Laman

Jumat, 30 September 2011

Dibutuhkan, Densus 77 Anti Korupsi

Deklarasi Densus 99 Anti Teror oleh GP Ansor di Harlah, Ahad kemarin memunculkan berbagai spekulasi. Terlebih setelah ketua GP Ansor, Nusron Wahid menjelaskan bahwa dibentuknya Densus 99 ini untuk melawan radikalisme yang mengatasnamakan agama. Kemana arah konstalasi sebenarnya?
Selama ini, penanganan isu terorisme oleh polisi melalui Densus 88 Anti Teror begitu banyak memunculkan kontroversi. Mulai dari posisi komandan yang berada di level mana, sumber pendanaan, hingga yang paling kerap terjadi di lapangan: sisi humanis yang kelewat batas. Karena sebagian besar yang masih terduga teroris selalu berujung kematian.
Padahal, selama ini polisi selalu mengaku bingung dengan jaringan teroris, dan bahan baku bom yang dijadikan terduga teroris. Anehnya, terduga selalu ditembak mati, sebelum mengorek lebih dalam asal bahan peledak tersebut. Karena di Indonesia, mendeteksi senjata api apalagi bom, begitu mudah karena pemainnya sangat terbatas.
Belum lagi dengan tingkat kewajaran, antara bahan baku bom dan senpi yang ditemukan dengan markas atau rumah terduga teroris yang sangat miskin. Selama ini, perbandingan tersebut sangat tidak wajar. Logikanya, untuk hidup layak saja susah, bagaimana mungkin untuk beli alat-alat militer yang berharga sangat mahal. Sebagai ilustrasi, untuk harga satu peluru saja, harganya bisa di atas 20 ribu rupiah per butir.
Islam dan Teroris
Pasca tragedi menara kembar WTC di Amerika tahun 2001, negeri yang dipimpin Yahudi ini begitu gencar dengan propaganda terorisme. Dan anehnya, kecurigaan Amerika terhadap siapa di balik peledekan tingkat tinggi ini bukan kepada negara kaya yang tingkat persenjataan dan intelijennya sudah sangat canggih seperti Rusia, Korea Utara, Cina, dan lain-lain. Melainkan kepada negara-negara miskin yang suplai senjata dan keterampilan tentaranya saja berada di ketek Amerika, seperti Irak, Afghanistan, dan Pakistan.
Belum lagi dengan kontroversi soal teknik peledakan WTC yang diyakini melibatkan intelijen lokal, tuduhan tanpa dasar kepada Negara-negara muslim ini sudah seperti bagian dari grand disain soal apa di balik tragedy WTC ini.
Amerika dan negeri-negeri berpenguasa Yahudi lain begitu sangat jelas menampakkan sasaran sebenarnya di balik isu terorisme. Yaitu, perang terhadap ideologi Islam. Karena pasca perang dingin terhadap Uni Sovyet yang sudah bangkrut, Islam menjadi satu-satunya ancaman bagi konsep Yahudiisasi dunia oleh Amerika.
Tentunya, perang yang mereka lancarkan di balik isu terorisme ini tidak langsung membabat Islam sebagai kelompok masyarakat dan symbol-simbolnya. Melainkan, kepada inti dinul Islam itu sendiri, yaitu Islam sebagai system hidup dengan kelengkapan syariahnya.
Dari rumus ini, siapa pun yang ingin mengembalikan kemurnian Islam sebagai system hidup, baik kolektif atau individu, akan masuk dalam mereka yang disebut sebagai tersangka terorisme.
Di balik RUU Kamnas dan Intelijen
Di media dan rubrik ini telah dijelaskan ruang-ruang gelap RUU Kamnas dan Intelijen yang sedianya disetujui DPR 15 Juli lalu. Di antaranya, pasal dan ayat tentang apa yang dimaksud dengan ancaman negara.
Patokan hukum tentang sesuatu disebut ancaman atau bukan masih belum jelas. Karena Pancasila yang dijadikan ideology standar masih sangat multi tafsir. Dan itu sangat tergantung dari siapa yang menafsirkan.
Sebagai contoh, apakah perdagangan bebas yang diterapkan pemerintah saat ini sudah sesuai dengan patokan ideology Pancasila? Begitu pun dengan kebijakan serba impor untuk kebutuhan pokok dalam negeri, swastaisasi lembaga pendidikan yang berakibat mahalnya biaya sekolah, pelayanan sosial yang berada di payung BUMN, liberalisasi budaya yang menjadikan anak-anak muda Indonesia kehilangan jatidiri, dan sebagainya.
Dengan begitu, betapa bahayanya sebuah undang-udang yang mendefinisikan ancaman negara termasuk ajaran atau ideologi asing yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila. Kenapa tidak sekalian saja menyebut bahwa semua agama impor bertentangan dengan Pancasila dan menjadi ajaran yang mengancam keutuhan bangsa.
Padahal, Pancasila itu sendiri, menurut Soekarno dalam pidato 1 Juni di BPUPKI dipengaruhi oleh pemikiran para ideolog luar negeri seperti Sun Yat Sen (Cina), dan A Baars (Belanda).
Yang dibutuhkan, Densus Anti Korupsi!
Tidak tertutup kemungkinan adanya korelasi antara RUU Intelijen dan Kamnas ini dengan para militer sipil seperti Densus 99. Karena selama era SBY, keberadaan ormas-ormas Islam yang mencoba untuk menegakkan syariah dan syiar Islam dianggap sebagai gangguan. Anehnya, rezim SBY tidak cukup berani untuk secara frontal melakukan pembubaran.
Yang dikhawatirkan, akan terjadi konfrontasi sistematis antara kekuatan sipil dengan kekuatan sipil lainnya. Ini akan menjadi fenomena sangat berbahaya. Dan kalau terjadi, Indonesia akan benar-benar menjadi negara bubar karena munculnya gerakan separatis yang menuntut pisah dengan pemerintah pusat.
Sebetulnya, kondisi sosial di Indonesia relatif lebih baik di banding dengan keadaan politik dan hukumnya. Saat ini, begitu telanjang ketidakmampuan penegak hukum untuk menjalankan tugas utamanya dalam pemberantasan korupsi. Karena kriminalitas ini sudah begitu menggurita di seluruh jalur birokrasi, termasuk aparatur hukumnya.
Dengan begitu, yang dibutuhkan saat ini bukan densus anti terorisme, tapi densus anti korupsi. Silakan kejar dan bantai para pelaku korupsi yang begitu bebas berkeliaran di masyarakat Indonesia yang sudah sangat terbukti menyengsarakan rakyat negeri ini sehingga berada setingkat dengan Negara miskin di Afrika. (mnh/ Senin, 18/07/2011)

Ternyata, KPK Begitu Rapuh


Pasca tuduhan Nazaruddin melalui wawancara langsung via telepon kepada beberapa media televisi, ternyata begitu berpengaruh terhadap KPK. ‘Guncangan’ pun mulai terasa di tubuh lembaga pemberantas korupsi ini.
Ada tiga orang KPK yang disebut Nazaruddin diduga terlibat. Mereka adalah dua pimpinan KPK yaitu Chandra M Hamzah dan M Jasin, serta Deputi Penindakan Ade Rahardja. Ketiga orang inilah yang nantinya akan menjalani pemeriksaan komite etik internal KPK.
Pembentukan komite etik KPK yang terdiri dari tujuh orang anggota pun mengalami gempuran dari pihak publik. Pasalnya, komite ini terdiri dari lima anggota yang merupakan penasihat dan pimpinan KPK: Abdullah Hehamahua, Said Zainal Abidin, Busyro Muqaddas, Bibit Samad Riyanto, Haryono Umar. Dan dua orang dari luar KPK: pakar hukum Universitas Indonesia Marjono Reksodiputro dan akademisi Syahruddin Rasul.
Untuk nama terakhir, Syahruddin Rasul sebenarnya mantan pimpinan KPK. Tapi dari sudut pandang komite etik, ia dihitung sebagai tokoh luar.
Komposisi lima internal dan dua eksternal ini mendapat gempuran dari publik karena dikhawatirkan keputusan akan sangat dipengaruhi oleh kepentingan internal KPK. Dan hasil pemeriksaan nantinya menjadi tidak objektif.
Menariknya, di luar soal urusan komposisi komite etik, langkah pemeriksaan ini ternyata sempat memunculkan ketidakpuasan di internal pimpinan KPK sendiri. Salah seorang pimpinan KPK, M Jasin, sempat mengungkapkan ketidakpuasan itu kepada wartawan melalui SMS.
Menurutnya, semua unsur pimpinan KPK harus diperiksa. "Kalau dasar pemeriksaan Komite Etik hanya didasarkan pada siapa yang pernah disebut dalam nyanyian Nazaruddin dan siapa yang pernah ketemu dengan Nazaruddin, maka Komite Etik harus fair, tidak tebang pilih karena yang disebut Nazaruddin juga termasuk Busyro. Dia juga harus diperiksa," kata Jasin melalui pesan singkat yang dikirimkan kepada wartawan.
Yang tidak kalah heboh, Juru Bicara KPK Johan Budi pun ikut terseret ‘nyanyian’ Nazaruddin. Entah karena adanya pemeriksaan komite etik atau tidak, Johan Budi secara terbuka menyatakan pengunduran diri dari KPK. Menurutnya, ia ingin konsentrasi pada seleksi calon pimpinan KPK.
Mantan pimpinan KPK, Taufiqurrahman Ruki, dalam sebuah wawancara dengan TV-One juga menyebut bahwa ada pengaruh luar biasa dari ‘Nyanyian’ Nazaruddin kepada pimpinan KPK. “Saat ini, antar pimpinan mulai saling curiga,” ucapnya.
Dari tiga orang pejabat KPK yang dituduh Nazaruddin, hanya Ade Rahardja yang berani terbuka. Mantan jenderal polisi bintang dua ini mengakui dua kali pertemuannya dengan Nazaruddin kepada wartawan. Dua pertemuan itu dilakukan pada tahun lalu di sebuah restoran Jepang di kawasan Kuningan.
Pada pertemuan pertama, Ade didampingi Johan Budi. Dari sinilah, nama Johan Budi ikut disebut Nazaruddin. Pada pertemuan kedua, Ade mengaku didampingi staf KPK yang lain.
Dua pertemuan itu, menurut Ade, atas permintaan Nazaruddin. Pertemuan pertama membahas kasus korupsi di Kemenkes, dan yang kedua kasus di Kementerian Tenaga Kerja. Intinya, Nazaruddin meminta agar penyidikan kasus tersebut dihentikan.
Dan ketika kasus dugaan korupsi di wisma atlet heboh, Ade mengaku beberapa kali dikontak Nazaruddin. Tapi, ia mengaku tidak pernah menjawab.
Rapuhnya KPK
Dilihat dari manuver Nazaruddin yang terkesan asal tuduh, karena tidak menyertakan bukti-bukti yang memadai, sebenarnya hal tersebut hanya akan menjadi sampah jika sasaran tembaknya memang benar-benar kuat. Publik pun menganggap bahwa tembakan Nazaruddin hanya peluru kosong.
Namun, kenapa tembakan peluru kosong itu bisa mengguncang sebuah lembaga superbody seperti KPK? Kenapa ada krisis kepercayaan yang muncul antar pimpinan KPK?
Hal inilah yang mau tidak mau memberikan sebuah kesimpulan tersendiri kepada publik bahwa KPK memang sudah rapuh. Publik pun mulai mengait-ngaitkan dengan dua kasus terakhir yang menunjukkan kelumpuhan KPK: kasus Nunun Nurbaeti dan Nazaruddin sendiri.
Dua kasus ini, secara telanjang memberikan gambaran kepada publik bahwa KPK sudah tidak seperti yang dulu. Di dua kasus itu, KPK hanya mampu bermain pada tataran retorika. Tapi sulit dibuktikan dalam kenyataan yang sebenarnya.
Menariknya, justru pada kepemimpinan KPK yang begitu lemah seperti saat ini, justru sebagian pimpinan itu ikut melamar menjadi pimpinan KPK periode mendatang.
Publik pun bertanya-tanya, sedemikian canggihkah mafia korupsi di negeri ini hingga membuat lembaga penegak hukum superbodi seperti KPK lumpuh dan culas. Lumpuh karena tidak berdaya dengan dua kasus sederhana seperti Nunun dan Nazaruddin. Bagaimana mungkin sulit menangkap Nunun padahal suami dan keluarganya ada di Jakarta. Dan bagaimana mungkin susahnya menangkap Nazaruddin padahal ia bisa menayangkan siaran langsung tentang dirinya lewat televisi berita.
Kemarahan Publik
Pemandangan terbuka tentang lumpuhnya KPK di Nunun dan Nazaruddin, menjadikan publik yang sudah sedemikian muak dengan ‘tarian’ dan ‘nyanyian’ aneka mafia termasuk korupsi di negeri ini menjadi seperti putus harapan.
Inilah yang disebut ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, sebagai jalan buntu sebuah keadilan. Hal tersebut pernah disampaikan kepada SBY yang juga ikut terjangkiti kelumpuhan akut, karena kelumpuhan itu sudah merembes di halaman rumah SBY sendiri, Demokrat.
Sementara, masyarakat hidup dalam pertarungan sengit dengan lonjakan harga yang kian tidak menentu, pelayanan publik yang tidak memadai, warna pendidikan yang makin kapitalistik, dan lain-lain.
Entah disengaja atau tidak, entah dalam disain pihak-pihak tertentu yang memang menginginkan Indonesia bubar atau tidak, lahirnya kemarahan massif sepertinya hanya tinggal menunggu minggu dan hari. (mnh/ Eramuslim.com,Thursday, 28/07/2011)


Heboh Korupsi Berjamaah di Banggar DPR


Pasca pemanggilan KPK terhadap empat pimpinan Badan Anggaran atau Banggar DPR RI beberapa waktu lalu yang berujung konflik antar dua institusi itu, memperlihatkan beberapa fenomena menarik. Setidaknya, publik mulai diperlihatkan wajah sesungguhnya apa yang disebut dengan ‘Korupsi Berjamaah’.
Kalau selama ini kasus-kasus korupsi yang ditangani KPK hanya seperti riak-riak arus kecil di permukaan samudera korupsi di negeri ini, keberanian KPK membidik Banggar DPR mungkin tergolong maju. Apa yang dilakukan KPK merupakan kelanjutan dari dua kasus korupsi terakhir di dua kementerian: Kemenegpora dan Kemenakertrans.
Menariknya, di dua kementerian yang berbeda itu, ada satu pos negara yang selalu disebut para tersangka. Yaitu, Badan Anggaran.
Seperti yang dituturkan mantan bendahara umum Demokrat, Nazaruddin kepada media, sejumlah uang milyaran dititipkan melalui anggota Banggar dari Demokrat, Anggelina Sondakh untuk disampaikan kepada salah seorang pimpinan Banggar dari Demokrat, Mirwan Amir. Uang itu disebut Nazaruddin akan diserahkan kepada pimpinan dan anggota Banggar yang lain sebagai ‘uang terima kasih’ karena telah meloloskan anggaran tersebut.
Begitu pun di kasus Kemenakertrans, tersangka Dharnawati juga menyebut jatah untuk Banggar. Proyek Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah atau PPID bernilai 500 milyar ini masih terus digodok KPK yang muaranya masih tanda tanya.
Dalam kasus Kemenakertrans ini, salah seorang anggota Banggar, Wa Ode Nurhayati bahkan menyebut adanya pelanggaran prosedur. Semestinya pembahasan angka 500 milyar itu dilangsungkan di Panitia Kerja atau Panja Pusat. Bukan di Panja Daerah.
Seperti diketahui, di Banggar ada tiga Panja. Yaitu, Panja Pendapatan, Pusat, dan Daerah. Tugas Panja Pendapatan adalah mengevaluasi semua lini pendapatan negara dalam fungsi pengawasan. Panja Pusat bertugas membahas semua postur anggaran kementerian dengan catatan telah dibahas dan disetujui komisi terkait. Dan Panja Daerah membahas postur anggaran yang dibutuhkan daerah dan propinsi dalam bingkai NKRI.
Dengan menjadikan PPID yang 500 milyar itu di Panja Daerah, Komisi yang menjadi mitra Kemenakertrans merasa tidak tahu sama sekali adanya aliran anggaran sebesar itu. Walaupun sebenarnya, anggota Banggar juga perwakilan dari Komisi utusan fraksi.
Peluang-peluang 'Memainkan' APBN
Dari beberapa kasus yang kerap terjadi, para pengamat menilai adanya sistematika kerja mafia anggaran yang mempunyai jaringan di dua lembaga negara: eksekutif dan legislatif. Biasanya, mereka memanfaatkan peluang di pembahasan APBN Perubahan. Di sinilah, mafia anggaran bergerak leluasa.
Beberapa modus operandi yang dilakukan tergolong beragam.
Pertama, bekerja sama dengan oknum eksekutif untuk mendapatkan ‘uang terima kasih’ seperti dalam kasus Wisma Atlet di Kemenegpora.

Kedua, menawarkan kepada daerah-daerah adanya peluang anggaran. Dari sini, lagi-lagi mereka mendapatkan ‘uang terima kasih’ seperti yang pernah disampaikan Wa Ode Nurhayati dengan adanya keanehan alokasi anggaran kepada sejumlah daerah yang sebelumnya tidak disepakati.

Ketiga, memainkan peluang-peluang di APBN-P seperti yang terjadi di Kemenakertrans yang ternyata terdapat anggaran setengah trilyun tanpa melalui pembahasan di Komisi terkait di DPR.
Sekjen Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia atau Formappi, Sebastian Salang menuturkan kepada media modus umum 'memainkan' anggaran di Banggar. Menurutnya terjadi apa yang disebut dengan 'cinta' segitiga antara pengusaha, pejabat pemerintah, dan anggota Banggar.
Dalam modus ini, menurut Sebastian, pengusaha memesan proyek kepada pejabat di kementerian, dan kementerian melobi orang-orang di Banggar. Di tiap titik segitiga ini harus dilalui dengan 'uang terima kasih'. Besarnya antara 10 hingga 20 persen.
Peneliti ICW, Ade Irawan menjelaskan seperti dimuat Media Indonesia: pembagian jatah dan pengutipan anggaran di Badan Anggaran (Banggar) DPR tidak pernah dilakukan saat rapat Banggar.
Biasanya setiap partai punya koordinator untuk melakukan transaksi gelap di luar rapat Banggar dengan broker atau kepala daerah. "Jadi tidak pernah fee itu dibicarakan di rapat Banggar. Selalu di luar rapat," jelas Ade.
Menurutnya, modus partai mengutip anggaran untuk daerah-daerah di Banggar sangat rapi. Biasanya, jelas Ade, setiap partai sudah diberi jatah besaran anggaran untuk daerah tertentu. Setelah diberi jatah tersebut, partai mulai beraksi melakukan lobi ke daerah-daerah yang telah dipercayakan pada mereka.
"Permainan di DPR melakukan korupsi dana APBN untuk daerah-daerah dengan memberikan alokasi anggaran ke daerah lebih dulu, baru kemudian dikompromikan dengan kepala daerah atau calo dari daerah. Bukan bagi-bagi lebih dulu baru bagikan ke daerah," paparnya.
Selain itu, kompromi dana APBN, bukan dilakukan di DPR atau di banggar, tetapi dilakukan secara personal oleh anggota Banggar di tempat lain sehingga sulit dilacak.
"DPR sudah cerdas untuk bagi-bagi anggaran APBN. Karena dialokasikan lebih dulu ke daerah baru kemudian dibagi-bagi, pada saat audit, ada dana daerah yang ditemukan tak tepat sasaran sampai dengan Rp 2 Triliun," jelasnya.
Mungkin, masih banyak lagi ‘kreativitas’ yang bisa dilakukan oleh orang-orang yang disebut oknum di Badan Anggaran DPR. Intinya, bagaimana menguras uang rakyat untuk kepentingan pribadi dan kelompok.
Korupsi Berjamaah
Jika disimak dari kasus konflik KPK dan Banggar DPR pasca pemanggilan pimpinan Banggar, begitu transparan terlihat adanya kekompakan pimpinan DPR menyerang balik KPK. Selain ancaman mogok oleh Banggar yang akan berimbas mandegnya pendanaan negara, DPR pun memanggil balik KPK.
DPR sepertinya ingin memperlihatkan kekuatannya kepada KPK bahwa mereka pun bisa ‘menciderai’ KPK. Bagi KPK, pemanggilan DPR ini begitu aneh jika dihubungkan dengan kasus dugaan korupsi di Banggar. Karena yang ditangani KPK terhadap orang-orang di Banggar murni kasus hukum, sementara pemanggilan DPR terhadap KPK menjadi kasus politik.
Pertanyaannya, sebegitu kompakkah perlawanan DPR terhadap KPK yang tampak mulai memberanikan diri memasuki lembaga Banggar yang selama ini memang penuh misteri. Ada apa di balik kekompakan ini? Karena baru kali ini dalam sejarah, semua wakil partai di pimpinan DPR berada dalam satu barisan dan satu suara. Kasus serangan balik kepada Wa Ode Nurhayati usai mengungkap ‘penjahat’ anggaran di Banggar pun memperlihatkan kekompakan ini.
Dan dari sini pula akhirnya terungkap, seperti yang dituturkan sejumlah pimpinan DPR, korupsi pun terjadi di lembaga pemerintah atau eksekutif. Mereka menilai bahwa KPK menendang bola panas kasus Nazaruddin dan Kemenakertrans ke lembaga DPR, bukan di kementerian terkait.
Wakil Partai di Banggar
Sudah hampir menjadi rahasia umum, seperti yang dituturkan para pengamat, kalau orang-orang yang duduk di pos Banggar DPR merupakan perpanjangan tangan dari ‘mesin ATM’ partai. Sistem setoran rutin menjadi hal lumrah terjadi di sini.
Beberapa oknum Banggar yang tergolong bagian dari mafia anggaran merupakan orang kepercayaan atau setidaknya punya hubungan khusus dengan bendahara partai. Klaim yang disampaikan Nazaruddin kepada media beberapa lalu dengan menyebut Mirwan Amir yang punya hubungan dekat dengannya menjadi salah satu contoh. Mirwan menjabat wakil bendahara di Demokrat.
Dari empat pimpinan Banggar yang ada, dua di antaranya merupakan bendahara resmi partai. Yaitu, Mirwan Amir dan Olly Dondokambey yang menjabat bendahara umum di PDIP.
Dari pola ini, hampir bisa dikatakan bahwa mafia anggaran di Banggar tidak melibatkan satu atau dua partai saja. Tapi merata di semua partai: baik yang nasionalis, setengah Islam, maupun yang Islam. Inilah mungkin yang disebut sebagai korupsi berjamaah untuk merampok uang rakyat di APBN. (mnh/Eramuslim.com/Jumat, 30/09/2011)

Minggu, 25 September 2011

PESAN KAUM MUSLIMIN AMBON ATAS LEDAKAN DI SOLO


M. Fachry
http://arrahmah.com/read/2011/09/25/15414-pesan-kaum-muslimin-ambon-atas-ledakan-di-solo.html


AMBON (Arrahmah.com) – Kaum Muslimin Ambon, korban kedzoliman nasrani pasca kerusuhan 11 September 2011, mengirim pesan menanggapi ledakan bom yang terjadi di GBIS Kepunton, Tegalharjo, Jebres, Solo, Ahad (25/09/2011), sekitar pukul 10.55. Mengapa kaum Muslimin diperlakukan diskriminatif?
Pasca ledakan bom di GBIS Kepunton, Tegalharjo, Jebres, Solo, Ahad (25/09/2011) sekitar pukul 10.55 WIB, aparat pemerintah terlihat langsung sibuk. Selain presiden SBY sendiri yang langsung memberi instruksi untuk mengungkap pelaku peledakan, Kapolri dan Kabareskim pun langsung mengunjungi TKP. Hal ini berbeda sekali dengan ketika kerusuhan Ambon meletus pada Ahad, 11 September 2011 lalu, dimana hingga kini belum juga diungkap siapa pemicu dan pelaku kerusuhan tersebut. Berikut sms keprihatinan dari kaum Muslimin Ambon yang dikirin ke redaksi Arrahmah.com
Pesan kaum Muslimin Ambon korban kedzoliman Nasrani
Ketika bom meledak di gereja kepunton Solo, semua pejabat dari presiden, menkopolhukan, kapolri, sampai ketua umum GP Ansor semuanya berkomentar pedas, mengutuk dan meminta segera diusut dan ditangkap pelakunya. Tapi kenapa ketika tanggal 11 September 2011, kaum Muslimin Ambon menjadi korban kedzoliman orang-orang Nasrani kita tidak mendengar komentar yang sama seperti hari ini ?
Padahal, ada 7 orang Muslimin Ambon yang tewas pada kejadian tersebut, ada 100 orang lebih kaum Muslimin yang terluka, ada 1 kampung Muslim yang habis terbakar rumahnya, ada 3000 pengungsi Muslim yang berada di tempat-tempat pengungsian sampai hari ini dengan keadaan yang sangat memprihatinkan. Bisakah presiden, menkopolhukam, kapolri, kapolda Maluku atau bahkan ketua umum GP Ansor mengungkap dan menangkap dengan segera pelaku yang telah membakar kampung Muslimin Waringin, Ambon, yang telah membunuh 7 orang Muslim yang telah mencederai 100 orang Muslim Ambon?
(M Fachry/arrahmah.com)