dananya. Bahkan sampai detik ini, masih terlihat benang merah adanya satu rangkaian upaya penguatan legal frame untuk memperkokoh proyek “war on terrorism” dalam konteks domestic. Misalkan di DPR saat ini in progress RUU Kamnas, RUU Intelijen, dan juga sudah di wacanakan perlunya revisi UU terorisme dan UU Keormasan. Begitupun melalui BNPT sudah di usulkan perlunya pengadilan khusus Tipeter (tindak pidana terorisme).
Namun sangat disayangkan, Indonesia sikap politiknya tidak obyektif dan proporsional. Mengabaikan konstalasi politik global, dimana Amerika menjadi episentrum lahirnya ketidakstabilan di negeri-negeri Islam. Sikap politik arogan imperialis AS tidak pernah menjadi catatan atau kritik dari Indonesia,  justru seolah mengaminkan semua tindakan Amerika dengan tanpa koreksi. Langkah arogan AS-lah yang menstimulasi perlawanan-perlawanan dipusat pergolakan, atau bahkan perlawanan sporadis dengan berbagai bentuk dan tehniknya di luar wilayah pergolakan. Secara sosiologis, di negeri Indonesia realitas yang tidak bisa dipungkiri mayoritas penghuninya adalah muslim. Sikap “care” atas penderitaan saudara muslim lainya, dengan sedikit ditopang kesadaran politik atas konstelasi politik global akan menjadi spirit bagi orang atau kelompok tertentu untuk melakukan pembelaan dengan cara mereka.
Begitu pula, Indonesia seolah menutup mata adanya inflintrasi intelijen asing yang melakukan operasi pematangan dari proyek Global War On Terrorism. Dari sejak peristiwa bom Bali, sudah banyak tercium jejak operasi intelijen asing dan bahkan tekanan-tekanan Asing (AS) terhadap pemerintah Indonesia agar bisa segendang seirama dengan skenario mereka. Fakta seperti ini menjadikan sebagian kelompok muslim meposisikan dirinya pada kutub bersebrangan dengan pemerintah, disamping merasa terdzalimi karena pilihan mereka “melawan” di ranah domestik dipolitisir untuk menyudutkan Islam dan kaum muslimin. Dan perkara diatas seolah tidak disadari oleh pemerintah Indonesia dimana posisi kekeliruan, malah sebaliknya membabi buta menyudutkan kelompok muslim tertentu dan menyalahkan Islam sebagai ideology.
Kedua; dari proyek war on terrorism melahirkan turunan-turunan langkah yang dilakukan aparat Densus88 sesuatu yang “luar biasa”.Sejak operasi pemburuan di mulai hingga tahun 2011, sudah 650 orang lebih di tangkap dan di tahan. Bahkan lebih dari 50 orang tewas dalam berbagai aksi penggrebekan. Banyak orang ditangkap hanya karena sangkaan, dugaan, dan banyak orang tewas diluar proses hukum peradilan (extra judicial killing). Dalam catatan evaluasi Komnas HAM akhir tahun 2010; Densus88 banyak melakukan pelanggaran HAM secara serius. Bukankah dalam UU Terorisme no 15 tahun 2003, amanahnya adalah penahanan dan di adili? Bukan di grebek dan di eksekusi. Bukan ditembak ditempat hanya dengan asumsi obyek sangat membahayakan. Jika operasi dengan target mati, mungkin lebih cocok kalau yang terlibat dalam operasi kontra-terorisme adalah Militer (TNI), bukan aparat kepolisian. Tapi hari ini masyarakat melihat logika-logika langkah yang terbalik dan merancukan semua aturan serta prosedur.
Cara-cara hard power untuk mengikis terorisme terbukti banyak melahirkan korban, bahkan keluarga mereka yang tidak tersangkutpun menjadi korban (dengan hukuman sosial dari masyarakat sekitar). Dan cara-cara yang tidak proporsional (cenderung arogan) melahirkan sikap “dendam” dan antipati dari kelompok korban. Bahkan semua tindakan “arogan” tersebut menjadi dasar legitimasi kelompok “teroris” makin massif untuk melakukan perlawanan sampai batas kemampuan yang mereka miliki. Baik operasional lapanganya bersama-sama atau sendiri-sendiri.
Di sisi lain, kedzaliman-kedzaliman yang ditampilkan secara arogan oleh aparat dan pengadilan-pengadilan yang sarat dengan rakayasa dalam kasus terorisme menjadi stimulus tersendiri lahirnya kekerasan baru. Banyak individu yang empati atas nasib saudaranya yang terdzalimi. Cara empatinya di ekspresikan dalam bentuk perlawanan, baik sendiri atau kemudian menggabungkan diri bersama tandzim yang ada. Atau mengispirasi untuk membentuk tandzim baru yang dihimpun didalamnya orang-orang baru dengan spirit yang sama dengan visi perlawanan yang sama. Ini terlihat jelas dari pelaku-pelaku baru yang mereka tidak terkait dengan jihad di Afghanistan pada masa lampau, jihad Ambon dan Poso.
Langkah pemerintah melalui aparatnya ini juga seolah tidak di sadari sama sekali telah menjadi sumber dan lahirnya siklus kekerasan yang tidak berujung.
Ketiga; ditataran soft power yang saat ini menjadi fokus banyak instrument pemerintah juga melahirkan masalah tersendiri. Lebih-lebih paska terbentuknya BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) yang di ketuai Ansyad Mbai. Karena langkah soft power dalam bentuk proyek penguatan legal frame dan deradikalisasi, mengandung muatan yang sangat sensitive terhadap umat Islam. Bahkan cara-cara implementasi proyek deradikalisasi kurang “makruf”.
Sekarang ramai di bicarakan RUU Intelijen, satu piranti penting yang bisa memberi dukungan kontra-terorisme secara maksimal memuat substansi pasal-pasal yang sangat bermasalah dan rentan terjadinya “abuse of power”.Bahkan akan membungkam siapa saja yang bersebrangan dengan status quo hanya dengan alasan atau asumsi subyektif yaitu membahayakan keamanan nasional.
Deradikalisasi yang dikomandoi BNPT dengan anggaran 90 Miliar rupiah dan tahun depan di usulkan 126 Miliar rupiah, melahirkan kritik dan kontraksi internal umat Islam. Dengan cara pandang dan paradigma sekuler yang di miliki BNPT, kemudian menebar persepsi dan paradigma tentang akar terorisme dan solusinya. Intinya, Islam Iedologilah atau Islam Fundamentalis radikal yang dituduh menjadi akar terorisme di negeri Indonesia. Dan dalam pandangan BNPT perlunya dikembangan Islam Rahmatan (bahasa halus dari keyakinan liberal dan moderat sebagai seorang muslim). Akhirnya mereka mengenalkan definisi-definisi baru terhadap Islam dalam level pokok atau perkara cabangnya. Menggelar berbagai workshop, seminar, talkshow, dan semisalnya untuk menebarkan pandangan sekuler ala BNPT, dengan menggandeng NGO-NGO atau ormas yang ada atau bahkan mencatut MUI secara illegal untuk melaksanakan Halqoh Nasional Penanggulangan Terorisme diberbagai kota.
Perkara dan langkah ini juga, dengan sengaja atau tidak bahwa pemerintah telah membuat polarisasi kehidupan sosial politik masyarakat Indonesia (khususnya umat Islam). Sebuah cara “dialog” yang tidak fair, akan melahirkan kecurigaan terhadap motif dan semua langkah yang dilakukan oleh pemerintah. Mengkritaskan perlawanan dari jiwa-jiwa yang labil minim pemahaman terhadap kaidah-kaidah perubahan dan perlawanan secara syar’i.
Keempat; pemerintah dan media masa sekuler seperti setali tiga uang, media kompak untuk berteriak menjadi corong proyek kontra-terorisme. Tanpa lagi melakukan kajian elaborative dan holistic terhadap fenomena terorisme. Jika ada media yang investigative, faktanya penulis menemukan “deal” transaksi data-data aparat plus paradigmanya dengan pihak media tersebut, kemudian di ekspos plus vonis-vonis tendensiusnya. Media membranding isu terorisme dengan menjadikan para pengamat (tepatnya:komentator pesanan), untuk mematangkan opini dan isu dan mengkonstruksi persepsi masyarakat mengarah kepada kesimpulan tertentu.
Betapa timpangnya media melihat isu seksi “terorisme”, begitu gegabahnya media menghakimi dan mengarahkan persepsi masyarakat kepada kesimpulan-kesimpulan premature. Lihatlah, bagaimana orang membuat bom selevel petasan kemudian opini di giring bahwa NKRI, dan pilar-pilar bangsa yang ada dalam ancaman serius. Bahkan “teroris” hendak mengganti NKRI menjadi negara Islam. Atau bopengnya media terlihat dari kasus terbaru, rusuh Ambon paska Idul fitri kemarin. Seolah Media sekuler bungkam seribu bahasa, tapi ganti kasus menimpa kepada penganut minoritas (Kristen) di negeri ini mereka berteriak menggonggong secara massif. Apakah karena di Ambon yang menjadi korban adalah umat Islam?  Dan apakah karena di Solo korban luka-lukanya orang Kristen? Tentu media akan bersilat lidah menjawab tidak, tapi fakta tindakan dan sikap media jelas-jelas tidak berimbang dan tidak lagi bisa obyektif. Apakah kita sadar dalam kontek isu terorisme media telah menjadi salah satu pemicu munculnya “teroris-teroris” baru. Bagaimana tidak, ekspos secara fulgar operasi aparat yang ditampakkan bak jagoan “Rambo”, tapi semua orang muslim Indonesia “ngeh” bahwa itu arogansi dan kedzaliman. Dan ini menjadi catatan alam bawah sadar untuk generasi Islam, pada kesempatan mendatang mereka akan teriak “melawan” ketika akumulasi kedzaliman yang mereka saksikan sudah overload di benak dan perasaan mereka.
Sikap penguasa juga tidak jauh beda dengan media. Melalui Presiden SBY, kesannya terlalu sumbang menyikapi Bom Petasan di Solo.Justru langkah sigap ditengah carut marut dan bopengnya pemerintahan SBY yang di jerat kasus korupsi dan intrik-intrik politik lainya, dimaknai lain. Teori konspirasi banyak tersingkap di kemudian hari di negeri ini, dan masyarakat juga percaya dengan logika sederhana bahwa bom Solo kali ini bisa jadi produk operasi intelijen. Artinya, ada upaya pengalihan isu dari bobroknya pemerintah dan partai penguasa dengan kasus korupsinya (bahkan cenderung mendelegitimasi status quo) kepada isu terorisme. Seolah isu terorisme selalu menjadi tumbal untuk menutupi rusaknya sistem dan para penguasanya. Atau bahkan ada pihak-pihak yang bermain dengan motif politik lainya, missal; menjadi penguatan untuk melegislasi RUU Intelijen, atau memelihara proyek War On Terrorism yang di komandani oleh BNPT. Kenapa tidak?
Dan penulis menegaskan ulang; kalau realitas diatas terus saja di pelihara maka siapa sebenarnya yang menjadi sumber dan akar siklus kekerasan yang tidak berujung ini? Apakah akan terus-terusan Islam Ideologi (Islamis) yang dikambing hitamkan untuk menerima semua kesalahan? Apakah para pengusung syariat dan ideologi jihad yang akan di salahkan? Dan sangat aneh lagi, yang menuduh dan menyudutkan Islam dan umatnya adalah anak dan cucu umat Islam sendiri.
Kenapa pemerintah tidak pernah berbenah diri dalam sikap politik luar negeri dan domestiknya yang ramah terhadap kepentingan umat Islam? Nota bene mereka adalah mayoritas penghuni negeri ini. Kenapa pemerintah tidak sigap dan serius menciptakan keadilan dan kesejahteraan untuk rakyat ini? Justru loyalitas dan kepentingan Asing di negeri ini lebih dominan. Dan Kenapa pemerintah membisu terhadap VOC-VOC gaya baru sekarang? Benar memang, Amerika cs tidak menjajah secara fisik, tapi banyak aspek (dalam bidang;politik, ekonomi, pendidikan, budaya, hukum dan lainya) negeri ini dikelola mengikuti arahan dan kepentingan asing (Amerika).
Penulis (dalam hati kecil terkadang memaklumi), tidak bisa berharap banyak kepada para penguasa di negeri ini untuk bisa mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi umat Islam di negeri ini. Kenapa?, karena ideologi sistem yang dipakai adalah sistem sekuler-liberal dan sistem politiknya adalah demokrasi. Justru dalam berbagai kajian empirik, inilah yang menjadi akar carut marutnya negeri Indonesia termasuk negara pengusungnya (Amerika cs). Sistem ini telah melahirkan krisis permanen dan periodik.Ditambah lagi pejabat yang tidak amanah, dengan mekanisme sistem politik demokrasi mereka tersandra oleh uang dan kepentingan kelompok.
Wajar jika sampai hari ini isu terorisme dan kontra-terorisme baik di ranah global atau domestik, hanya menjadi kedok dan tumbal dari kepentingan-kepentingan pragmatis para opuntunir lokal dan imperialisme global. Dan sekaligus dijadikan alat untuk memberangus (dengan cara hard power maupun soft power) setiap gejolak kebangkitan (islam ideologis) yang akan meruntuhkan dominasinya pada masa yang akan datang.
Dan jika bom-bom terus meletup, kita mengerti siapa yang sesungguhnya berkontribusi. Saatnya penguasa (pemerintah) berbenah diri, megevaluasi tiap jengkal langkahnya dalam isu terorisme sebelum di runtuhkan oleh umat Islam dan di berikan balasan setimpal oleh Allah swt. Wallahu a’lam bishowab.(etrsamuslim.com/Selasa, 27/09/2011)
 

http://www.eramuslim.com/berita/analisa/bom-solo-saatnya-penguasa-koreksi-diri.htm

SBY dan "9 Malapetaka Terorisme"

Oleh: AM Waskito

FAKTA: Hari Minggu, 25 September 2011, sekitar pukul 10.55 WIB, seorang pemuda, diperkirakan usia 31 tahun, melakukan aksi bom bunuh diri di Gereja Kepunton Solo. Akibat aksi ini satu orang tewas -dengan usus terburai- yaitu si pelaku peledakan itu sendiri, dan puluhan jemaat gereja terluka. Menurut kabar, pelaku peledakan itu diperkirakan namanya Ahmad Yosefa.
Pagi hari terjadi peledakan bom, sore harinya SBY langsung membuat konferensi pers. Isi konferensi pers: dia menyebut peledakan itu sebagai aksi pengecut, dia menyebut pelaku peledakan itu ialah “jaringan Cirebon”, dan dia kembali memastikan bahwa Indonesia belum aman dari aksi-aksi terorisme.
Pernyataan SBY ini setidaknya mengandung dua masalah besar: Pertama, dia begitu cepat memastikan bahwa pelaku peledakan itu adalah ini dan itu. Hanya berselang beberapa jam SBY sudah memastikan, padahal hasil penyelidikan resmi dari Polri belum dikeluarkan. Hal ini mengingatkan kita kepada Tragedi WTC 11 September 2001.
Waktu itu media-media Barat sudah memastikan bahwa pelaku peledakan WTC adalah kelompok Usamah, hanya sekitar 3 jam setelah peristiwa peledakan. Seolah, SBY sudah banyak tahu tentang seluk-beluk aksi bom bunuh diri di Kepunton Solo tersebut.
Kedua, SBY untuk kesekian kalinya tidak malu-malu mengklaim bahwa kondisi Indonesia masih belum aman dari aksi-aksi terorisme. Kalau seorang pemimpin negara masih berakal sehat, seharusnya dia malu dengan adanya aksi-aksi terorisme itu.
Tetapi sangat unik, SBY tampaknya sangat “menikmati” ketika kondisi Indonesia tidak cepat lepas dari aksi-aksi terorisme.
Bila Masanya Tlah Tiba, Seseorang Akan Dikejar Bencana, Sekalipun Dia Bersembunyi di Pucuk Gunung Atau Liang Semut...
Setiap ada aksi terorisme, dimanapun juga, termasuk di Indonesia, kaidahnya sederhana. Aksi terorisme bisa dibagi menjadi 3 jenis:
(a). Aksi yang benar-benar murni dilakukan oleh pelaku terorisme dengan alasan ideologis. Mereka melakukan teror karena kepentingan ideologi, dan menjalankan aksi itu dengan persiapan-persiapan sendiri. Aksi-aksi yang dilakukan oleh IRA di Irlandia, Basque di Spanyol, atau kelompok David Coresh di Amerika termasuk jenis ini;
(b). Aksi terorisme yang dibuat oleh aparat sendiri dalam rangka mencapai tujuan politik tertentu. Aparat yang merancang dan mereka pula eksekutornya. Contoh monumental aksi demikian ialah peledakan WTC yang dilakukan oleh dinas intelijen Amerika sendiri;
(c). Aksi yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu (misalnya kelompok Jihadis) yang ditunggangi oleh aparat. Penyusun aksi itu sebenarnya aparat, tetapi eksekutornya diambil dari kalangan Jihadis yang mudah dipengaruhi dan diprovokasi. Aksi peledakan bom itu sangat mudah dibuat oleh mereka yang punya DANA, INFORMASI, dan AKSES SENJATA. Sedangkan sudah dimaklumi, aparat keamanan memiliki itu semua.
Mereka bisa membuat aksi peledakan dimanapun, lalu aksi itu diklaim dilakukan oleh pihak ini atau itu.
Malapetaka. Dalam bahasa Inggris disebut “disaster”. Dalam bahasa Arab disebut bala’. Seseorang disebut mendapat malapetaka ketika dia tertimpa keburukan, mushibah, kemalangan, atau penderitaan; karena telah melakukan kedurhakaan atau kezhaliman kelewat batas.
Contoh manusia yang mendapatkan malapetaka ialah George Bush. Begitu hinanya manusia itu, sehingga dia dilempar sepatu ketika berbicara di Irak. Tidak pernah ada kepala negara dilempar sepatu sehina itu, selain George Bush.
SBY dalam hal ini juga bisa dikatakan, telah mendapat “malapetaka terorisme”. Mengapa SBY dikatakan telah mendapat “malapetaka terorisme”? Alasannya, karena: (a). Dia banyak didoakan mendapat malapetaka oleh semua aktivis Islam yang mendapat kezhaliman dan penistaan akibat isu-isu terorisme itu, beserta keluarga dan kerabat mereka. Mereka mendoakan bersama agar SBY mendapat laknat dari Allah Ta’ala; (b). Dia didoakan mendapat malapetaka oleh setiap Muslim yang merasa muak dan benci akibat peristiwa-peristiwa terorisme yang penuh rekayasa, demi menjelek-jelekkan para aktivis Islam itu. Begitu muaknya masyarakat, sampai pernah beredar ajakan agar mematikan TV ketika disana ada SBY sedang pidato; (c). SBY mendapat malapetaka langsung dari Allah akibat segala dosa-dosa dan kezhalimannya kepada kaum Muslimin, kepada bangsa Indonesia, dan alam sekitarnya.
Setidaknya disini ada “9 Malapetaka Terorisme” yang menimpa SBY sepanjang karier kepemimpinnanya. Angka 9 sesuai dengan “angka keramat” yang sering dielu-elukan oleh SBY sendiri.
Malapetaka 1: SBY adalah seorang “Presiden Terorisme”. Maksudnya, dia adalah satu-satunya Presiden RI yang paling banyak berurusan dengan isu teorisme. Bahkan, SBY tidak memiliki prestasi apapun yang bernilai, selain dalam mengurusi isu terorisme itu sendiri. Tidak ada Presiden RI yang begitu gandrung dengan isu terorisme, selain SBY. Tidak ada Presiden/PM di negeri-negeri Muslim yang begitu intensif  bergelut dengan isu-isu terorisme, selain SBY. Bahkan tidak ada presiden negara dimanapun, setelah George Bush, yang begitu getol dengan isu terorisme, selain SBY. Singkat kata, SBY bisa disebut sebagai “George Bush-nya Indonesia“.
Malapetaka 2: SBY terbukti merupakan Presiden RI yang sangat sentimen kepada aktivis-aktivis Islam, bahkan sentimen kepada Ummat Islam. Di sisi lain, SBY sangat peduli dengan nasib minoritas non Muslim. Banyak fakta yang membuktikan hal itu.
Saat terjadi peledakan bom di Kepunton Solo, SBY begitu cepat bereaksi. Dia mengecam tindakan aksi bunuh diri tersebut. Tetapi ketika terjadi kerusuhan di Ambon, sehingga beberapa orang Muslim meninggal, ratusan rumah dibakar; ternyata SBY diam saja. Dia tak bereaksi keras, atau mengecam.
Ketika seorang jemaat gereja HKBP mengalami penusukan di Cikeuting, SBY langsung bereaksi keras. Padahal jemaat itu hanya luka-luka saja. Bahkan yang terluka juga termasuk aktivis Muslim. Tetapi terhadap puluhan pemuda Islam yang dibunuhi Densus 88 di berbagai tempat; terhadap ratusan pemuda Islam yang ditangkap, ditahan, dan disiksa; terhadap ratusan keluarga pemuda-pemuda Muslim yang terlunta-lunta; ternyata SBY hanya diam saja, atau pura-pura tidak tahu.
Ketika terjadi insiden Monas yang menimpa anggota Jemaat Ahmadiyyah, Juni 2008 di Jakarta, SBY bereaksi keras. Dia mengecam ormas Islam anarkhis. Kata SBY: “Negara tidak boleh kalah oleh kekerasan!” Hebat sekali. Tetapi ketika Ustadz Abu Bakar Ba’asyir berkali-kali diperlakukan kasar, galak, dan penuh tekanan; padahal beliau sudah tua dan sakit-sakitan. Ternyata SBY tak pernah mau peduli.
Ketika terjadi pelatihan militer oleh sebagian kelompok Islam di Jantho Aceh. Dilakukan di tengah hutan, tanpa ada korban atau aksi kekerasan apapun, ia dianggap sebagai aksi terorisme. Para pelakunya ditahan, sebagian ditembak mati. SBY membiarkan perlakuan keras itu. Tetapi terhadap gerakan OPM di Papua yang jelas-jelas bersenjata dan menyerang aparat berkali-kali, SBY tidak pernah menyebut gerakan OPM sebagai terorisme.
Ketika para penari Cakalele mengibarkan bendera RMS di depan mata SBY, dia tak bersikap tegas. Padahal itu benar-benar penghinaan di depan mata dia. Tetapi ketika ada sebagian orang membuat aksi demo dengan membawa kerbau yang ditulis “Sibuya”, SBY begitu marah.
Intinya, SBY sudah terbukti sangat NYATA dan JELAS, bahwa dia sangat membenci pemuda-pemuda Islam, dan sangat pengasih kepada kalangan minoritas non Muslim; meskipun gerakan mereka membahayakan NKRI. Kaum Muslimin yang banyak jasanya bagi negara dibiarkan dianiaya, sedangkan kaum minoritas selalu mendapat pembelaan penuh.
Malapetaka 3: Dalam masa kepemimpinan SBY sangat banyak bencana-bencana alam, mulai dari Tsunami, gempa bumi, banjir, tanah longsor, gunung meletus, kekeringan, lumpur Lapindo, kecelakaan tragis, dll.
Malapetaka 4: Dalam masa kepemimpinan SBY kondisi perekonomian Indonesia mengalami kemerosotan hebat. Inflasi tinggi, hutang luar negeri membengkak sampai Rp. 1733 triliun, pengangguran merebak, dominasi asing sangat kuat di segala sektor, beban anggaran negara sangat berat, dll.
Malapetaka 5: Di masa kepemimpinan SBY praktik korupsi merebak, mewabah, merajalela. Pejabat pemerintah seperti Gubernur, Bupati, Walikota banyak ditahan. Anggota DPR, menteri-menteri terlibat korupsi. Bahkan korupsi menyentuh aparat hukum seperti kepolisian, kejaksaan, kehakiman. Tidak terkecuali, para politisi Partai Demokrat juga dirundung banyak masalah korupsi, seperti yang diungkapkan Nazaruddin. Isu korupsi yang menimpa Partai Demokrat sangat berat.
Malapetaka 6: Melalui laporan Wikileaks yang dipublikasikan koran Australia, Sydney Herald Morning dan The Age, SBY dituduh menyalah-gunakan kekuasaan untuk melakukan korupsi dan kejahatan politik. Keluarga SBY dituduh memanfaatkan posisi SBY untuk memperkaya diri. Isteri SBY, Bu Ani Yudhoyono malah disebut sebagai “broker proyek”. Belum pernah ada Ibu Negara di Indonesia mendapat sebutan demikian, selain isteri SBY. Ironinya, yang melaporkan berita-berita itu justru Kedubes Amerika Serikat, yang notabene kawan SBY sendiri; pelapornya, menteri-menteri SBY sendiri; dan publikasi oleh media Australia yang notabene adalah kawan SBY dalam pemberantasan terorisme.
Malapetaka 7: Pernyataan SBY tentang negara Amerika tersebar luas di tengah masyarakat. Pernyataan itu berbunyi, kurang lebih: “America is my second country. I love It, with all of faults.” Pernyataan ini tersebar dimana-mana, yang menjelaskan bahwa SBY tidak memiliki komitmen nasionalis. Dia memiliki sifat KHIANAT terhadap bangsanya sendiri. Tidak heran, kalau dalam pidato-pidatonya, SBY sangat senang memakai bahasa Inggris. Lucunya, saat Obama datang ke Tanah Air, lalu berpidato berdua bersama SBY; SBY harus berkali-kali dibisiki oleh Menlu Marty Natalegawa tentang isi pidato Obama tersebut. Forum yang seharusnya bisa membuat SBY dipandang mulia, malah membuatnya “kasihan deh lo”.
Malapetaka 8: Dapat disimpulkan, bahwa SBY adalah satu-satunya Presiden RI yang tidak memiliki kemampuan apa-apa. Sama sekali tak memiliki kemampuan. Kemampuan satu-satunya SBY ialah membuat PENCITRAAN. Dari sisi kemampuan manajemen tidak ada; wawasan ekonomi, tak ada; ilmu pertanian, nol besar; wawasan bela negara, kosong melompong; kemampuan diplomasi, sami mawon; kemampuan retorika, nilai 4; kemampuan sains, wah tambah parah; dan seterusnya. SBY nyaris tak memiliki kelebihan apapun, selain membuat pencitraan. Sebagian purnawirawan jendral menyebut SBY sebagai “jendral salon”, “jendral kambing”, “terlalu banyak membaca”, dan sebagainya. Ini adalah penilaian yang sangat memprihatinkan.
Mapaletaka 9: …hal ini belum berjalan, dan akan terus berjalan sampai disempurnakan oleh Allah Ta’ala. Bentuknya, kita tidak tahu; bisa apa saja, sesuai kehendak-Nya. Kita hanya bisa menanti.
Apa yang disebut disini bukanlah fitnah atau cerita dusta. Ia benar-benar ada. Hanya saja, mungkin sebagian orang menyebutnya dengan istilah “kesialan SBY”, “mushibah bersama SBY”, “kelemahan SBY”, “malapetaka bersama SBY”, “kehancuran nama SBY”, dan lain-lain. Dalam tulisan ini, ia disebut “malapetaka”, sesuai dengan makna kata itu sendiri.
Ya, silakan Pak SBY, lanjutkan hidup Anda; lanjutkan apa saja yang Anda sukai; toh setiap orang berhak berbuat dan memutuskan, sedangkan dosa-dosa dan akibat, akan dia tanggung sendiri. Pak SBY ini sudah “masuk kantong”, karena dia sangat sentimen kepada para aktivis-aktivis Islam, terlalu jauh bermain-main dalam ranah kezhaliman isu terorisme; akibatnya banyak orang menyumpahi dan mendoakan malapetaka baginya.
“Semakin seseorang terjerumus jauh dalam kezhaliman kepada kaum Muslimin, semakin perih akibat yang tertanggung dalam dirinya, keluarganya, dan kehidupannya.”(ersamuslim.com/Rabu, 28/09/2011 )
http://www.eramuslim.com/berita/analisa/sby-dan-9-malapetaka-terorisme.htm

Bomber Solo: Siapa Mereka? (Membaca Anatomi Kelompok Bomber dan Follower)

Oleh: Harits Abu Ulya (Pemerhati Kontra-Terorisme & Direktur CIIA (The Community Of Ideological Islamic Analyst)

Akhirnya Mabes Polri (Selasa, 27/9) memastikan siapa pelaku Bom GBIS Kepunton Solo. Ia adalah Ahmad Yosepa alias Hayat, ia termasuk satu dari lima orang DPO peristiwa pengeboman masjid Azd Dzikra Mapolresta Cirebon pada 15 April 2011. Diluar itu, spekulasi bermunculan tentang siapa sebenarnya para pelaku ini? Demikian termasuk spekulasi lainya yang muncul.
Jika kita inventarisir spekulasi-spekulasi terkait bom Solo kali ini, ada beberapa poin: Pertama, siapakah Hayat sebenarnya? Dan dari jaringan atau kelompok manakah ia? Apa masih terkait dengan jaringan JI atau lainya? Kedua, apakah aksi Hayat itu murni inisiatifnya dan stiril dari rekayasa intelijen? Ketiga; adakah kaitanya dengan peristiwa Ambon paska Idul Fitri kemarin? Keempat; apa hubunganya dengan rencana DPR melegislasi RUU Intelijen dan proyek massif deradikalisasi BNPT?
Menurut saya (penulis) point-point di atas bisa dipisah dalam dua wilayah. Pertama, adalah siapa hakikat pelaku dan bagaimana langkah-langkah aksinya dan kedua adalah implikasi-implikasi politiknya. Implikasi ini bisa saja adalah plan yang sudah disiapkan satu rangkaian dengan peristiwa bom Solo, dengan asumsi jika bom bunuh diri itu adalah by design. Atau implikasi itu adalah plan yang dibuat sebagai respon cepat pada momentum yang tepat, inilah kerja para follower dalam isu terorisme di Indonesia. Para follower bekerja sedemikian rupa, untuk mencapai target yang maksimal dengan berbagai kompensasinya.
Untuk mengeja jawaban empat point diatas dan relevansi antar point tersebut, saya perlu paparkan fakta dan realita dari elaborasi (riset) lapangan:
Fakta kelompok dan hubungan antar mereka
Pada paparan beberapa fakta, saya (penulis) melokalisir pada person-person yang terkait kasus Bom Cirebon dan Bom GBIS Solo karena disana kita temukan irisan dan korelasi antar tandzim (sel). Ada tiga jaringan (tandzim) yang bergerak dengan amaliyah “jihad fardiyahnya” yakni; Tim Hisbah Solo, Kelompok Cirebon dan Tim Ightiyalat Klaten, (ightiyalat: melakukan jihad, baik dalam bentuk pembunuhan dari individu atau pembunuhan rahasia sasaran individu) .
Di akhir 2009 seseorang yang bernama Musolah tercatat ikut pengajian Tim Hisbah beberapa kali di Masjid al Anshor, Semangi, Solo, yang akhirnya ia pulang balik ke Cirebon. Saat itu Tim Hisbah yang basisnya di Solo di pimpin oleh Sigit Qordowi, cuma tidak terang bagaimana pertama kali pertemuan antar mereka terjadi. Cuma perlu dicatat bahwa perjumpaan itu bisa dengan berbagai kemungkinan. Apalagi saat sekarang banyak medium (missal; jejaring sosial) memudahkan komunikasi antar person.
Di Bulan Desember 2009 sesorang yang bernama Atok membentuk Tim Ightilayat di Klaten, yang kemudian di bulan Mei 2010 Tim Ightiyalat mulai mencoba belajar merakit bom dengan Heri Sigu Samboja, seseorang yang lahir dari keluarga yang diduga kuat anggota JI, ia bergabung dengan Noordin M Top, dan sempat belajar merakit bom dengan Dr Azhari, akhirnya Heri SS ditangkap ditahun 2004, dipengadilan di vonis 7 tahun penjara, kemudian bebas di tahun 2008.
Pada bulan September 2010 Tim Ightiyalat yang dibentuk oleh Atok berfusi dengan Tim Hisbah untuk melakukan amaliyah (serangan) terhadap polisi dan gereja.
Ada catatan sebelumnya di bulan September 2009 Syarif (pelaku bom Mapolresta Cirebon), Musolah dan seorang lagi yang bernama Yadi di duga terlibat perusakan toko Alfamart Cirebon karena alasan menjual miras dalam sebuah sweeping yang mereka lakukan bersama beberapa person dari komponen lainya.
Kemudian pada awal bulan Desember 2010 upaya amaliyah yang direncanakan kelompok gabungan dua jaringan (Tim Hisbah dan Ightiyalat Klaten) yakni pemboman di Sukoharjo gagal. Tapi ini tidak menyurutkan langkah mereka untuk melakukan amaliyah-amaliyah berikutnya karena terbukti di pertengahan bulan Desember 2010, Sigit Qordowi dari Tim Hisbah meminta anak buahnya yang berinisial EJ untuk membeli senjata. Kemudian EJ menelpon Musolah di Cirebon dan 2 kali di bulan Desember 2010 dan Februari 2011 mereka mendapatkan senjata. Di akhir Februari anak-anak Klaten (jaringan Klaten) minta tolong dari EJ untuk mencari tempat tinggal karena seorang yang bernama Atok dari tim Ightiyalat baru di tangkap. Akhirnya EJ menindaklanjuti dengan meminta tolong kepada Musolah, akhirnya kemudian orang tersebut pindah ke Cirebon.
Di bulan Maret 2011 Sigit Qordowi mencoba untuk mengusahakan senjata lagi dan kembali meminta EJ untuk mencari, akhirnya tanggal 10 April 2011 EJ ke Cirebon untuk mengambil pesanan senjata dari tangan Musolah kemudian dia kembali pulang.
Di tanggal 15 April 2011 Peristiwa bom bunuh diri di Cirebon terjadi, saat itu Musolah menghubungi EJ via telpon dan memintanya untuk turun ke lapangan (Cirebon). Disana EJ diminta mencari tempat yang lebih aman di wilayah Solo untuk 2 orang teman dari Musolah yaitu bernama Yadi dan Hayat alias Raharjo (alias Achmad Yosepa) karena mereka ikut menolong atau membantu Muh. Syarif (pelaku bom Cirebon), sementara Musolah sendiri menghilang lari ke wilayah Tegal Jawa Tengah.
Antara tanggal 17 s/d 19 April 2011 EJ berusaha mencari tempat untuk mereka menjual bakso namun tidak berhasil dan justru pada tanggal 19 April 2011 keberadaan Musolah terhendus oleh aparat bahkan kemudian tertangkap. Akhirnya informasi tertangkapnya Musolah ini mendorong Hayat lari ke Karang Anyar, sementara Yadi lari ke Bandung. Sementara EJ sendiri di tanggal 12 Mei 2011 ditangkap dan di hari berikutnya tanggal 13 Mei 2011 Sigit Qordowi tewas tertembak oleh Densus 88 di Sukoharjo. Dan akhirnya publik melihat peristiwa pada tanggal 25 September 2011 terjadi aksi bom di GBIS Solo dan Hayat alias Achmad Yosepa alias Raharjo alias Achmad Abu Daud dipastikan oleh Mabes Polri paska uji DNA sebagai pelakunya.
Dan masih ada DPO lainya dalam perburuan aparat Densus88; Amir Ashabul Kahfi Cirebon, Yadi alias Hasan (diduga menyembunyikan pelaku bom Klaten dan memerintahkan untuk memberikan pelatihan merakit bom), Heru Komarudin (di duga perakit bom yang dipakai M.Sarif di Mapolresta Cirebon), Beni Asri dan Nanang Irawan alias Nang Ndut alias Gendut alias Rian (dua orang ini di duga yang terlibat menyembunyikan rangkaian bom). Dan diduga juga seorang yang bernama Sohir (terpidana Bom Bali yang sudah bebas) menjadi tempat belajar merakit bom Hayat dan termasuk Sarif sebelumnya, karena Sohir dikenal cukup piawai merakit bom. Sementara bocoran intelijen MI6 Inggris mensinyalir kota Surabaya dan Semarang menjadi sasaran potensial untuk aksi berikutnya.
Mengeja Spekulasi
Dari fakta-fakta ini kita mencoba mengeja jawaban point diatas. Pertama, siapakah Hayat sebenarnya? Dan dari jaringan atau kelompok manakah ia? Apa masih terkait dengan jaringan JI atau lainya?
Hayat adalah termasuk DPO kasus Bom Cirebon, anak pertama dari tiga bersaudara, dan sejak kecil ia ikut ayahnya yang bernama M.Daud Turani dan ibunya bernama Hindun transmigrasi ke Kalimantan. Hayat memiliki nama asli Pino Damayanto di akte kelahiran dan karena sering sakit kemudian diganti nama menjadi Ahmad Urip, ia dilahirkan di Losari, Cirebon 19 Oktober 1980 dan beralamat di Jl Pandesan kota Cirebon.
Kedua orang tuanya sendiri sudah lama tidak berjumpa atau berhubungan dengan Yosepa. Pendidikannya dari awal di SD Losari kemudian dilanjutkan SMP saat di Kalimantan, dan masa SMA nya di Ciledug Kabupaten Cirebon. Yosepa tidak pernah mondok, berbeda dengan isu diluar yang menyatakan Yosepa pernah mondok di Ngruki selama tiga tahun. Sejauh yang terungkap, jualan bakso adalah salah satu pekerjaan yang ia tekuni sekalipun tidak sukses.
Saat di Cirebon Hayat pernah mengikuti MMI dan kemudian berafiliasi ke JAT (terlepas apakah bagi MMI atau JAT sendiri, Hayat diakui sebagai anggotanya atau tidak, karena di JAT sendiri ada mekanisme penerimaan seseorang bisa menjadi anggotanya. Dan kalimat mengikuti tidak selalu berarti menjadi anggotanya). Hayat sering bersama Sarif (pelaku bom Cirebon) dalam berbagai aksi sekalipun ia tidak seagresif Sarif, namun kesamaan visi yang dimiliki antar mereka menjadikan mereka membangun “tandzim” sendiri melepaskan diri dari kelompok yang sebelumnya mereka berafiliasi.
Maka saya (penulis) memberanikan diri untuk memberi catatan; bahwa mereka tidak terkait dengan kelompok gerakan Islam yang ada (seperti tuduhan sebagian pihak yakni yang dimaksud gerakan tersebut adalah MMI dan JAT). Mereka ada dalam simpul-simpul yang penulis ungkap diatas (jejaring Cirebon,Solo dan Klaten). Sebuah tandzim baru yang dilahirkan oleh situasi, sebuah entitas baru yang mencoba untuk eksis membawa ideologi jihad versi mereka. Mereka adalah entitas dari produk zaman, Mereka adalah manefestasi dan artikulasi percikan dari umat Islam yang dalam kontek sekarang menjadi korban imperialism global dan lokal. Mereka memahami kondisi tersebut perlu respon, tanpa memperdulikan keabsahan aksi mereka secara syar’I, begitu juga implikasi-implikasi politiknya (yang faktanya hari ini langkah mereka menjadi kontraproduktif terhadap Islam dan perjuangan Islam, atau minimal menjadi legitimasi kelompok pembenci Islam semakin massif langkahnya untuk mengaborsi geliat Islam dan umatnya).
Jika mereka pernah bersua beberapa person yang latarbelakangnya di duga anggota JI, tentu tidak bisa di vonis bahwa mereka adalah produk JI atau JI itu sendiri. Tidak harus JI yang bisa stimulus lahirnya tandzim baru dalam ranah jihad. Sikon politik yang mendzalimi umat Islam juga bisa mengispirasi siapapun dari umat Islam yang memiliki ghiroh (semangat) untuk membangun jaringan (tandzim). Menghimpun orang-orang yang sevisi dan melakukan aksi sebagai respond dan jawaban mereka terhadap sikon politik yang ada. Dan kita tentu tidak bisa membuat logika yang premature, misalkan; seorang koruptor pernah kuliah di UI atau UGM, tentu tidak terima jika institusi UI dan UGM divonis adalah koruptor atau sarang koruptor. Dan begitu juga sebaliknya, seorang jebolan UI dan UGM kemudian dia menjadi koruptor tentu bukan karena dia belajar bagaimana dia korupsi atau UI dan UGM mengajari korupsi. Tidak ada hubungan timbal balik otomatis dalam konteks ini.
Bisa jadi mereka berinteraksi dengan lintas tandzim (baik yang sirri maupun yang terbuka), kemudian mereka terinspirasi keluar dari tandzim itu semua. Dan berikutnya mengkonstruksi “ideologi” baru bagi kelompoknya. Dan yang tidak boleh di abaikan sama sekali adalah adanya kemungkinan diantara mereka ada penyusupan oleh intelijen, sehingga entitas mereka adalah produk intelijen dengan berbagai kepentingan diluar kendali mereka (mengingat lahirnya JI juga terindikasi ada kontribusi agen/intelijen, begitu juga kasus lainya dan dalam hal ini perlu elaborasi terpisah lebih jauh) .
Tentang urusan kemampuan mereka menyiapkan dan merakit bom, dunia maya menjadi tempat selancar yang baik. Di sana cukup banyak guiden untuk menjadikan seorang mahir atau minimal punya kemampuan dasar (seperti pasukan komando) dalam masalah bom. Hal ini terbukti dari kelompok Pepi (bom serpong). Tidak harus belajar langsung kepada seorang guru yang berpengalaman dibidang bom (alumni Afghanistan, Kamp Hudzaibiyah, atau konflik Ambon dan Poso).
Bahkan dalam hal keterkaitan dengan kelompok jihadis Ambon atau Poso, penulis melakukan riset tidak menemukan keterkaitan langsung atau tidak. Mereka yang ada di Poso atau Ambon diluar pusaran amaliyah “jihad Fardiyah” kelompok Hayat cs. Terlalu naïf jika mereka di vonis satu jaringan misalkan hanya karena kesamaan bahan baku peledak dan tehnik perakitannya. Atau hanya kesamaan sama-sama memiliki visi jihad. Atau masuk jauh pada asumsi misalkan karena sama-sama memiliki ideologi Islam Radikal fundamentalis. Masih perlu bukti lebih akurat, tidak hanya berdasarkan asumsi dengan demikian mudah mengeneralisir.
Kedua, apakah aksi Hayat itu murni inisiatifnya dan stiril dari rekayasa intelijen? Sekaligus relevansinya dengan kasus Ambon yang terbaru? Dari pola dan pergerakan mereka, cenderung ini adalah kelanjutan program kelompok Hayat sebelumnya. Disamping mereka sadar betul dalam perburuan dan menjadikan ruang gerak mereka semakin sempit dan terbatas. Dan ditambah persepsi yang tidak positif terhadap aparat (khususnya Densus88), yaitu kecondongan arogansi dan eksekusi mati terhadap orang-orang yang terduga terlibat aksi bom bunuh diri (apalagi jika ada korban didalamnya dari anggota Tribrata/Polisi). Maka dalam sikon seperti ini, akan mendorong seseorang pada pilihan fatal yaitu aksi bom, seperti rencana semula mereka. Di sisi lain mereka sudah seperti kehilangan induk, tanpa lagi ada komando (komandan). Karena sebagian besar “komandan” sudah di penjara, sehingga yang masih diluar “ngalor-ngidul” (istilah orang jawa; seorang yang kehilangan orentasi/bingung).
Jika ada dugaan sebagian pihak bahwa ini rekayasa atau pembiaran, bisa jadi logis karena laporan intelijen mengungkap adanya pergerakan kelompok mereka. Pada 14 Agustus di ungkap dalam laporan intelijen bahwa ada 5 orang yang di baiat dan 9 orang remaja yang belum dibaiat namun hadir dalam agenda itu. Jadi ada pergerakan di beberapa tempat. Jika dikaitkan dengan posisi tragedi Ambon paska idul fitri tidak terlalu relevan, namun bisa dimaknai posisi Ambon menjadi momentum keluarnya mereka kepermukaan untuk melaksanakan aksinya. Terlepas apakah peristiwa Ambon itu by design atau tidak (penulis, mendapatkan informasi yang mengindikasikan kasus Ambon dijadikan pancingan untuk mengeluarkan DPO dan termasuk untuk melahirkan para Jihadis baru muncul dipermukaan). Apalagi ditambah sikon di Ambon sebelum aksi bom di Solo terjadi teror bom secara beruntun di Karang Panjang, Terminal Mahardhika, Gereja Maranatha dan Gereja di Jalan Karang Panjang dari mulai hari Minggu sampai hari Senin malam.
Jika hendak mendiskusikan lebih jauh tentang “lemahnya” intelijen yang menjadikan Presiden SBY geram. Ada kemungkinan lemahnya kordinasi antar institusi intelijen terjadi, mengingat pola kerja Densus88 (yang 70% lebih fungsi mereka di intelijen) selama ini berdasarkan dugaan atau asumsi seseorang memiliki potensi ancaman, maka ia bisa diaborsi sebelum beraksi. Namun kali ini seolah kecolongan dan padahal terungkap sebelumnya adanya informasi intelijen di bulan Agustus tentang kemungkinan pergerakan dan aksi dari kelompok-kelompok tertentu (dan tidak keluar dari kelompok yang penulis ungkap diatas). Bisa juga munculnya dugaan (logika), terjadi gap atau persaingan antar institusi atau personel intelijen yang ada, hingga berakibat lemahnya kordinasi dan efeknya tidak bisa melakukan usaha preventif sebelum aksi bom Solo.
Ketiga; Apa hubunganya dengan rencana DPR melegislasi RUU Intelijen dan proyek massif deradikalisasi BNPT? Tentang point ini penulis lebih tepat mengatakan para follower yang konsen di bidang kontra-terorisme yang berada diberbagai lembaga dan institusi lagi sedang bekerja dan menemukan momentumnya.
Peristiwa bom Solo kali ini kalau bisa dijadikan penguatan asumsi RUU Intelijen harus segera di sahkan oleh DPR setelah sebelumnya di finalisasi secara tertutup oleh tim DPR dan Pemerintah. Dan bahkan kemudian memperkuat serta melegitimasi proyek kontra-terorisme dalam bentuk soft power berikutnya yaitu deradikalisasi yang dikomandani oleh BPNT. Seperti dalam kesempatan tertutup BNPT (Ansyad Mbai) dengan Komisi III DPR-RI mengusulkan anggaran 126 Miliar rupiah untuk proyek ini, dan menarget 800 ribu masjid dan 40 ribu pesantren menjadi partner BNPT, bahkan sudah membuat MOU dengan beberapa ormas Islam untuk proyek deradikalisasi.
Sang Presiden-RI; orang yang cukup peka kesempatan. Banyak pihak membaca langkahnya menyikapi bom Solo sangat bernuansa politik. Dan begitulah adanya, karena disana ada ketimpangan jika sang Presiden di baca bagaimana sikap ia terhadap kasus lainya yang serupa. Misalkan rakyat tidak melihat sikap tegas presiden terhadap kerusuhan di Ambon yang menewaskan beberapa orang muslim, yang di picu kematian tidak wajar tukang ojek yang beragama muslim (yang sampai tulisan ini dibuat juga belum di publish siapa pelaku pembunuhan tukang ojek tersebut). Atau bagaimana sikap sang presiden terhadap kelompok bersenjata di Papua yang beraksi menewaskan beberapa orang termasuk didalamnya aparat kepolisian dan TNI. Sangat sumbang dan timpang memang, semua rakyat membaca langkah dan sikap dia hanya untuk mengalihkan perhatian rakyat terhadap rusak, bopeng dan jebloknya pemerintahan dia yang terjebak dalam pusaran skandal mega korupsi.
Sang Presiden seperti seorang follower sejati, mengetahui waktu yang tepat untuk menggeser perhatian rakyat dari skandal politik pemerintahan ke urusan bom petasan yang di dramatisir seolah membahayakan toleransi, pluralism dan demokrasi.
Kalau ada upaya pengkaitan dengan kelompok ormas tertentu, ini juga pekerjaan para follower yang sejak awal sangat bernafsu ingin mengaborsi kelompok-kelompok Islam tersebut (misal; MMI dan JAT atau kelompok lainya yang di cap radikal fundamentalis). Ini terlihat opini yang digiring oleh media, dan bahasa-bahasa tendensius yang mereka gunakan.
Di akhir tulisan ini, penulis mau katakan; saatnya penguasa dan para politikus muslim yang terlibat dalam sebuah keputusan penting menyangkut nasib kehidupan sosial politik rakyat Indonesia yang notabene mayoritas adalah muslim, agar bersikap obyektif,  jujur dan menjadikan akidah yang ada dalam dirinya menjadi maqoyis (standar) dalam tiap keputusannya. Sudah terlalu lama Islam dan umatnya terdiskriditkan dengan isu terorisme. Jangan sampai Indonesia betul-betul berubah menjadi “state terrorism” dan akhirnya berhadapan secara diametrikal dengan umat Islam. Kekuasaan itu sementara, dan hisab Allah SWT itu pasti, maka tidak beriman orang yang tidak amanah dengan kekuasaan. Wallahu a’lam bishowab (the.ciia2020@gmail.com/eramuslim.com,Kamis, 29/09/2011)
http://www.eramuslim.com/berita/analisa/bom-solo-siapa-mereka-membaca-anatomi-kelompok-bomber-follower.htm

Jumat, 30 September 2011

Dibutuhkan, Densus 77 Anti Korupsi

Deklarasi Densus 99 Anti Teror oleh GP Ansor di Harlah, Ahad kemarin memunculkan berbagai spekulasi. Terlebih setelah ketua GP Ansor, Nusron Wahid menjelaskan bahwa dibentuknya Densus 99 ini untuk melawan radikalisme yang mengatasnamakan agama. Kemana arah konstalasi sebenarnya?
Selama ini, penanganan isu terorisme oleh polisi melalui Densus 88 Anti Teror begitu banyak memunculkan kontroversi. Mulai dari posisi komandan yang berada di level mana, sumber pendanaan, hingga yang paling kerap terjadi di lapangan: sisi humanis yang kelewat batas. Karena sebagian besar yang masih terduga teroris selalu berujung kematian.
Padahal, selama ini polisi selalu mengaku bingung dengan jaringan teroris, dan bahan baku bom yang dijadikan terduga teroris. Anehnya, terduga selalu ditembak mati, sebelum mengorek lebih dalam asal bahan peledak tersebut. Karena di Indonesia, mendeteksi senjata api apalagi bom, begitu mudah karena pemainnya sangat terbatas.
Belum lagi dengan tingkat kewajaran, antara bahan baku bom dan senpi yang ditemukan dengan markas atau rumah terduga teroris yang sangat miskin. Selama ini, perbandingan tersebut sangat tidak wajar. Logikanya, untuk hidup layak saja susah, bagaimana mungkin untuk beli alat-alat militer yang berharga sangat mahal. Sebagai ilustrasi, untuk harga satu peluru saja, harganya bisa di atas 20 ribu rupiah per butir.
Islam dan Teroris
Pasca tragedi menara kembar WTC di Amerika tahun 2001, negeri yang dipimpin Yahudi ini begitu gencar dengan propaganda terorisme. Dan anehnya, kecurigaan Amerika terhadap siapa di balik peledekan tingkat tinggi ini bukan kepada negara kaya yang tingkat persenjataan dan intelijennya sudah sangat canggih seperti Rusia, Korea Utara, Cina, dan lain-lain. Melainkan kepada negara-negara miskin yang suplai senjata dan keterampilan tentaranya saja berada di ketek Amerika, seperti Irak, Afghanistan, dan Pakistan.
Belum lagi dengan kontroversi soal teknik peledakan WTC yang diyakini melibatkan intelijen lokal, tuduhan tanpa dasar kepada Negara-negara muslim ini sudah seperti bagian dari grand disain soal apa di balik tragedy WTC ini.
Amerika dan negeri-negeri berpenguasa Yahudi lain begitu sangat jelas menampakkan sasaran sebenarnya di balik isu terorisme. Yaitu, perang terhadap ideologi Islam. Karena pasca perang dingin terhadap Uni Sovyet yang sudah bangkrut, Islam menjadi satu-satunya ancaman bagi konsep Yahudiisasi dunia oleh Amerika.
Tentunya, perang yang mereka lancarkan di balik isu terorisme ini tidak langsung membabat Islam sebagai kelompok masyarakat dan symbol-simbolnya. Melainkan, kepada inti dinul Islam itu sendiri, yaitu Islam sebagai system hidup dengan kelengkapan syariahnya.
Dari rumus ini, siapa pun yang ingin mengembalikan kemurnian Islam sebagai system hidup, baik kolektif atau individu, akan masuk dalam mereka yang disebut sebagai tersangka terorisme.
Di balik RUU Kamnas dan Intelijen
Di media dan rubrik ini telah dijelaskan ruang-ruang gelap RUU Kamnas dan Intelijen yang sedianya disetujui DPR 15 Juli lalu. Di antaranya, pasal dan ayat tentang apa yang dimaksud dengan ancaman negara.
Patokan hukum tentang sesuatu disebut ancaman atau bukan masih belum jelas. Karena Pancasila yang dijadikan ideology standar masih sangat multi tafsir. Dan itu sangat tergantung dari siapa yang menafsirkan.
Sebagai contoh, apakah perdagangan bebas yang diterapkan pemerintah saat ini sudah sesuai dengan patokan ideology Pancasila? Begitu pun dengan kebijakan serba impor untuk kebutuhan pokok dalam negeri, swastaisasi lembaga pendidikan yang berakibat mahalnya biaya sekolah, pelayanan sosial yang berada di payung BUMN, liberalisasi budaya yang menjadikan anak-anak muda Indonesia kehilangan jatidiri, dan sebagainya.
Dengan begitu, betapa bahayanya sebuah undang-udang yang mendefinisikan ancaman negara termasuk ajaran atau ideologi asing yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila. Kenapa tidak sekalian saja menyebut bahwa semua agama impor bertentangan dengan Pancasila dan menjadi ajaran yang mengancam keutuhan bangsa.
Padahal, Pancasila itu sendiri, menurut Soekarno dalam pidato 1 Juni di BPUPKI dipengaruhi oleh pemikiran para ideolog luar negeri seperti Sun Yat Sen (Cina), dan A Baars (Belanda).
Yang dibutuhkan, Densus Anti Korupsi!
Tidak tertutup kemungkinan adanya korelasi antara RUU Intelijen dan Kamnas ini dengan para militer sipil seperti Densus 99. Karena selama era SBY, keberadaan ormas-ormas Islam yang mencoba untuk menegakkan syariah dan syiar Islam dianggap sebagai gangguan. Anehnya, rezim SBY tidak cukup berani untuk secara frontal melakukan pembubaran.
Yang dikhawatirkan, akan terjadi konfrontasi sistematis antara kekuatan sipil dengan kekuatan sipil lainnya. Ini akan menjadi fenomena sangat berbahaya. Dan kalau terjadi, Indonesia akan benar-benar menjadi negara bubar karena munculnya gerakan separatis yang menuntut pisah dengan pemerintah pusat.
Sebetulnya, kondisi sosial di Indonesia relatif lebih baik di banding dengan keadaan politik dan hukumnya. Saat ini, begitu telanjang ketidakmampuan penegak hukum untuk menjalankan tugas utamanya dalam pemberantasan korupsi. Karena kriminalitas ini sudah begitu menggurita di seluruh jalur birokrasi, termasuk aparatur hukumnya.
Dengan begitu, yang dibutuhkan saat ini bukan densus anti terorisme, tapi densus anti korupsi. Silakan kejar dan bantai para pelaku korupsi yang begitu bebas berkeliaran di masyarakat Indonesia yang sudah sangat terbukti menyengsarakan rakyat negeri ini sehingga berada setingkat dengan Negara miskin di Afrika. (mnh/ Senin, 18/07/2011)

Ternyata, KPK Begitu Rapuh


Pasca tuduhan Nazaruddin melalui wawancara langsung via telepon kepada beberapa media televisi, ternyata begitu berpengaruh terhadap KPK. ‘Guncangan’ pun mulai terasa di tubuh lembaga pemberantas korupsi ini.
Ada tiga orang KPK yang disebut Nazaruddin diduga terlibat. Mereka adalah dua pimpinan KPK yaitu Chandra M Hamzah dan M Jasin, serta Deputi Penindakan Ade Rahardja. Ketiga orang inilah yang nantinya akan menjalani pemeriksaan komite etik internal KPK.
Pembentukan komite etik KPK yang terdiri dari tujuh orang anggota pun mengalami gempuran dari pihak publik. Pasalnya, komite ini terdiri dari lima anggota yang merupakan penasihat dan pimpinan KPK: Abdullah Hehamahua, Said Zainal Abidin, Busyro Muqaddas, Bibit Samad Riyanto, Haryono Umar. Dan dua orang dari luar KPK: pakar hukum Universitas Indonesia Marjono Reksodiputro dan akademisi Syahruddin Rasul.
Untuk nama terakhir, Syahruddin Rasul sebenarnya mantan pimpinan KPK. Tapi dari sudut pandang komite etik, ia dihitung sebagai tokoh luar.
Komposisi lima internal dan dua eksternal ini mendapat gempuran dari publik karena dikhawatirkan keputusan akan sangat dipengaruhi oleh kepentingan internal KPK. Dan hasil pemeriksaan nantinya menjadi tidak objektif.
Menariknya, di luar soal urusan komposisi komite etik, langkah pemeriksaan ini ternyata sempat memunculkan ketidakpuasan di internal pimpinan KPK sendiri. Salah seorang pimpinan KPK, M Jasin, sempat mengungkapkan ketidakpuasan itu kepada wartawan melalui SMS.
Menurutnya, semua unsur pimpinan KPK harus diperiksa. "Kalau dasar pemeriksaan Komite Etik hanya didasarkan pada siapa yang pernah disebut dalam nyanyian Nazaruddin dan siapa yang pernah ketemu dengan Nazaruddin, maka Komite Etik harus fair, tidak tebang pilih karena yang disebut Nazaruddin juga termasuk Busyro. Dia juga harus diperiksa," kata Jasin melalui pesan singkat yang dikirimkan kepada wartawan.
Yang tidak kalah heboh, Juru Bicara KPK Johan Budi pun ikut terseret ‘nyanyian’ Nazaruddin. Entah karena adanya pemeriksaan komite etik atau tidak, Johan Budi secara terbuka menyatakan pengunduran diri dari KPK. Menurutnya, ia ingin konsentrasi pada seleksi calon pimpinan KPK.
Mantan pimpinan KPK, Taufiqurrahman Ruki, dalam sebuah wawancara dengan TV-One juga menyebut bahwa ada pengaruh luar biasa dari ‘Nyanyian’ Nazaruddin kepada pimpinan KPK. “Saat ini, antar pimpinan mulai saling curiga,” ucapnya.
Dari tiga orang pejabat KPK yang dituduh Nazaruddin, hanya Ade Rahardja yang berani terbuka. Mantan jenderal polisi bintang dua ini mengakui dua kali pertemuannya dengan Nazaruddin kepada wartawan. Dua pertemuan itu dilakukan pada tahun lalu di sebuah restoran Jepang di kawasan Kuningan.
Pada pertemuan pertama, Ade didampingi Johan Budi. Dari sinilah, nama Johan Budi ikut disebut Nazaruddin. Pada pertemuan kedua, Ade mengaku didampingi staf KPK yang lain.
Dua pertemuan itu, menurut Ade, atas permintaan Nazaruddin. Pertemuan pertama membahas kasus korupsi di Kemenkes, dan yang kedua kasus di Kementerian Tenaga Kerja. Intinya, Nazaruddin meminta agar penyidikan kasus tersebut dihentikan.
Dan ketika kasus dugaan korupsi di wisma atlet heboh, Ade mengaku beberapa kali dikontak Nazaruddin. Tapi, ia mengaku tidak pernah menjawab.
Rapuhnya KPK
Dilihat dari manuver Nazaruddin yang terkesan asal tuduh, karena tidak menyertakan bukti-bukti yang memadai, sebenarnya hal tersebut hanya akan menjadi sampah jika sasaran tembaknya memang benar-benar kuat. Publik pun menganggap bahwa tembakan Nazaruddin hanya peluru kosong.
Namun, kenapa tembakan peluru kosong itu bisa mengguncang sebuah lembaga superbody seperti KPK? Kenapa ada krisis kepercayaan yang muncul antar pimpinan KPK?
Hal inilah yang mau tidak mau memberikan sebuah kesimpulan tersendiri kepada publik bahwa KPK memang sudah rapuh. Publik pun mulai mengait-ngaitkan dengan dua kasus terakhir yang menunjukkan kelumpuhan KPK: kasus Nunun Nurbaeti dan Nazaruddin sendiri.
Dua kasus ini, secara telanjang memberikan gambaran kepada publik bahwa KPK sudah tidak seperti yang dulu. Di dua kasus itu, KPK hanya mampu bermain pada tataran retorika. Tapi sulit dibuktikan dalam kenyataan yang sebenarnya.
Menariknya, justru pada kepemimpinan KPK yang begitu lemah seperti saat ini, justru sebagian pimpinan itu ikut melamar menjadi pimpinan KPK periode mendatang.
Publik pun bertanya-tanya, sedemikian canggihkah mafia korupsi di negeri ini hingga membuat lembaga penegak hukum superbodi seperti KPK lumpuh dan culas. Lumpuh karena tidak berdaya dengan dua kasus sederhana seperti Nunun dan Nazaruddin. Bagaimana mungkin sulit menangkap Nunun padahal suami dan keluarganya ada di Jakarta. Dan bagaimana mungkin susahnya menangkap Nazaruddin padahal ia bisa menayangkan siaran langsung tentang dirinya lewat televisi berita.
Kemarahan Publik
Pemandangan terbuka tentang lumpuhnya KPK di Nunun dan Nazaruddin, menjadikan publik yang sudah sedemikian muak dengan ‘tarian’ dan ‘nyanyian’ aneka mafia termasuk korupsi di negeri ini menjadi seperti putus harapan.
Inilah yang disebut ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, sebagai jalan buntu sebuah keadilan. Hal tersebut pernah disampaikan kepada SBY yang juga ikut terjangkiti kelumpuhan akut, karena kelumpuhan itu sudah merembes di halaman rumah SBY sendiri, Demokrat.
Sementara, masyarakat hidup dalam pertarungan sengit dengan lonjakan harga yang kian tidak menentu, pelayanan publik yang tidak memadai, warna pendidikan yang makin kapitalistik, dan lain-lain.
Entah disengaja atau tidak, entah dalam disain pihak-pihak tertentu yang memang menginginkan Indonesia bubar atau tidak, lahirnya kemarahan massif sepertinya hanya tinggal menunggu minggu dan hari. (mnh/ Eramuslim.com,Thursday, 28/07/2011)