Laman

Rabu, 18 Agustus 2010

WAJAH SURAM DUNIA MATERIALISME KITA

Dunia modern, semua urusan, dihitung atas untung atau rugi. Seolah tak ada pertemanan permanen. Itulah wajah suram materialisme

Oleh: Shalih Hasyim*

SEKALI waktu, tengoklah sepanjang Jalan M.H. Thamrin dan Jendral Sudirman di Jakarta. Antrian orang-orang yang tersekap dan terpenjara di balik kaca-kaca mobil, dan terpelanting dalam kerumunan.

Para eksekutif muda yang mengejar karir duniawi, tak sempat bersantai dan makan di rumah bersama orang-orang terdekatnya.

Dia harus membawa roti yang telah disiapkan pembantu dan harus di santapnya dengan mencuri waktu, sembari mengendarai mobil, diiringi oleh gemerisik musik hard rock yang melantun di car setereo yang mutakhir. Sementara itu segerombolan manusia terantuk-antuk di dalam bus yang padat dan pengap. Di dera oleh kecemasan, sambil terus berjuang menitipkan badan walaupun berdesak-desakan, sembari terus mewaspadai ada tangan-tangan jahil yang membongkar dompet celana saku belakang.

Sekelumit pemandangan tadi, menganggambarkan bagaimana hidup didera dengan segudang keinginan, obsesi-obsesi, dipacu dan di buru oleh tetek bengek yang terasa semakin tidak perlu.

Hidup yang retak-retak, terbelah, tidak utuh lagi. Hidup dalam perlombaan dan persaingan yang ketat, tetapi tidak sehat. Hidup selalu berjejal-jejal, berhimpitan, tetapi tidak ada kedekatan, erat dan keakraban hati. Saling membelakangi, saling memarahi, saling mendengki, saling menindas, saling adu otot. Manusia bagai serigala yang lain.

Dunia kita yang sangat luas ini, akhirnya terasa sempit. Dunia yang terang benderang kita terasa gelap. Dunia kita yang ramai ini terasa sepi. Dunia yang dipadati masyarakat sipil ini, sesungguhnya berkarakter militer. Penduduk yang sehat secara pisik, tetapi ruhaninya sakit, kurus. Dunia yang maju dalam iptek, tetapi berada di pinggir pada aspak imtaq.

Dunia yang maju dalam berbagai bidang, tetapi terbelakang dalam bidang akhlak. Dunia yang kita harapkan bisa membasahi kerongkongan ini, setelah diperoleh dan berlebih, terbukti hanya fatamorgana, menipu.

“Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.”

Ayat ini menjelaskan, sesungguhnya, orang-orang kafir --karena amal-amal mereka tidak didasarkan atas iman, hanya mengejar kepentingan dunia saja-- tidaklah mendapatkan balasan dari Allah SWT di akhirat walaupun di dunia mereka mengira akan mendapatkan balasan atas amalan mereka itu. Tapi tidak sebanding dengan balasan di akhirat.

Dunia modern adalah lukisan wajah yang selalu suram, murung, yang tersisa hanya satu pilihan pahit. Kita harus bertanding, dan harus menjadi pemenang, menjadi number one, atau sebaliknya menjadi pecundang. Sakti atau mukti (menjadi pemenang atau bercerai dari dunia ini selama-lamanya).

Semuanya harus dihitung secara rigit, untung atau rugi. Bangkrut atau jaya secara material. Tiada ada pertemanan yang bersifat permanen, yang abadi adalah kepentingan duniawi, pengaruh, tahta dan wanita. Kemanusiaan adalah sebuah komoditi, dan kata cinta kasih hanya sebagai hiasan bibir, tak lebih dari lipstik dan kosmetik. Itulah wajah dunia materialis kita yang disulut oleh paham hedonisme, yang berorientasi pada kepuasan sesaat, uang, peluang dan huru-hara. Berjuang identik dengan mengumpulkan beras, baju dan uang. Memproduk UUD akan cepat selesai jika Ujung-Ujungnya Dhuwit.

Janganlah berbicara tentang hari esok. Itu urusan yang belum jelas kepastiannya secara empiris. Kehidupan itu hanya untuk hari ini, kekinian dan kedisinian. Janganlah kamu perdulikan orang lain, dirimu adalah segala-galanya. Kamu tidak ada kaitan langsung dengan mereka. Nafsi, nafsi. Kamu..kamu.. saya..saya. Perkuat dominasi dirimu supaya populer, sekalipun harus nabrak sana…nabrak sini. Ingatlah pameo orang Yahudi, Farriq Tu’rof (yang penting beda, supaya dikenal). Ciptakan kondisi agar semua orang bertekuk lutut di hadapan pengaruh kekuasaanmu.

Fenomena kehidupan diatas gambaran kehidupan kaum sekuler. Yang berusaha secara gigih menceraikan dunia dan akhirat. Memisahkan manusia dari Pencipta. Melepas aspek lahir dari batin. Lari dari kontrol agama. Mereka mempersepsikan agama bagaikan musium purba, untuk menyimpan benda-benda antik. Agama berisi serangkaian aturan yang memenjara potensi manusiawi, kata mereka.

“Dan mereka berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa", dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (QS. Al-Jatsiyah (45) : 24).

Kaum sekuler memandang waktu adalah uang. Semua aspek kehidupan ini harus dinilai dari sisi materi. Paham inilah yang membidani kehidupan kapitalis, hedonis, konsumtif. Semakin banyak mereka kumpulkan, indikator kesuksesan seseorang. Segala cara dan tujuan adalah legal, jika mendatangkan uang (al-Ghoyatu tubarrirul Wasilah). Pokoknya kehidupan ini serba boleh (ibahiyah). Nilai-nilai moral yang diucapkan hanya sebagai basa-basi.

Dunia bendawi kita gelisah dan tercampak dalam kerumitan. Karena harus menampakkan 10 wajah (dosomuka, Jawa). Beradaptasi dengan segala kondisi, yang penting mendapatkan keuntungan. Transaksi milyaran harus segera dilakukan, sekalipun harus merugikan orang banyak. Orang lain bukan dirinya. Yang menjadikannya survive dalam kehidupan adalah para pesaing dan musuh. Yang kalah bersaing, harus siap diperbudak.

Orang yang kalah dipelihara untuk mendukung ambisinya. Dan bagian dari alat produksi (bukan manusia yang berperasaan) yang terus digenjot dengan target-target keuntungan yang berlipat. Agar bisa mempertahankan status quo, pengaruh dll. Inilah yang menjadikan hubungan sosial antar sesama, kering. Komunikasi antar sesama, tidak care. Orang lain dianggap pesaing, musuh, bukan mitra dan anugrah.

Dengan memandang pihak lain musuh, dan perlu dilestarikan adanya pesaing, agar ada gerak dan dinamika, ada tempat membuang sampah, demi mempertontonkan kekuatan dan keperkasaannya. Jika tidak ada lawan, maka harus berusaha menciptakan lawan-lawan baru. Tidaklah heran, apabila ada beberapa pengamat dunia berpendapat bahwa setelah dunia sosialis dan kapitalis runtuh, negara-negara Barat mencari musuh baru. Konon, mata mereka sedang melirik musuk baru, ummat Islam.

Ummat Islam harus meyakinkan diri dan orang lain, bahwa ada fase kehidupannnya yang telah meraih kejayaannya secara utuh. Memadukan kekuatan dan kebenaran, menyatukan otak dan hati, mensinergikan imtaq dan iptek, menyambungkan jembatan dunia menuju akhirat. Sehingga ummat Islam yang kembali kepada ajarannya yang orisinil dan otentik, ia akan berbahagia di dunia dan selamat di akhirat. Mereka menjadi anak akhirat (ibnul akhirah) yang sukses menaklukkan dunia.

Dunia adalah wasilah (sarana) menuju tujuan akhir (ghoyah, akhirat). Bisa jadi sarana prasarana dihukumi tujuan jika mendekatkan jarak ke akhirat. Sesungguhnya dunia dan seisinya ini tidak berharga, kecuali di dalamnya masih ada peluang untuk istighfar dan taubat. Memohon agar kelemahan demi kelemahannya di tutupi oleh Allah SWT. Sehingga grafik kualitas dirinya terdongkrak. Adakah yang lebih berharga di dunia ini melebihi dari terbukanya peluang untuk menata ulang struktur kepribadian kita ?.

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid (57) : 20).

Ummat Islam dituntut sebagai khairu ummah, untuk menyiram benak publik yang sedang lemes, loyo, kurang bertenaga, tidak berstamina, karena serangan berbagai penyakit. Kita harus mampu mengarahkan kehidupan mereka yang terlanjur membuat jiwa mereka terbelah. Kita tidak mungkin mengisolasi diri, berada di balik layar, berada di pinggir dalam panggung kehidupan ini. Ummat Islam dituntut mukhtalithun (membaur dengan mereka), wa lakin mutamyyizun (memiliki keistimewaan). Tidak larut dalam kubangan lumpur materialisme mereka, tetapi melepaskan mereka, agar bisa menikmati dan memaknai potensialisasi dan aktualisasi (kiprah) kehidupan mereka di dunia.

Kita tidak mungkin menyelamatkan mereka, jika kita inklusif dalam kubangan mazhab, partai, ashabiyyah, ananiyyah, suku dan etnis. Seakan-akan kita yang patut memonopoli, memiliki otoritas kebenaran, sekalipun jauh dari kebenaran.

Ada tiga kunci untuk mensukseskan peran yang kita ambil, sebagai penyeru kepada Allah SWT. Yaitu; pertama, bersatu, tegas dalam prinsip aqidah (iman), ushul. Kedua, toleran dalam furu’iyah. Ketiga, Fastabiqul khairat dalam amal shalih (prestasi). Amal shalih yang mengangkat derajat kita dan menghapus dosa kita serta sebagai wasilah kita dalam mengurai kerumitan-kerumitan.

Kita mengedepankan berbagai kesamaan kita, aqidah, ibadah dan akhlaq (tujuan puncak). Tetapi kita menyederhanakan dalam wasilah (media) menuju tujuan. Silahkan kreatif, dinamis, inovatif dalam sarana prasarana. Tetapi, kita harus sami’na wa ‘atho’ana dalam memandang niat, tujuan. Kita kumandangkan slogan : minallah (dari Allah), billah (dengan cara Allah), ilallah (menuju Allah).

Paham material tidak akan berhenti berproduksi untuk menawarkan pahamnya dengan metode super canggih, berbaju teknologi komunikasi. Kuku tajamnya secara halus, pelan tapi pasti mencengkram hati anak-anak kita yang masih lugu, polos. Banyak diantara mereka yang menjadi korban penjajahan duniawi, sehingga terpelanting dari ikatan agama (uculuddin, Jawa), lepas tali agamanya. Na’udzu billah. Pada akhirnya semakin banyak menikmati dunia, bagaikan meminum air laut. Batinnya tersiksa. Karena mengarungi samudera kehidupan tanpa arah, tanpa pegangan.

Budaya materialisme mengantarkan pengagumnya menjadi pemangsa bagi yang lain. Hari ini makan apa, besuk, lusa, makan siapa. Dan, endingnya, apa yang dimilikinya menghancurkan kehidupannya secara total.

“Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, Lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, Maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu."(QS. At Taubah (9) : 35).

Semoga, kita bagian dari orang-orang yang rugi, sebagai orang yang akhirnya sia-sia karena mengejar dunia.

*)Penulis adalah kolumnis www.hidayatullah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar