Laman

Senin, 10 Mei 2010

PUNK; DARI IDE KEBEBASAN, PERLAWANAN HINGGA BUDAYA YAHUDI


Siang itu, terik matahari begitu menyengat. Namun, panasnya terik matahari tak membuat Aji mengurungkan niatnya untuk tetap bernyanyi. Di perempatan lampu merah yang berada tepat di depan sebuah mall kawasan Jakarta, punkers belia ini malah sibuk menjajakan suaranya yang parau. Baginya, terik panas matahari merupakan sahabat.

"Tanpa matahari, tidak akan ada kehidupan. Kita harus pandai memanfaatkan sinar ciptaan Tuhan ini," ujar punker belia ini filosofis. Umurnya baru 15 tahun, masalah ekonomi dan keluarga mendorongnya bersahabat dengan jalanan.

Aji hanyalah sekelumit dari sekian ribu generasi muda anak bangsa di rumah besar yang bernama Indonesia. Di Negara yang mayoritas muslim ini ribuan generasi muda termobilisasi ke kehidupan jalanan. Punk adalah salah satu fenomena kehidupan jalanan yang cukup mengkhawatirkan, selain jumlahnya semakin meningkat, menurut riset Suara Islam keberadaannyapun telah dieksploitasi untuk kepentingan bisnis dan ekonomi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Siapa Mereka?

Para punker biasanya datang secara berkelompok berkumpul dari satu tongkrongan ke tongkrongan yang lain. Sekilas mereka bercirikan: rambut mohawk, jaket penuh spike, kaos hitam bergambar band-band punk dengan berbagai slogan anti kemapanan. Kaki mereka dibalut celana pipa ketat dan mengenakan sepatu boot, ada juga yang hanya bersandal jepit.

Mereka nongkrong di beranda depan pusat perbelanjaan, pasar-pasar ataupun pusat keramaian. Tidak jarang mereka juga menempati lahan kosong yang tak berpenghuni untuk sekedar melepas penat, setelah seharian berada di jalanan, sambil asik ngobrol dan bermain musik. Dengan ukulele (kentrung), gitar dan jimbe mereka menyanyikan lagu-lagu sambil menggali makna dari lirik lagu, dan di sinilah proses belajar dan mengajar secara tidak langsung terjadi di komunitas ini secara alamiah.

Sebagian besar anak-anak itu memilih hidup di jalanan. Ada yang masih sekolah, banyak juga yang putus sekolah. Sebagian besar mereka berlatar belakang dari keluarga miskin kota, yang tinggal di kampung-kampung padat penduduk; Kali Pasir, Mampang, Kota, Matraman, Kampung Melayu, Cakung, Cengkareng, Cipinang dan lain sebagainya. Bahkan ada yang datang dari kota-kota seperti Medan, Batam, Serang, Bandung, Indramayu, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Yogyakarta, Malang, Surabaya, Denpasar, Makasar, Manado, dan kota-kota lainnya.

Mereka bergerak bukan hanya dari satu tongkrongan ke tongkrongan yang lain, akan tetapi secara nomaden dari satu daerah kedaerah lainnya. Pantura menjadi rute utama yang mereka lewati. Dengan modal menumpang truk-truk besar, secara bergerombol mereka melintasi batas dengan pakaian yang kotor penuh najis. Gerombolan punk hampir pasti dapat kita lihat di perbatasan pantura bagai konvoi kendaraan yang tidak pernah selesai. Mereka adalah anak-anak muslim yang pasti meningggalkan ibadah sholat, pakaian mereka penuh najis, kotor dan tidak terurus.

Punk menyimpan kekhawatiran yang cukup besar dibenak umat Islam, kedepan ini juga akan menjadi bola salju. Keberadaan mereka akan menjadi momok yang cukup luar biasa jika tidak ditangani oleh pihak-pihak yang terkait dalam hal ini institusi negara yang seharusnya punya peran besar dalam melakukan rehabilitasi terhadap dunia punk.

Ulama juga punya tanggung jawab yang sama karena menjadi instrument dasar di tengah masyarakat. Ulama adalah soko guru masyarakat contoh tauladan, ulama bisa mewarnai bahkan membentuk masyarakat. Jika kita telusuri peran ulama dan keberadaan punk di jalan-jalan hampir pasti peran umalama masih nihil dalam konteks melakukan advokasi terhadap komunitas jalanan ini.

Mereka Hippies Bukan Punk

Bagi seorang punk, jalanan adalah kehidupan. Di jalanan mereka bertemu dengan orang-orang, di jalanan mereka saling berbagi pengetahuan, di jalanan mereka berdagang, di jalanan mereka menyuarakan kebenaran melalui nyanyian. Pada 1980-an, terjadi bentrokan hebat antara punker dan hippies, karena perbedaan persepsi tentang kehidupan di jalanan.

Bagi hippies, jalanan adalah ruang publik sebagai tempat mereka mengekspresikan kemuakan akan kehidupan yang diwarnai perang dan ancaman nuklir. Di jalanan mereka berdemonstrasi membagi-bagikan bunga, seks bebas (war no, sex yes) dan menenggak obat-obatan (drugs) –mereka ingin lari (escape) dari kehidupan ini.

Kebalikannya, punk melihat kehidupan ini sebagai projeksi, tergantung si individu itu untuk melakukan perubahan. Perubahan itu dimulai dari yang tidak ada, doing more with less, menjadi sesuatu yang ada dan berarti. Punk tak pernah lari dan sembunyi ketika dihadapkan pada problematika kehidupan. “Hadapi, dan tuntaskan”, ujar encek.

Melihat fenomena gerombolan yang beratribut punk yang nongkrong, mabuk dan mondar-mandir di Jakarta akhir-akhir ini, tidak perlu dipertanyakan lagi. “Mereka bukan punk, mereka hanya beratribut punk tetapi jalan hidupnya adalah hippies”. Hanya hippies yang lari dari kehidupan, dengan nenggak minuman dan obat-obatan (drugs), mereka lari dari kenyataan, lanjut Encek anak punk Jakarta Selatan.

Mereka masih berusia belasan tahun, tiba-tiba memutuskan berhenti sekolah dan lari dari rumah, karena terpengaruh teman-teman nongkrong. Mereka menenggak minuman dan menelan puluhan tablet dextro (tablet obat batuk yang disalahgunakan untuk mabuk). Banyak dari mereka adalah perempuan berusia dini dan menjadi korban pelecehan seksual.

Bagi mereka, punk sebatas tempat pelarian. Lari dari kesumpekan rumah. Lari dari tekanan hidup. Lari dari tanggungjawab. Lari dari kenyataan. Di kepala mereka, dengan berpenampilan diri seperti punker, mereka bisa bebas dari segala bentuk tekanan hidup, bebas semau-gue, bebas nenggak minuman atau menelan puluhan tablet dextro, bebas mengekspresikan diri sebebas-bebasnya walau masyarakat di sekitarnya terganggu.

Punk, Exploitasi, Bisnis dan Kemiskinan

Masyarakat awam sampai saat ini mungkin masih memandang Punk sebagai sebuah organisasi yang terpusat dan berada pada satu komando tertentu. Pada kenyataannya, punk adalah satuan-satuan kecil komunitas yang menyebar. Di luar itu, adalah massa cair seperti yang dipresentasikan para gerombolan yang beratribut punk di jalanan.

Masalah ekonomi, kemiskinan, dan keluarga ternyata masih menjadi arus utama lahirnya komunitas punk. Latar belakang ini tidak hanya terjadi di tempat di mana punk dilahirkan, akan tetapi kemudian merambah ke seluruh dunia, Amerika bahkan kini sampai kepada anak muda Indonesia. Sebuah modul gaya hidup ala punk menyebar hampir tidak terkendali.

Di Indonesia muncul masalah baru yang sangat unik, modus baru yang Suara Islam temui di salah satu jalanan ibu kota, yaitu terkuaknya eksploitasi anak jalanan dengan modus anak punk. Mereka didandani ala punk kemudian dikirim ke titik-titik uang, di mana lampu merah dan perempatan adalah lahan subur mendulang uang.

Sumber Suara Islam menyebutkan mereka didandani dan tempatkan di wilayah-wilayah tertentu hanya untuk mendulang uang. Proses rotasi kadang dilakukan jika sudah selesai waktu kerja mereka dijemput dengan mobil.

Punk Muslim Memberi Jawaban

Punk di negeri ini mungkin sudah lama diperbincangkan, mulai dari kampus, kelompok studi, sampai seminar di hotel berbintang lima. Namun, untuk mengurai persoalan ini ternyata tidaklah mudah sebab menyangkut berbagai persoaalan yang mendahuluinya, sebut saja permasalahan kemiskinan dan keluarga sebagai domain utama permasalahan ini.

Inilah fenomena baru, ngaji di kalangan anak Punk. Mereka mengeindetitaskan pengajian komunitas underground itu dengan sebutan Punk Muslim (PM). Mereka adalah sisi lain punker. Suara Islam menemui mereka di bilangan Kebon Jeruk Jakarta Barat. Kebetulan Ahmad Zaki kordinator pengajian PM sedang menggelar walimahan adiknya.

Ambon, Asep, Mongxi, dan Lutfi Tidak seperti anak-anak punk kebanyakan, personil PM ini jauh dari fashion punk. Mereka sederhana dan seperti anak muda kebanyakan.

“Kemiskinan dan kebodohan adalah salah satu yang menyebabkan mereka turun kejalan”, ujar Zaki panggilan akrab kordinator pengajian PM.

Menurut Ambon permasalahan keluarga dan ekonomi adalah penyebab dirinya dulu melarikan diri ke jalan, “Di sana kita menemukan tempat yang nyaman untuk berlindung”. Ambon juga menambahkan, “Sebenarnya walaupun keluarga miskin asal pendidikan agama dalam keluarga berjalan dengan baik mereka tidak akan melarikan diri ke jalan”, lanjutnya.

Keberadaan PM sebenarnya untuk meminimalisir jumlah ataupun populasi anak punk yang berada di jalan-jalan. “Kami merekrut sebanyak banyaknya anak punk dan meminimalisisr keberadaan PM sendiri, artinya PM adalah tempat terakhir, yaitu sebagai tempat masa transisi ke dunia awal”. Diharapkan mereka kembali ke kehidupan normal dan kembali kepada fitrah manusia.

(voice of alIslam/20-05-2010/jaka setiawan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar