Laman

Sabtu, 01 Oktober 2011

Bom Solo: Saatnya Penguasa Koreksi Diri!

Oleh: Harits Abu Ulya (Pemerhati Kontra-Terorisme & Direktur CIIA –The Community of Ideological Islamic Analyst-)

Isu terorisme kembali menjadi perniagaan yang dianggap menguntungkan oleh sebagian besar media. Momentumnya ada, peristiwa Bom Solo (25 September 2011) yang di lakukan oleh seseorang diduga bernama Achmad Yosepa Hayat alias Ahmad Abu Daud.
Presiden juga terlihat cekatan dalam hitungan 6 jam paska ledakan, menggelar jumpa pers menjelaskan intelijen (produk) disertai mimik yang serius, gesture tubuh yang meyakinkan, intonasi yang menahan “kemarahan”, dan tekanan intruksi untuk menggerakkan seluruh instrument aparat terkait untuk melakukan kontra-terorisme secara maksimal dan menyeluruh.Yang tidak lupa juga, Presiden sudah “memvonis” siapa pelaku dan kelompok jaringannya.Dua arus bekerja, dengan motif yang berbeda dan terkadang beririsan namun yang menjadi korban adalah sama “Islam & kelompok-kelompok Islam”.
Penulis sering ungkap dalam berbagai kesempatan (dalam tulisan dan seminar,ect); Kapan pemerintah mau belajar dan mau muhasabah diri dalam proyek kontra-terorisme? Karena sampai detik ini, secara tidak sadar pemerintah melalui aparatnya (Densus88 dan Lembaga BNPT) telah menjadi sumber dan akar kekerasan yang tidak berujung di negeri Indonesia dengan judul “terorisme”.Kenapa demikian? Ada beberapa aspek alasan yang secara obyektif perlu dikaji:
Pertama; dalam kerangka besar “Global war on terrorism” yang di kumandangkan Amerika paska runtuhnya gedung WTC, menjadikan Indonesia berada dibelakang barisan Amerika. Ini terbukti dengan lahirnya UU Terorisme No 15 Tahun 2003, kemudian juga lahirnya Detasemen 88 yang awal terbentuknya Amerika cs mensuport habis baik teknis dan dananya. Bahkan sampai detik ini, masih terlihat benang merah adanya satu rangkaian upaya penguatan legal frame untuk memperkokoh proyek “war on terrorism” dalam konteks domestic. Misalkan di DPR saat ini in progress RUU Kamnas, RUU Intelijen, dan juga sudah di wacanakan perlunya revisi UU terorisme dan UU Keormasan. Begitupun melalui BNPT sudah di usulkan perlunya pengadilan khusus Tipeter (tindak pidana terorisme).
Namun sangat disayangkan, Indonesia sikap politiknya tidak obyektif dan proporsional. Mengabaikan konstalasi politik global, dimana Amerika menjadi episentrum lahirnya ketidakstabilan di negeri-negeri Islam. Sikap politik arogan imperialis AS tidak pernah menjadi catatan atau kritik dari Indonesia,  justru seolah mengaminkan semua tindakan Amerika dengan tanpa koreksi. Langkah arogan AS-lah yang menstimulasi perlawanan-perlawanan dipusat pergolakan, atau bahkan perlawanan sporadis dengan berbagai bentuk dan tehniknya di luar wilayah pergolakan. Secara sosiologis, di negeri Indonesia realitas yang tidak bisa dipungkiri mayoritas penghuninya adalah muslim. Sikap “care” atas penderitaan saudara muslim lainya, dengan sedikit ditopang kesadaran politik atas konstelasi politik global akan menjadi spirit bagi orang atau kelompok tertentu untuk melakukan pembelaan dengan cara mereka.
Begitu pula, Indonesia seolah menutup mata adanya inflintrasi intelijen asing yang melakukan operasi pematangan dari proyek Global War On Terrorism. Dari sejak peristiwa bom Bali, sudah banyak tercium jejak operasi intelijen asing dan bahkan tekanan-tekanan Asing (AS) terhadap pemerintah Indonesia agar bisa segendang seirama dengan skenario mereka. Fakta seperti ini menjadikan sebagian kelompok muslim meposisikan dirinya pada kutub bersebrangan dengan pemerintah, disamping merasa terdzalimi karena pilihan mereka “melawan” di ranah domestik dipolitisir untuk menyudutkan Islam dan kaum muslimin. Dan perkara diatas seolah tidak disadari oleh pemerintah Indonesia dimana posisi kekeliruan, malah sebaliknya membabi buta menyudutkan kelompok muslim tertentu dan menyalahkan Islam sebagai ideology.
Kedua; dari proyek war on terrorism melahirkan turunan-turunan langkah yang dilakukan aparat Densus88 sesuatu yang “luar biasa”.Sejak operasi pemburuan di mulai hingga tahun 2011, sudah 650 orang lebih di tangkap dan di tahan. Bahkan lebih dari 50 orang tewas dalam berbagai aksi penggrebekan. Banyak orang ditangkap hanya karena sangkaan, dugaan, dan banyak orang tewas diluar proses hukum peradilan (extra judicial killing). Dalam catatan evaluasi Komnas HAM akhir tahun 2010; Densus88 banyak melakukan pelanggaran HAM secara serius. Bukankah dalam UU Terorisme no 15 tahun 2003, amanahnya adalah penahanan dan di adili? Bukan di grebek dan di eksekusi. Bukan ditembak ditempat hanya dengan asumsi obyek sangat membahayakan. Jika operasi dengan target mati, mungkin lebih cocok kalau yang terlibat dalam operasi kontra-terorisme adalah Militer (TNI), bukan aparat kepolisian. Tapi hari ini masyarakat melihat logika-logika langkah yang terbalik dan merancukan semua aturan serta prosedur.
Cara-cara hard power untuk mengikis terorisme terbukti banyak melahirkan korban, bahkan keluarga mereka yang tidak tersangkutpun menjadi korban (dengan hukuman sosial dari masyarakat sekitar). Dan cara-cara yang tidak proporsional (cenderung arogan) melahirkan sikap “dendam” dan antipati dari kelompok korban. Bahkan semua tindakan “arogan” tersebut menjadi dasar legitimasi kelompok “teroris” makin massif untuk melakukan perlawanan sampai batas kemampuan yang mereka miliki. Baik operasional lapanganya bersama-sama atau sendiri-sendiri.
Di sisi lain, kedzaliman-kedzaliman yang ditampilkan secara arogan oleh aparat dan pengadilan-pengadilan yang sarat dengan rakayasa dalam kasus terorisme menjadi stimulus tersendiri lahirnya kekerasan baru. Banyak individu yang empati atas nasib saudaranya yang terdzalimi. Cara empatinya di ekspresikan dalam bentuk perlawanan, baik sendiri atau kemudian menggabungkan diri bersama tandzim yang ada. Atau mengispirasi untuk membentuk tandzim baru yang dihimpun didalamnya orang-orang baru dengan spirit yang sama dengan visi perlawanan yang sama. Ini terlihat jelas dari pelaku-pelaku baru yang mereka tidak terkait dengan jihad di Afghanistan pada masa lampau, jihad Ambon dan Poso.
Langkah pemerintah melalui aparatnya ini juga seolah tidak di sadari sama sekali telah menjadi sumber dan lahirnya siklus kekerasan yang tidak berujung.
Ketiga; ditataran soft power yang saat ini menjadi fokus banyak instrument pemerintah juga melahirkan masalah tersendiri. Lebih-lebih paska terbentuknya BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) yang di ketuai Ansyad Mbai. Karena langkah soft power dalam bentuk proyek penguatan legal frame dan deradikalisasi, mengandung muatan yang sangat sensitive terhadap umat Islam. Bahkan cara-cara implementasi proyek deradikalisasi kurang “makruf”.
Sekarang ramai di bicarakan RUU Intelijen, satu piranti penting yang bisa memberi dukungan kontra-terorisme secara maksimal memuat substansi pasal-pasal yang sangat bermasalah dan rentan terjadinya “abuse of power”.Bahkan akan membungkam siapa saja yang bersebrangan dengan status quo hanya dengan alasan atau asumsi subyektif yaitu membahayakan keamanan nasional.
Deradikalisasi yang dikomandoi BNPT dengan anggaran 90 Miliar rupiah dan tahun depan di usulkan 126 Miliar rupiah, melahirkan kritik dan kontraksi internal umat Islam. Dengan cara pandang dan paradigma sekuler yang di miliki BNPT, kemudian menebar persepsi dan paradigma tentang akar terorisme dan solusinya. Intinya, Islam Iedologilah atau Islam Fundamentalis radikal yang dituduh menjadi akar terorisme di negeri Indonesia. Dan dalam pandangan BNPT perlunya dikembangan Islam Rahmatan (bahasa halus dari keyakinan liberal dan moderat sebagai seorang muslim). Akhirnya mereka mengenalkan definisi-definisi baru terhadap Islam dalam level pokok atau perkara cabangnya. Menggelar berbagai workshop, seminar, talkshow, dan semisalnya untuk menebarkan pandangan sekuler ala BNPT, dengan menggandeng NGO-NGO atau ormas yang ada atau bahkan mencatut MUI secara illegal untuk melaksanakan Halqoh Nasional Penanggulangan Terorisme diberbagai kota.
Perkara dan langkah ini juga, dengan sengaja atau tidak bahwa pemerintah telah membuat polarisasi kehidupan sosial politik masyarakat Indonesia (khususnya umat Islam). Sebuah cara “dialog” yang tidak fair, akan melahirkan kecurigaan terhadap motif dan semua langkah yang dilakukan oleh pemerintah. Mengkritaskan perlawanan dari jiwa-jiwa yang labil minim pemahaman terhadap kaidah-kaidah perubahan dan perlawanan secara syar’i.
Keempat; pemerintah dan media masa sekuler seperti setali tiga uang, media kompak untuk berteriak menjadi corong proyek kontra-terorisme. Tanpa lagi melakukan kajian elaborative dan holistic terhadap fenomena terorisme. Jika ada media yang investigative, faktanya penulis menemukan “deal” transaksi data-data aparat plus paradigmanya dengan pihak media tersebut, kemudian di ekspos plus vonis-vonis tendensiusnya. Media membranding isu terorisme dengan menjadikan para pengamat (tepatnya:komentator pesanan), untuk mematangkan opini dan isu dan mengkonstruksi persepsi masyarakat mengarah kepada kesimpulan tertentu.
Betapa timpangnya media melihat isu seksi “terorisme”, begitu gegabahnya media menghakimi dan mengarahkan persepsi masyarakat kepada kesimpulan-kesimpulan premature. Lihatlah, bagaimana orang membuat bom selevel petasan kemudian opini di giring bahwa NKRI, dan pilar-pilar bangsa yang ada dalam ancaman serius. Bahkan “teroris” hendak mengganti NKRI menjadi negara Islam. Atau bopengnya media terlihat dari kasus terbaru, rusuh Ambon paska Idul fitri kemarin. Seolah Media sekuler bungkam seribu bahasa, tapi ganti kasus menimpa kepada penganut minoritas (Kristen) di negeri ini mereka berteriak menggonggong secara massif. Apakah karena di Ambon yang menjadi korban adalah umat Islam?  Dan apakah karena di Solo korban luka-lukanya orang Kristen? Tentu media akan bersilat lidah menjawab tidak, tapi fakta tindakan dan sikap media jelas-jelas tidak berimbang dan tidak lagi bisa obyektif. Apakah kita sadar dalam kontek isu terorisme media telah menjadi salah satu pemicu munculnya “teroris-teroris” baru. Bagaimana tidak, ekspos secara fulgar operasi aparat yang ditampakkan bak jagoan “Rambo”, tapi semua orang muslim Indonesia “ngeh” bahwa itu arogansi dan kedzaliman. Dan ini menjadi catatan alam bawah sadar untuk generasi Islam, pada kesempatan mendatang mereka akan teriak “melawan” ketika akumulasi kedzaliman yang mereka saksikan sudah overload di benak dan perasaan mereka.
Sikap penguasa juga tidak jauh beda dengan media. Melalui Presiden SBY, kesannya terlalu sumbang menyikapi Bom Petasan di Solo.Justru langkah sigap ditengah carut marut dan bopengnya pemerintahan SBY yang di jerat kasus korupsi dan intrik-intrik politik lainya, dimaknai lain. Teori konspirasi banyak tersingkap di kemudian hari di negeri ini, dan masyarakat juga percaya dengan logika sederhana bahwa bom Solo kali ini bisa jadi produk operasi intelijen. Artinya, ada upaya pengalihan isu dari bobroknya pemerintah dan partai penguasa dengan kasus korupsinya (bahkan cenderung mendelegitimasi status quo) kepada isu terorisme. Seolah isu terorisme selalu menjadi tumbal untuk menutupi rusaknya sistem dan para penguasanya. Atau bahkan ada pihak-pihak yang bermain dengan motif politik lainya, missal; menjadi penguatan untuk melegislasi RUU Intelijen, atau memelihara proyek War On Terrorism yang di komandani oleh BNPT. Kenapa tidak?
Dan penulis menegaskan ulang; kalau realitas diatas terus saja di pelihara maka siapa sebenarnya yang menjadi sumber dan akar siklus kekerasan yang tidak berujung ini? Apakah akan terus-terusan Islam Ideologi (Islamis) yang dikambing hitamkan untuk menerima semua kesalahan? Apakah para pengusung syariat dan ideologi jihad yang akan di salahkan? Dan sangat aneh lagi, yang menuduh dan menyudutkan Islam dan umatnya adalah anak dan cucu umat Islam sendiri.
Kenapa pemerintah tidak pernah berbenah diri dalam sikap politik luar negeri dan domestiknya yang ramah terhadap kepentingan umat Islam? Nota bene mereka adalah mayoritas penghuni negeri ini. Kenapa pemerintah tidak sigap dan serius menciptakan keadilan dan kesejahteraan untuk rakyat ini? Justru loyalitas dan kepentingan Asing di negeri ini lebih dominan. Dan Kenapa pemerintah membisu terhadap VOC-VOC gaya baru sekarang? Benar memang, Amerika cs tidak menjajah secara fisik, tapi banyak aspek (dalam bidang;politik, ekonomi, pendidikan, budaya, hukum dan lainya) negeri ini dikelola mengikuti arahan dan kepentingan asing (Amerika).
Penulis (dalam hati kecil terkadang memaklumi), tidak bisa berharap banyak kepada para penguasa di negeri ini untuk bisa mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi umat Islam di negeri ini. Kenapa?, karena ideologi sistem yang dipakai adalah sistem sekuler-liberal dan sistem politiknya adalah demokrasi. Justru dalam berbagai kajian empirik, inilah yang menjadi akar carut marutnya negeri Indonesia termasuk negara pengusungnya (Amerika cs). Sistem ini telah melahirkan krisis permanen dan periodik.Ditambah lagi pejabat yang tidak amanah, dengan mekanisme sistem politik demokrasi mereka tersandra oleh uang dan kepentingan kelompok.
Wajar jika sampai hari ini isu terorisme dan kontra-terorisme baik di ranah global atau domestik, hanya menjadi kedok dan tumbal dari kepentingan-kepentingan pragmatis para opuntunir lokal dan imperialisme global. Dan sekaligus dijadikan alat untuk memberangus (dengan cara hard power maupun soft power) setiap gejolak kebangkitan (islam ideologis) yang akan meruntuhkan dominasinya pada masa yang akan datang.
Dan jika bom-bom terus meletup, kita mengerti siapa yang sesungguhnya berkontribusi. Saatnya penguasa (pemerintah) berbenah diri, megevaluasi tiap jengkal langkahnya dalam isu terorisme sebelum di runtuhkan oleh umat Islam dan di berikan balasan setimpal oleh Allah swt. Wallahu a’lam bishowab.(etrsamuslim.com/Selasa, 27/09/2011)
 

http://www.eramuslim.com/berita/analisa/bom-solo-saatnya-penguasa-koreksi-diri.htm

SBY dan "9 Malapetaka Terorisme"

Oleh: AM Waskito

FAKTA: Hari Minggu, 25 September 2011, sekitar pukul 10.55 WIB, seorang pemuda, diperkirakan usia 31 tahun, melakukan aksi bom bunuh diri di Gereja Kepunton Solo. Akibat aksi ini satu orang tewas -dengan usus terburai- yaitu si pelaku peledakan itu sendiri, dan puluhan jemaat gereja terluka. Menurut kabar, pelaku peledakan itu diperkirakan namanya Ahmad Yosefa.
Pagi hari terjadi peledakan bom, sore harinya SBY langsung membuat konferensi pers. Isi konferensi pers: dia menyebut peledakan itu sebagai aksi pengecut, dia menyebut pelaku peledakan itu ialah “jaringan Cirebon”, dan dia kembali memastikan bahwa Indonesia belum aman dari aksi-aksi terorisme.
Pernyataan SBY ini setidaknya mengandung dua masalah besar: Pertama, dia begitu cepat memastikan bahwa pelaku peledakan itu adalah ini dan itu. Hanya berselang beberapa jam SBY sudah memastikan, padahal hasil penyelidikan resmi dari Polri belum dikeluarkan. Hal ini mengingatkan kita kepada Tragedi WTC 11 September 2001.
Waktu itu media-media Barat sudah memastikan bahwa pelaku peledakan WTC adalah kelompok Usamah, hanya sekitar 3 jam setelah peristiwa peledakan. Seolah, SBY sudah banyak tahu tentang seluk-beluk aksi bom bunuh diri di Kepunton Solo tersebut.
Kedua, SBY untuk kesekian kalinya tidak malu-malu mengklaim bahwa kondisi Indonesia masih belum aman dari aksi-aksi terorisme. Kalau seorang pemimpin negara masih berakal sehat, seharusnya dia malu dengan adanya aksi-aksi terorisme itu.
Tetapi sangat unik, SBY tampaknya sangat “menikmati” ketika kondisi Indonesia tidak cepat lepas dari aksi-aksi terorisme.
Bila Masanya Tlah Tiba, Seseorang Akan Dikejar Bencana, Sekalipun Dia Bersembunyi di Pucuk Gunung Atau Liang Semut...
Setiap ada aksi terorisme, dimanapun juga, termasuk di Indonesia, kaidahnya sederhana. Aksi terorisme bisa dibagi menjadi 3 jenis:
(a). Aksi yang benar-benar murni dilakukan oleh pelaku terorisme dengan alasan ideologis. Mereka melakukan teror karena kepentingan ideologi, dan menjalankan aksi itu dengan persiapan-persiapan sendiri. Aksi-aksi yang dilakukan oleh IRA di Irlandia, Basque di Spanyol, atau kelompok David Coresh di Amerika termasuk jenis ini;
(b). Aksi terorisme yang dibuat oleh aparat sendiri dalam rangka mencapai tujuan politik tertentu. Aparat yang merancang dan mereka pula eksekutornya. Contoh monumental aksi demikian ialah peledakan WTC yang dilakukan oleh dinas intelijen Amerika sendiri;
(c). Aksi yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu (misalnya kelompok Jihadis) yang ditunggangi oleh aparat. Penyusun aksi itu sebenarnya aparat, tetapi eksekutornya diambil dari kalangan Jihadis yang mudah dipengaruhi dan diprovokasi. Aksi peledakan bom itu sangat mudah dibuat oleh mereka yang punya DANA, INFORMASI, dan AKSES SENJATA. Sedangkan sudah dimaklumi, aparat keamanan memiliki itu semua.
Mereka bisa membuat aksi peledakan dimanapun, lalu aksi itu diklaim dilakukan oleh pihak ini atau itu.
Malapetaka. Dalam bahasa Inggris disebut “disaster”. Dalam bahasa Arab disebut bala’. Seseorang disebut mendapat malapetaka ketika dia tertimpa keburukan, mushibah, kemalangan, atau penderitaan; karena telah melakukan kedurhakaan atau kezhaliman kelewat batas.
Contoh manusia yang mendapatkan malapetaka ialah George Bush. Begitu hinanya manusia itu, sehingga dia dilempar sepatu ketika berbicara di Irak. Tidak pernah ada kepala negara dilempar sepatu sehina itu, selain George Bush.
SBY dalam hal ini juga bisa dikatakan, telah mendapat “malapetaka terorisme”. Mengapa SBY dikatakan telah mendapat “malapetaka terorisme”? Alasannya, karena: (a). Dia banyak didoakan mendapat malapetaka oleh semua aktivis Islam yang mendapat kezhaliman dan penistaan akibat isu-isu terorisme itu, beserta keluarga dan kerabat mereka. Mereka mendoakan bersama agar SBY mendapat laknat dari Allah Ta’ala; (b). Dia didoakan mendapat malapetaka oleh setiap Muslim yang merasa muak dan benci akibat peristiwa-peristiwa terorisme yang penuh rekayasa, demi menjelek-jelekkan para aktivis Islam itu. Begitu muaknya masyarakat, sampai pernah beredar ajakan agar mematikan TV ketika disana ada SBY sedang pidato; (c). SBY mendapat malapetaka langsung dari Allah akibat segala dosa-dosa dan kezhalimannya kepada kaum Muslimin, kepada bangsa Indonesia, dan alam sekitarnya.
Setidaknya disini ada “9 Malapetaka Terorisme” yang menimpa SBY sepanjang karier kepemimpinnanya. Angka 9 sesuai dengan “angka keramat” yang sering dielu-elukan oleh SBY sendiri.
Malapetaka 1: SBY adalah seorang “Presiden Terorisme”. Maksudnya, dia adalah satu-satunya Presiden RI yang paling banyak berurusan dengan isu teorisme. Bahkan, SBY tidak memiliki prestasi apapun yang bernilai, selain dalam mengurusi isu terorisme itu sendiri. Tidak ada Presiden RI yang begitu gandrung dengan isu terorisme, selain SBY. Tidak ada Presiden/PM di negeri-negeri Muslim yang begitu intensif  bergelut dengan isu-isu terorisme, selain SBY. Bahkan tidak ada presiden negara dimanapun, setelah George Bush, yang begitu getol dengan isu terorisme, selain SBY. Singkat kata, SBY bisa disebut sebagai “George Bush-nya Indonesia“.
Malapetaka 2: SBY terbukti merupakan Presiden RI yang sangat sentimen kepada aktivis-aktivis Islam, bahkan sentimen kepada Ummat Islam. Di sisi lain, SBY sangat peduli dengan nasib minoritas non Muslim. Banyak fakta yang membuktikan hal itu.
Saat terjadi peledakan bom di Kepunton Solo, SBY begitu cepat bereaksi. Dia mengecam tindakan aksi bunuh diri tersebut. Tetapi ketika terjadi kerusuhan di Ambon, sehingga beberapa orang Muslim meninggal, ratusan rumah dibakar; ternyata SBY diam saja. Dia tak bereaksi keras, atau mengecam.
Ketika seorang jemaat gereja HKBP mengalami penusukan di Cikeuting, SBY langsung bereaksi keras. Padahal jemaat itu hanya luka-luka saja. Bahkan yang terluka juga termasuk aktivis Muslim. Tetapi terhadap puluhan pemuda Islam yang dibunuhi Densus 88 di berbagai tempat; terhadap ratusan pemuda Islam yang ditangkap, ditahan, dan disiksa; terhadap ratusan keluarga pemuda-pemuda Muslim yang terlunta-lunta; ternyata SBY hanya diam saja, atau pura-pura tidak tahu.
Ketika terjadi insiden Monas yang menimpa anggota Jemaat Ahmadiyyah, Juni 2008 di Jakarta, SBY bereaksi keras. Dia mengecam ormas Islam anarkhis. Kata SBY: “Negara tidak boleh kalah oleh kekerasan!” Hebat sekali. Tetapi ketika Ustadz Abu Bakar Ba’asyir berkali-kali diperlakukan kasar, galak, dan penuh tekanan; padahal beliau sudah tua dan sakit-sakitan. Ternyata SBY tak pernah mau peduli.
Ketika terjadi pelatihan militer oleh sebagian kelompok Islam di Jantho Aceh. Dilakukan di tengah hutan, tanpa ada korban atau aksi kekerasan apapun, ia dianggap sebagai aksi terorisme. Para pelakunya ditahan, sebagian ditembak mati. SBY membiarkan perlakuan keras itu. Tetapi terhadap gerakan OPM di Papua yang jelas-jelas bersenjata dan menyerang aparat berkali-kali, SBY tidak pernah menyebut gerakan OPM sebagai terorisme.
Ketika para penari Cakalele mengibarkan bendera RMS di depan mata SBY, dia tak bersikap tegas. Padahal itu benar-benar penghinaan di depan mata dia. Tetapi ketika ada sebagian orang membuat aksi demo dengan membawa kerbau yang ditulis “Sibuya”, SBY begitu marah.
Intinya, SBY sudah terbukti sangat NYATA dan JELAS, bahwa dia sangat membenci pemuda-pemuda Islam, dan sangat pengasih kepada kalangan minoritas non Muslim; meskipun gerakan mereka membahayakan NKRI. Kaum Muslimin yang banyak jasanya bagi negara dibiarkan dianiaya, sedangkan kaum minoritas selalu mendapat pembelaan penuh.
Malapetaka 3: Dalam masa kepemimpinan SBY sangat banyak bencana-bencana alam, mulai dari Tsunami, gempa bumi, banjir, tanah longsor, gunung meletus, kekeringan, lumpur Lapindo, kecelakaan tragis, dll.
Malapetaka 4: Dalam masa kepemimpinan SBY kondisi perekonomian Indonesia mengalami kemerosotan hebat. Inflasi tinggi, hutang luar negeri membengkak sampai Rp. 1733 triliun, pengangguran merebak, dominasi asing sangat kuat di segala sektor, beban anggaran negara sangat berat, dll.
Malapetaka 5: Di masa kepemimpinan SBY praktik korupsi merebak, mewabah, merajalela. Pejabat pemerintah seperti Gubernur, Bupati, Walikota banyak ditahan. Anggota DPR, menteri-menteri terlibat korupsi. Bahkan korupsi menyentuh aparat hukum seperti kepolisian, kejaksaan, kehakiman. Tidak terkecuali, para politisi Partai Demokrat juga dirundung banyak masalah korupsi, seperti yang diungkapkan Nazaruddin. Isu korupsi yang menimpa Partai Demokrat sangat berat.
Malapetaka 6: Melalui laporan Wikileaks yang dipublikasikan koran Australia, Sydney Herald Morning dan The Age, SBY dituduh menyalah-gunakan kekuasaan untuk melakukan korupsi dan kejahatan politik. Keluarga SBY dituduh memanfaatkan posisi SBY untuk memperkaya diri. Isteri SBY, Bu Ani Yudhoyono malah disebut sebagai “broker proyek”. Belum pernah ada Ibu Negara di Indonesia mendapat sebutan demikian, selain isteri SBY. Ironinya, yang melaporkan berita-berita itu justru Kedubes Amerika Serikat, yang notabene kawan SBY sendiri; pelapornya, menteri-menteri SBY sendiri; dan publikasi oleh media Australia yang notabene adalah kawan SBY dalam pemberantasan terorisme.
Malapetaka 7: Pernyataan SBY tentang negara Amerika tersebar luas di tengah masyarakat. Pernyataan itu berbunyi, kurang lebih: “America is my second country. I love It, with all of faults.” Pernyataan ini tersebar dimana-mana, yang menjelaskan bahwa SBY tidak memiliki komitmen nasionalis. Dia memiliki sifat KHIANAT terhadap bangsanya sendiri. Tidak heran, kalau dalam pidato-pidatonya, SBY sangat senang memakai bahasa Inggris. Lucunya, saat Obama datang ke Tanah Air, lalu berpidato berdua bersama SBY; SBY harus berkali-kali dibisiki oleh Menlu Marty Natalegawa tentang isi pidato Obama tersebut. Forum yang seharusnya bisa membuat SBY dipandang mulia, malah membuatnya “kasihan deh lo”.
Malapetaka 8: Dapat disimpulkan, bahwa SBY adalah satu-satunya Presiden RI yang tidak memiliki kemampuan apa-apa. Sama sekali tak memiliki kemampuan. Kemampuan satu-satunya SBY ialah membuat PENCITRAAN. Dari sisi kemampuan manajemen tidak ada; wawasan ekonomi, tak ada; ilmu pertanian, nol besar; wawasan bela negara, kosong melompong; kemampuan diplomasi, sami mawon; kemampuan retorika, nilai 4; kemampuan sains, wah tambah parah; dan seterusnya. SBY nyaris tak memiliki kelebihan apapun, selain membuat pencitraan. Sebagian purnawirawan jendral menyebut SBY sebagai “jendral salon”, “jendral kambing”, “terlalu banyak membaca”, dan sebagainya. Ini adalah penilaian yang sangat memprihatinkan.
Mapaletaka 9: …hal ini belum berjalan, dan akan terus berjalan sampai disempurnakan oleh Allah Ta’ala. Bentuknya, kita tidak tahu; bisa apa saja, sesuai kehendak-Nya. Kita hanya bisa menanti.
Apa yang disebut disini bukanlah fitnah atau cerita dusta. Ia benar-benar ada. Hanya saja, mungkin sebagian orang menyebutnya dengan istilah “kesialan SBY”, “mushibah bersama SBY”, “kelemahan SBY”, “malapetaka bersama SBY”, “kehancuran nama SBY”, dan lain-lain. Dalam tulisan ini, ia disebut “malapetaka”, sesuai dengan makna kata itu sendiri.
Ya, silakan Pak SBY, lanjutkan hidup Anda; lanjutkan apa saja yang Anda sukai; toh setiap orang berhak berbuat dan memutuskan, sedangkan dosa-dosa dan akibat, akan dia tanggung sendiri. Pak SBY ini sudah “masuk kantong”, karena dia sangat sentimen kepada para aktivis-aktivis Islam, terlalu jauh bermain-main dalam ranah kezhaliman isu terorisme; akibatnya banyak orang menyumpahi dan mendoakan malapetaka baginya.
“Semakin seseorang terjerumus jauh dalam kezhaliman kepada kaum Muslimin, semakin perih akibat yang tertanggung dalam dirinya, keluarganya, dan kehidupannya.”(ersamuslim.com/Rabu, 28/09/2011 )
http://www.eramuslim.com/berita/analisa/sby-dan-9-malapetaka-terorisme.htm

Bomber Solo: Siapa Mereka? (Membaca Anatomi Kelompok Bomber dan Follower)

Oleh: Harits Abu Ulya (Pemerhati Kontra-Terorisme & Direktur CIIA (The Community Of Ideological Islamic Analyst)

Akhirnya Mabes Polri (Selasa, 27/9) memastikan siapa pelaku Bom GBIS Kepunton Solo. Ia adalah Ahmad Yosepa alias Hayat, ia termasuk satu dari lima orang DPO peristiwa pengeboman masjid Azd Dzikra Mapolresta Cirebon pada 15 April 2011. Diluar itu, spekulasi bermunculan tentang siapa sebenarnya para pelaku ini? Demikian termasuk spekulasi lainya yang muncul.
Jika kita inventarisir spekulasi-spekulasi terkait bom Solo kali ini, ada beberapa poin: Pertama, siapakah Hayat sebenarnya? Dan dari jaringan atau kelompok manakah ia? Apa masih terkait dengan jaringan JI atau lainya? Kedua, apakah aksi Hayat itu murni inisiatifnya dan stiril dari rekayasa intelijen? Ketiga; adakah kaitanya dengan peristiwa Ambon paska Idul Fitri kemarin? Keempat; apa hubunganya dengan rencana DPR melegislasi RUU Intelijen dan proyek massif deradikalisasi BNPT?
Menurut saya (penulis) point-point di atas bisa dipisah dalam dua wilayah. Pertama, adalah siapa hakikat pelaku dan bagaimana langkah-langkah aksinya dan kedua adalah implikasi-implikasi politiknya. Implikasi ini bisa saja adalah plan yang sudah disiapkan satu rangkaian dengan peristiwa bom Solo, dengan asumsi jika bom bunuh diri itu adalah by design. Atau implikasi itu adalah plan yang dibuat sebagai respon cepat pada momentum yang tepat, inilah kerja para follower dalam isu terorisme di Indonesia. Para follower bekerja sedemikian rupa, untuk mencapai target yang maksimal dengan berbagai kompensasinya.
Untuk mengeja jawaban empat point diatas dan relevansi antar point tersebut, saya perlu paparkan fakta dan realita dari elaborasi (riset) lapangan:
Fakta kelompok dan hubungan antar mereka
Pada paparan beberapa fakta, saya (penulis) melokalisir pada person-person yang terkait kasus Bom Cirebon dan Bom GBIS Solo karena disana kita temukan irisan dan korelasi antar tandzim (sel). Ada tiga jaringan (tandzim) yang bergerak dengan amaliyah “jihad fardiyahnya” yakni; Tim Hisbah Solo, Kelompok Cirebon dan Tim Ightiyalat Klaten, (ightiyalat: melakukan jihad, baik dalam bentuk pembunuhan dari individu atau pembunuhan rahasia sasaran individu) .
Di akhir 2009 seseorang yang bernama Musolah tercatat ikut pengajian Tim Hisbah beberapa kali di Masjid al Anshor, Semangi, Solo, yang akhirnya ia pulang balik ke Cirebon. Saat itu Tim Hisbah yang basisnya di Solo di pimpin oleh Sigit Qordowi, cuma tidak terang bagaimana pertama kali pertemuan antar mereka terjadi. Cuma perlu dicatat bahwa perjumpaan itu bisa dengan berbagai kemungkinan. Apalagi saat sekarang banyak medium (missal; jejaring sosial) memudahkan komunikasi antar person.
Di Bulan Desember 2009 sesorang yang bernama Atok membentuk Tim Ightilayat di Klaten, yang kemudian di bulan Mei 2010 Tim Ightiyalat mulai mencoba belajar merakit bom dengan Heri Sigu Samboja, seseorang yang lahir dari keluarga yang diduga kuat anggota JI, ia bergabung dengan Noordin M Top, dan sempat belajar merakit bom dengan Dr Azhari, akhirnya Heri SS ditangkap ditahun 2004, dipengadilan di vonis 7 tahun penjara, kemudian bebas di tahun 2008.
Pada bulan September 2010 Tim Ightiyalat yang dibentuk oleh Atok berfusi dengan Tim Hisbah untuk melakukan amaliyah (serangan) terhadap polisi dan gereja.
Ada catatan sebelumnya di bulan September 2009 Syarif (pelaku bom Mapolresta Cirebon), Musolah dan seorang lagi yang bernama Yadi di duga terlibat perusakan toko Alfamart Cirebon karena alasan menjual miras dalam sebuah sweeping yang mereka lakukan bersama beberapa person dari komponen lainya.
Kemudian pada awal bulan Desember 2010 upaya amaliyah yang direncanakan kelompok gabungan dua jaringan (Tim Hisbah dan Ightiyalat Klaten) yakni pemboman di Sukoharjo gagal. Tapi ini tidak menyurutkan langkah mereka untuk melakukan amaliyah-amaliyah berikutnya karena terbukti di pertengahan bulan Desember 2010, Sigit Qordowi dari Tim Hisbah meminta anak buahnya yang berinisial EJ untuk membeli senjata. Kemudian EJ menelpon Musolah di Cirebon dan 2 kali di bulan Desember 2010 dan Februari 2011 mereka mendapatkan senjata. Di akhir Februari anak-anak Klaten (jaringan Klaten) minta tolong dari EJ untuk mencari tempat tinggal karena seorang yang bernama Atok dari tim Ightiyalat baru di tangkap. Akhirnya EJ menindaklanjuti dengan meminta tolong kepada Musolah, akhirnya kemudian orang tersebut pindah ke Cirebon.
Di bulan Maret 2011 Sigit Qordowi mencoba untuk mengusahakan senjata lagi dan kembali meminta EJ untuk mencari, akhirnya tanggal 10 April 2011 EJ ke Cirebon untuk mengambil pesanan senjata dari tangan Musolah kemudian dia kembali pulang.
Di tanggal 15 April 2011 Peristiwa bom bunuh diri di Cirebon terjadi, saat itu Musolah menghubungi EJ via telpon dan memintanya untuk turun ke lapangan (Cirebon). Disana EJ diminta mencari tempat yang lebih aman di wilayah Solo untuk 2 orang teman dari Musolah yaitu bernama Yadi dan Hayat alias Raharjo (alias Achmad Yosepa) karena mereka ikut menolong atau membantu Muh. Syarif (pelaku bom Cirebon), sementara Musolah sendiri menghilang lari ke wilayah Tegal Jawa Tengah.
Antara tanggal 17 s/d 19 April 2011 EJ berusaha mencari tempat untuk mereka menjual bakso namun tidak berhasil dan justru pada tanggal 19 April 2011 keberadaan Musolah terhendus oleh aparat bahkan kemudian tertangkap. Akhirnya informasi tertangkapnya Musolah ini mendorong Hayat lari ke Karang Anyar, sementara Yadi lari ke Bandung. Sementara EJ sendiri di tanggal 12 Mei 2011 ditangkap dan di hari berikutnya tanggal 13 Mei 2011 Sigit Qordowi tewas tertembak oleh Densus 88 di Sukoharjo. Dan akhirnya publik melihat peristiwa pada tanggal 25 September 2011 terjadi aksi bom di GBIS Solo dan Hayat alias Achmad Yosepa alias Raharjo alias Achmad Abu Daud dipastikan oleh Mabes Polri paska uji DNA sebagai pelakunya.
Dan masih ada DPO lainya dalam perburuan aparat Densus88; Amir Ashabul Kahfi Cirebon, Yadi alias Hasan (diduga menyembunyikan pelaku bom Klaten dan memerintahkan untuk memberikan pelatihan merakit bom), Heru Komarudin (di duga perakit bom yang dipakai M.Sarif di Mapolresta Cirebon), Beni Asri dan Nanang Irawan alias Nang Ndut alias Gendut alias Rian (dua orang ini di duga yang terlibat menyembunyikan rangkaian bom). Dan diduga juga seorang yang bernama Sohir (terpidana Bom Bali yang sudah bebas) menjadi tempat belajar merakit bom Hayat dan termasuk Sarif sebelumnya, karena Sohir dikenal cukup piawai merakit bom. Sementara bocoran intelijen MI6 Inggris mensinyalir kota Surabaya dan Semarang menjadi sasaran potensial untuk aksi berikutnya.
Mengeja Spekulasi
Dari fakta-fakta ini kita mencoba mengeja jawaban point diatas. Pertama, siapakah Hayat sebenarnya? Dan dari jaringan atau kelompok manakah ia? Apa masih terkait dengan jaringan JI atau lainya?
Hayat adalah termasuk DPO kasus Bom Cirebon, anak pertama dari tiga bersaudara, dan sejak kecil ia ikut ayahnya yang bernama M.Daud Turani dan ibunya bernama Hindun transmigrasi ke Kalimantan. Hayat memiliki nama asli Pino Damayanto di akte kelahiran dan karena sering sakit kemudian diganti nama menjadi Ahmad Urip, ia dilahirkan di Losari, Cirebon 19 Oktober 1980 dan beralamat di Jl Pandesan kota Cirebon.
Kedua orang tuanya sendiri sudah lama tidak berjumpa atau berhubungan dengan Yosepa. Pendidikannya dari awal di SD Losari kemudian dilanjutkan SMP saat di Kalimantan, dan masa SMA nya di Ciledug Kabupaten Cirebon. Yosepa tidak pernah mondok, berbeda dengan isu diluar yang menyatakan Yosepa pernah mondok di Ngruki selama tiga tahun. Sejauh yang terungkap, jualan bakso adalah salah satu pekerjaan yang ia tekuni sekalipun tidak sukses.
Saat di Cirebon Hayat pernah mengikuti MMI dan kemudian berafiliasi ke JAT (terlepas apakah bagi MMI atau JAT sendiri, Hayat diakui sebagai anggotanya atau tidak, karena di JAT sendiri ada mekanisme penerimaan seseorang bisa menjadi anggotanya. Dan kalimat mengikuti tidak selalu berarti menjadi anggotanya). Hayat sering bersama Sarif (pelaku bom Cirebon) dalam berbagai aksi sekalipun ia tidak seagresif Sarif, namun kesamaan visi yang dimiliki antar mereka menjadikan mereka membangun “tandzim” sendiri melepaskan diri dari kelompok yang sebelumnya mereka berafiliasi.
Maka saya (penulis) memberanikan diri untuk memberi catatan; bahwa mereka tidak terkait dengan kelompok gerakan Islam yang ada (seperti tuduhan sebagian pihak yakni yang dimaksud gerakan tersebut adalah MMI dan JAT). Mereka ada dalam simpul-simpul yang penulis ungkap diatas (jejaring Cirebon,Solo dan Klaten). Sebuah tandzim baru yang dilahirkan oleh situasi, sebuah entitas baru yang mencoba untuk eksis membawa ideologi jihad versi mereka. Mereka adalah entitas dari produk zaman, Mereka adalah manefestasi dan artikulasi percikan dari umat Islam yang dalam kontek sekarang menjadi korban imperialism global dan lokal. Mereka memahami kondisi tersebut perlu respon, tanpa memperdulikan keabsahan aksi mereka secara syar’I, begitu juga implikasi-implikasi politiknya (yang faktanya hari ini langkah mereka menjadi kontraproduktif terhadap Islam dan perjuangan Islam, atau minimal menjadi legitimasi kelompok pembenci Islam semakin massif langkahnya untuk mengaborsi geliat Islam dan umatnya).
Jika mereka pernah bersua beberapa person yang latarbelakangnya di duga anggota JI, tentu tidak bisa di vonis bahwa mereka adalah produk JI atau JI itu sendiri. Tidak harus JI yang bisa stimulus lahirnya tandzim baru dalam ranah jihad. Sikon politik yang mendzalimi umat Islam juga bisa mengispirasi siapapun dari umat Islam yang memiliki ghiroh (semangat) untuk membangun jaringan (tandzim). Menghimpun orang-orang yang sevisi dan melakukan aksi sebagai respond dan jawaban mereka terhadap sikon politik yang ada. Dan kita tentu tidak bisa membuat logika yang premature, misalkan; seorang koruptor pernah kuliah di UI atau UGM, tentu tidak terima jika institusi UI dan UGM divonis adalah koruptor atau sarang koruptor. Dan begitu juga sebaliknya, seorang jebolan UI dan UGM kemudian dia menjadi koruptor tentu bukan karena dia belajar bagaimana dia korupsi atau UI dan UGM mengajari korupsi. Tidak ada hubungan timbal balik otomatis dalam konteks ini.
Bisa jadi mereka berinteraksi dengan lintas tandzim (baik yang sirri maupun yang terbuka), kemudian mereka terinspirasi keluar dari tandzim itu semua. Dan berikutnya mengkonstruksi “ideologi” baru bagi kelompoknya. Dan yang tidak boleh di abaikan sama sekali adalah adanya kemungkinan diantara mereka ada penyusupan oleh intelijen, sehingga entitas mereka adalah produk intelijen dengan berbagai kepentingan diluar kendali mereka (mengingat lahirnya JI juga terindikasi ada kontribusi agen/intelijen, begitu juga kasus lainya dan dalam hal ini perlu elaborasi terpisah lebih jauh) .
Tentang urusan kemampuan mereka menyiapkan dan merakit bom, dunia maya menjadi tempat selancar yang baik. Di sana cukup banyak guiden untuk menjadikan seorang mahir atau minimal punya kemampuan dasar (seperti pasukan komando) dalam masalah bom. Hal ini terbukti dari kelompok Pepi (bom serpong). Tidak harus belajar langsung kepada seorang guru yang berpengalaman dibidang bom (alumni Afghanistan, Kamp Hudzaibiyah, atau konflik Ambon dan Poso).
Bahkan dalam hal keterkaitan dengan kelompok jihadis Ambon atau Poso, penulis melakukan riset tidak menemukan keterkaitan langsung atau tidak. Mereka yang ada di Poso atau Ambon diluar pusaran amaliyah “jihad Fardiyah” kelompok Hayat cs. Terlalu naïf jika mereka di vonis satu jaringan misalkan hanya karena kesamaan bahan baku peledak dan tehnik perakitannya. Atau hanya kesamaan sama-sama memiliki visi jihad. Atau masuk jauh pada asumsi misalkan karena sama-sama memiliki ideologi Islam Radikal fundamentalis. Masih perlu bukti lebih akurat, tidak hanya berdasarkan asumsi dengan demikian mudah mengeneralisir.
Kedua, apakah aksi Hayat itu murni inisiatifnya dan stiril dari rekayasa intelijen? Sekaligus relevansinya dengan kasus Ambon yang terbaru? Dari pola dan pergerakan mereka, cenderung ini adalah kelanjutan program kelompok Hayat sebelumnya. Disamping mereka sadar betul dalam perburuan dan menjadikan ruang gerak mereka semakin sempit dan terbatas. Dan ditambah persepsi yang tidak positif terhadap aparat (khususnya Densus88), yaitu kecondongan arogansi dan eksekusi mati terhadap orang-orang yang terduga terlibat aksi bom bunuh diri (apalagi jika ada korban didalamnya dari anggota Tribrata/Polisi). Maka dalam sikon seperti ini, akan mendorong seseorang pada pilihan fatal yaitu aksi bom, seperti rencana semula mereka. Di sisi lain mereka sudah seperti kehilangan induk, tanpa lagi ada komando (komandan). Karena sebagian besar “komandan” sudah di penjara, sehingga yang masih diluar “ngalor-ngidul” (istilah orang jawa; seorang yang kehilangan orentasi/bingung).
Jika ada dugaan sebagian pihak bahwa ini rekayasa atau pembiaran, bisa jadi logis karena laporan intelijen mengungkap adanya pergerakan kelompok mereka. Pada 14 Agustus di ungkap dalam laporan intelijen bahwa ada 5 orang yang di baiat dan 9 orang remaja yang belum dibaiat namun hadir dalam agenda itu. Jadi ada pergerakan di beberapa tempat. Jika dikaitkan dengan posisi tragedi Ambon paska idul fitri tidak terlalu relevan, namun bisa dimaknai posisi Ambon menjadi momentum keluarnya mereka kepermukaan untuk melaksanakan aksinya. Terlepas apakah peristiwa Ambon itu by design atau tidak (penulis, mendapatkan informasi yang mengindikasikan kasus Ambon dijadikan pancingan untuk mengeluarkan DPO dan termasuk untuk melahirkan para Jihadis baru muncul dipermukaan). Apalagi ditambah sikon di Ambon sebelum aksi bom di Solo terjadi teror bom secara beruntun di Karang Panjang, Terminal Mahardhika, Gereja Maranatha dan Gereja di Jalan Karang Panjang dari mulai hari Minggu sampai hari Senin malam.
Jika hendak mendiskusikan lebih jauh tentang “lemahnya” intelijen yang menjadikan Presiden SBY geram. Ada kemungkinan lemahnya kordinasi antar institusi intelijen terjadi, mengingat pola kerja Densus88 (yang 70% lebih fungsi mereka di intelijen) selama ini berdasarkan dugaan atau asumsi seseorang memiliki potensi ancaman, maka ia bisa diaborsi sebelum beraksi. Namun kali ini seolah kecolongan dan padahal terungkap sebelumnya adanya informasi intelijen di bulan Agustus tentang kemungkinan pergerakan dan aksi dari kelompok-kelompok tertentu (dan tidak keluar dari kelompok yang penulis ungkap diatas). Bisa juga munculnya dugaan (logika), terjadi gap atau persaingan antar institusi atau personel intelijen yang ada, hingga berakibat lemahnya kordinasi dan efeknya tidak bisa melakukan usaha preventif sebelum aksi bom Solo.
Ketiga; Apa hubunganya dengan rencana DPR melegislasi RUU Intelijen dan proyek massif deradikalisasi BNPT? Tentang point ini penulis lebih tepat mengatakan para follower yang konsen di bidang kontra-terorisme yang berada diberbagai lembaga dan institusi lagi sedang bekerja dan menemukan momentumnya.
Peristiwa bom Solo kali ini kalau bisa dijadikan penguatan asumsi RUU Intelijen harus segera di sahkan oleh DPR setelah sebelumnya di finalisasi secara tertutup oleh tim DPR dan Pemerintah. Dan bahkan kemudian memperkuat serta melegitimasi proyek kontra-terorisme dalam bentuk soft power berikutnya yaitu deradikalisasi yang dikomandani oleh BPNT. Seperti dalam kesempatan tertutup BNPT (Ansyad Mbai) dengan Komisi III DPR-RI mengusulkan anggaran 126 Miliar rupiah untuk proyek ini, dan menarget 800 ribu masjid dan 40 ribu pesantren menjadi partner BNPT, bahkan sudah membuat MOU dengan beberapa ormas Islam untuk proyek deradikalisasi.
Sang Presiden-RI; orang yang cukup peka kesempatan. Banyak pihak membaca langkahnya menyikapi bom Solo sangat bernuansa politik. Dan begitulah adanya, karena disana ada ketimpangan jika sang Presiden di baca bagaimana sikap ia terhadap kasus lainya yang serupa. Misalkan rakyat tidak melihat sikap tegas presiden terhadap kerusuhan di Ambon yang menewaskan beberapa orang muslim, yang di picu kematian tidak wajar tukang ojek yang beragama muslim (yang sampai tulisan ini dibuat juga belum di publish siapa pelaku pembunuhan tukang ojek tersebut). Atau bagaimana sikap sang presiden terhadap kelompok bersenjata di Papua yang beraksi menewaskan beberapa orang termasuk didalamnya aparat kepolisian dan TNI. Sangat sumbang dan timpang memang, semua rakyat membaca langkah dan sikap dia hanya untuk mengalihkan perhatian rakyat terhadap rusak, bopeng dan jebloknya pemerintahan dia yang terjebak dalam pusaran skandal mega korupsi.
Sang Presiden seperti seorang follower sejati, mengetahui waktu yang tepat untuk menggeser perhatian rakyat dari skandal politik pemerintahan ke urusan bom petasan yang di dramatisir seolah membahayakan toleransi, pluralism dan demokrasi.
Kalau ada upaya pengkaitan dengan kelompok ormas tertentu, ini juga pekerjaan para follower yang sejak awal sangat bernafsu ingin mengaborsi kelompok-kelompok Islam tersebut (misal; MMI dan JAT atau kelompok lainya yang di cap radikal fundamentalis). Ini terlihat opini yang digiring oleh media, dan bahasa-bahasa tendensius yang mereka gunakan.
Di akhir tulisan ini, penulis mau katakan; saatnya penguasa dan para politikus muslim yang terlibat dalam sebuah keputusan penting menyangkut nasib kehidupan sosial politik rakyat Indonesia yang notabene mayoritas adalah muslim, agar bersikap obyektif,  jujur dan menjadikan akidah yang ada dalam dirinya menjadi maqoyis (standar) dalam tiap keputusannya. Sudah terlalu lama Islam dan umatnya terdiskriditkan dengan isu terorisme. Jangan sampai Indonesia betul-betul berubah menjadi “state terrorism” dan akhirnya berhadapan secara diametrikal dengan umat Islam. Kekuasaan itu sementara, dan hisab Allah SWT itu pasti, maka tidak beriman orang yang tidak amanah dengan kekuasaan. Wallahu a’lam bishowab (the.ciia2020@gmail.com/eramuslim.com,Kamis, 29/09/2011)
http://www.eramuslim.com/berita/analisa/bom-solo-siapa-mereka-membaca-anatomi-kelompok-bomber-follower.htm