Laman

Selasa, 21 Juni 2011

Kejanggalan Isu Teror Bom dan NII-KW9

Oleh : Lathifah Musa

Dalam sebuah perbincangan eksklusif TV One tanggal 27 April 2011 dengan Imam Supriyanto Mantan Menteri NII KW9, mantan menteri ini mengatakan bahwa dalam sebulan ia dulu bisa menyetor 10 M ke pusat. Reporter menanyakan, pusatnya dimana. Yang ditanya menjawab, ya ke Al Zaytun sebagai pusatnya. Uang ini bisa didapat melalui upaya mencuri dari orang tua atau majikan, yang dianggap sebagai harta Fai. Namun Sang Mantan Menteri akhirnya menyadari bahwa apa yang dilakukannya sangat jauh dari perjuangan Islam. Kemudian terkuaklah bahwa istilah negara Islam dalam kasus NII yang diisukan sebagai KW9 ini hanya untuk mengumpulkan uang. Entah, uangnya digunakan untuk apa oleh pimpinan mereka.

Al Chaidar, pengamat Islam Radikal juga mempertanyakan, mengapa polisi tidak mengusut bukti-bukti yang sudah mengarah kepada NII KW6 dan Al Zaytun, sebuah lembaga pesantren di Indramayu. Menurutnya, kalau bicara Al Zaytun, berarti mengarah kepada AM Hendropriyono. Karena ia adalah pelindung lembaga ini. Untuk itu kredibilitas Hendropriyono dalam mengomentari kasus-kasus terorisme kini mulai dipertanyakan publik. Mengapa, belum-belum sudah menyebut-nyebut Islam, negara Islam dan Khilafah dalam setiap kejadian terorisme? Padahal kenyataannya ada benang merah antara Hendropriyono dengan NII sendiri. Apakah isu NII yang saat ini mencuat, sebagai sebuah faksi yang mengumpulkan uang dengan membolehkan anggotanya merampok atau mencuri (namun tak peduli apakah anggota-anggotanya ini menjalankan syariat Islam atau tidak), memang hanya ditujukan untuk memojokkan umat Islam yang murni memperjuangkan syariat Islam?

Dalam sebuah acara Debat di TV One (27/04/2011), Al Chaidar mensinyalir bahwa NII KW9 (dan berbeda dengan NII yang sebenarnya) adalah bagian dari strategi defense Polri. Hal ini dimaksudkan agar orang-orang yang terperangkap dalam gerakan NII KW9 ini menjadi kapok dan jera sehingga resisten terhadap gerakan-gerakan Islam yang memang memperjuangkan penegakan syariat Islam.

Sebagaimana pengakuan Letjen (Purn) TB Hasanuddin yang pernah terlibat penertiban NII dan saat ini menjadi anggota DPR, dalam sebuah wawancara di Metro TV (28/04/2011), mengatakan bahwa NII terbagi menjadi beberapa wilayah (sampai KW7) yang pada sejarahnya terbukti telah mempertahankan keutuhan negara Indonesia pada awal kemerdekaannya. Kalau pada akhirnya ada sempalan-sempalan yang mengalami penyimpangan arah, maka muncullah analisis-analisis sebagaimana yang dikemukakan Al Chaidar.

Dengan demikian sebenarnya benang merah telah begitu jelas, siapa yang berada di balik NII -KW9 yang selama ini meresahkan masyarakat. Masyarakat mulai bisa membaca secara jelas bahwa ada rekayasa politik dari pemerintah sendiri. Kasus teror bom saat ini beriringan dengan bergulirnya pembahasan RUU Intelijen di DPR. Seperti maling teriak maling yang menginginkan adanya aturan yang semakin memudahkan perbuatan maling.

Kebohongan-kebohongan di balik isu teror bom yang selalu digunakan untuk mendiskreditkan umat Islam kini mulai terkuak. Terkadang isu terror bom ini pun membawa korban kalangan umat Islam sendiri yang terjebak sehingga melakukan tindakan-tindakan anarkis yang justru bertentangan dengan syariat Islam. Belum lagi kasus mahasiswa hilang dan kembali dengan sikap yang seperti kehilangan akal sehat dan kesadaran. Sudah banyak kalangan yang menuntut pemerintah mulai terbuka dalam masalah ini. Untuk itu mengapa tidak dibuka saja secara transparan, sebelum masyarakat kehilangan kesabarannya?

sumber  : http://www.al-khilafah.co.cc/2011/04/kejanggalan-isu-teror-bom-dan-nii-kw9.html

Teror NII dan Deradikalisasi (Target Di Balik Isu NII)

Oleh Harits Abu Ulya (Pemerhati Kontra-Terorisme & Ketua Lajnah Siyasiyah DPP-HTI)


Siapa yang tidak kenal dengan Densus88 ? Hampir semua orang Indonesia familiar dengan satu nama ini. Apalagi dalam isu terorisme selalu tampil bak bintang film dan “pahlawan”.

Tapi saat ini banyak orang mulai akrab dengan sebuah lembaga baru yang bernama BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), karena para pejabatnya sering nongol di layar kaca menjadi “artis” dalam isu “terorisme”, dipimpin seorang yang selevel menteri dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden.

Apa bedanya antara dua institusi di atas ? Yang paling penting adalah, BNPT memiliki kewenangan luas dan khusus di bidang kontra-terorisme. Dan Densus88 menjadi bagian dari instrument penindakan BNPT.

Isi BNPT juga nyaris bukan orang baru, banyak orang Densus88 di tarik menjadi Deputi atau direktur di Lembaga baru yang dibentuk melalui kepres No. 46 tahun 2010, resmi di teken Presiden tanggal 16 Juli 2010. Dan sejak BNPT berjalan maka isu-isu terkait “terorisme” orang-orang BNPT yang sering tampil di muka media.

Ketua BNPT, Ansyad Mbai laksana seorang orator politik, banyak membangun opini dan propaganda yang tendensius dengan seabrek kepentingan politiknya dibanding bicara fakta. Sejauh ini belum terbuka di hadapan publik tentang mekanisme kontrol terhadap kerja lembaga BNPT.

Hal yang menarik dari BNPT, keseriusannya melakukan langkah “lembut” (soft measure) dibawah payung strategi yang bernama “deradikalisasi”. Sebuah strategi bagian dari proyek “kontra-terorisme”. Dan ini harus jalan karena pendekatan secara keras dianggap belum bisa mereduksi dan menghabisi seluruh potensi yang mengarah kepada tindakan “terorisme”. Bahkan dianggap belum efektif menyentuh akar persoalan terorisme secara komprehensif.

Strategi penegakan hukum juga dirasa kurang memberikan efek jera dan belum bisa menjangkau ke akar radikalisme. Sekalipun diakui cukup efektif untuk “disruption”, ia tidak efektif untuk pencegahan dan rehabilitasi sehingga masalah terorisme terus berlanjut dan berkembang.

Jadi ini adalah sebuah program yang lebih banyak berbentuk pendekatan lunak (soft approach), baik kepada masyarakat luas, kelompok tertentu maupun individu tertentu yang dicap “radikal”, “teroris” dan semacamnya.
Maka wajar saja jika proyek seperti ini rawan munculnya tehnik kotor untuk memuluskan. Artinya perlu diciptakan kondisi dan situasi yang bisa memediasi program berjalan seperti yang diharapkan.

Mengingat dari strategi yang ditempuh, obyek sasaran jangka panjangnya jelas-jelas adalah kelompok yang dianggap megusung ideologi radikal atau fundamentalis.

Dalam kontek ini ada pendekatan formal, salah satu bentuknya semisal langkah BNPT menggandeng MUI di akhir 2010 dengan membuat program Halaqoh Nasional Penanggulangan Terorisme dan Radikalisme.

Acara ini diselenggarakan di enam kota besar Indonesia, meliputi Jakarta (11 Nopember), Solo (21 Nopember), Surabaya (28 Nopember), Palu (12 Desember) dan terakhir di Medan (30 Desember) tahun lalu.

Proyek BNPT tapi Penggagas acara ini diatas namakan MUI Pusat dan Forum Komunikasi Praktisi Media Nasional (FKPMN) yang di ketuai oleh Wahyu Muryadi (Pimred Majalah Tempo).

Ketika agenda ini berlangsung, fakta berbicara lain, hampir disemua tempat mendapatkan resistensi dari kalangan ulama’ dan tokoh masyarakat, audien cukup kritis, karena melihat banyak kesenjangan dan kejanggalan antara “niat baik” BNPT dengan fakta dilapangan yang membuat umat Islam merasa terdzalimi.

Sebuah fakta yang tidak bisa diingkari dalam upaya menumpas “terorisme”; sarat pelanggaran HAM, extra judicial killing terhadap orang-orang yang disangka “teroris”, seolah berjalan nyaris tanpa koreksi plus opini memojokkkan Islam; terorisme identik dengan Islam.

Bahkan tindakan “Hard Power” yang dipertotonkan ke publik oleh aparat menjadi inspirator sumber kekerasan dan membuat siklus kekerasan yang tidak berujung. Negara berubah menjadi “state terrorism”,akhirnya tanpa disadari melahirkan benih perlawanan baru dari berbagai level dengan beragam cara.

Di sisi lain, cara-cara yang tidak terbuka juga sangat mungkin dilakukan agar proyek deradikalisasi dengan motif jangka panjangnya mulus berjalan. Dan “Mindsite control” melalui media juga adalah keniscayaan dan krusial menjadi kebutuhan proyek ini.

Maka dalam konteks ini, kita bisa membaca relevansi antara isu yang dikembangkan media tentang NII. Pertanyaannya, kenapa harus NII ? Jawaban yang logis adalah; eksistensi NII adalah fakta sejarah dibumi Indonesia, dengan berbagai variannya NII hingga kini (varian tertentu paska periode Kartosuwiryo) menjadi anak asuh dari entitas kekuasaan dengan kepentingan politiknya.

Maka jika hari ini di hembuskan ulang tentang NII, dugaan kuat bidikan sesungguhnya bukan dalam rangka menghancurkan dan memberangus NII. Tapi mengambil satu aspek, yakni terminologi “negara Islam” (alias: darul Islam, daulah Islam).

Proyek deradikalisasi, mengharuskan diraihnya target di antaranya; masyarakat resisten terhadap terminologi dan dan visi politik dari sebuah kelompok yaitu “negara Islam”. Penerapan Islam dalam format negara harus menjadi momok bagi kehidupan sosial politik masyarakat Indonesia, sekalipun penghuninya mayoritas adalah orang Islam.

Karena format Indonesia yang sekuler dan liberal dalam bingkai demokrasi adalah “harga mati” menjadi muara dari proyek ini,karenanya wajib mengeliminasi setiap “ancaman” terhadapnya.

Masyarakat masih segar ingatanya, ketika terjadi peristiwa kriminal perampokan Bank CIMB di kota Medan-Sumut, Kapolri saat itu (Bambang HD) menyatakan bahwa motif perampokan adalah hendak mendirikan negara Islam.

Dan ini terulang pada kasus paket Bom Buku, pihak BNPT (Ansyad Mbai) “berorasi” bahwa pelakunya adalah pengusung dan pejuang negara Islam (Khilafah) dan yang menjadi obyek sasarannya adalah penghalang Khilafah.

Dengan logika sehat, sulit rasanya untuk membaca hubungan tindakan dengan motif politiknya dalam kasus-kasus diatas, tapi masyarakat melihat pihak BNPT dan instrumenya ngotot mempropagandakan tentang visi politik dari setiap peristiwa yang mereka klaim sebagai “terorisme”.

Maka sesungguhnya ini adalah perang opini dan propaganda, mengkriminalisasi terminologi “negara Islam”, berangkat dari sikap Islamphobia. Dan juga atas dasar sikap paranoid yang berlebihan, sebagaimana berlebihnya pemerintah mengumumkan “Siaga 1” untuk seluruh wilayah Indonesia menjelang “Paskah” umat kristiani dengan alasan dan argumentasi yang tidak bisa dicerna oleh orang-orang yang paham betul masalah aspek-aspek keamanan dan pertahanan.

Ala kulli haal, isu NII adalah tidak lebih layaknya pemanis dan menjadi “sambal” dari sebuah menu. Bisa juga menjadi “teror NII”. Ia diangkat ke permukaan untuk di ambil visi politiknya saja, di bawa untuk mendramatisir dan sifat mendesaknya sebuah proyek deradikalisasi harus berjalan dengan maksimal dan melibatkan banyak pihak, bahkan kebutuhan mendesak adanya regulasi (UU) yang bicara tentang keamanan negara misalkan UU Intelijen.

Karena dengan berbagai peristiwa “terorisme” dibangun sebuah wacana Indonesia dalam sikon “gawat darurat” karena menghadapi gejala tumbuh suburnya Ideologi impor yang hendak menjadikan Indonesia Darul Islam (negara Islam).

Wajar kalau saat ini masyarakat banyak terprovokasi, misalkan komponen ormas NU melalui Ansor-nya hendak membuat Densus-99 untuk menangkap setiap kelompok yang dicurigai melakukan pelatihan dan mengembangkan paham radikal, sama berlebihannya dengan mengintruksikan kepada seluruh anggotanya untuk melakukan swepping di seluruh masjid NU se-Indonesia untuk membersihkan dari paham radikal dan fundamentalis.

Deradikalisasi menjadi media baru lahirnya adu domba, dan potensial memprovokasi lahirnya kontraksi dan gesekan sosial lebih serius internal umat Islam sendiri.

Umat Islam dalam jebakan adu domba yang bernama proyek “kontra-terorisme” dengan berbagai strateginya termasuk deradikalisasi.

Waspadalah wahai kaum muslimin, karena orang-orang munafik yang benci kepada Islam, siang dan malam menyusun rencana dan agenda untuk memadamkan cahaya Islam atas alasan “demokrasi”, ”toleransi”,”kebebasan” dan “kebinekaan”. Wallahu a’lam bisshowab

dikutip dari : http://www.al-khilafah.co.cc/2011/04/teror-nii-dan-deradikalisasi-target-di.html

Perang Abadi Melawan Islam


Oleh Abdul Wahab Jibrin


“Islam adalah satu-satunya peradaban yang telah menempatkan kelangsungan hidup Barat dalam keraguan …”
[Samuel P. Huntington, Clash of Civilisation and the Remaking of the World Order]

Kebijakan konvensional saat ini di Washington menegaskan bahwa Amerika harus mengatur dunia terlebih dahulu , jika tidak maka kekacauan akan  merajalela, dan Amerika sendiri memiliki kekuatan untuk menetapkan dan menerapkan suatu tatanan global. Negara itu menjaga agar tidak ada negara lain yang memiliki visi, kemauan dan persepsi yang diperlukan untuk memimpin. Visi ini mencakup hak untuk mengartikulasikan prinsip-prinsip yang menentukan tatanan internasional. Doktrin-doktrin ini adalah nilai-nilai Amerika namun nilai-nilai ini harus diterima secara universal. Dalam pandangan mayoritas - jika bukan semuanya - dari para elit politik Amerika, seluruh dunia membutuhkan kepemimpinan Amerika, ini adalah keyakinan dasar yang mereka pegang. Selanjutnya, tanggung jawab tunggal membutuhkan hak prerogatif tunggal; daripada menunggu suatu peristiwa terjadi, para elit Amerika Serikat mendukung suatu sikap aktif.

Namun, ketika berkaitan dengan kekuasaan, Amerika Serikat membebaskan dirinya dari norma-norma yang mengharapkan negara-negara lain untuk mengikutinya. Sebagai contoh, standar ganda yang berkaitan dengan Islam, dukungan yang tak tergoyahkan terhadap Israel untuk melawan bangsa Palestina, prasangka yang  berkaitan dengan nuklir Korea Utara yang berlawanan dengan tindakan atas Iran yang non-nuklir, dan penolakannya untuk menandatangani perjanjian NPT (Non-Proliferation Treaty) sejak pemberlakuannya pada tanggal 5 Maret 1970 .

Keunggulan Amerika tidak akan bertahan lama. Fakta yang jelas adalah bahwa pembawa bendera ideologi sistem ekonomi kapitalis, sedang sekarat. Ketika pasar keuangan jatuh, dan memicu resesi di seluruh dunia, tidak seorangpun pakar ekonomi Barat yang bisa menyembunyikan masalah atau penyebab sebenarnya, apalagi mengutarakan suatu solusi yang bisa berjalan. Ketika suatu ide menghasilkan suatu masalah yang tidak bisa diselesaikannya maka ide itu dikatakan mati. Perang terhadap Islam pada saat ini merupakan pengganti Perang Dunia I, II dan III (yang terakhir lebih dikenal sebagai Perang Dingin). Sebuah headline surat kabar New York Times tanggal 21 Jan 1996 memuat berita ‘Bahaya Merah hilang, tapi datanglah Islam’ menghiasi halaman surat kabar itu. Namun, berbeda dengan peristiwa-peristiwa sejarah sebelumnya, Amerika berada dalam posisi yang jauh lebih lemah untuk melakukan Perang Dunia IV yang baru ini-  yang disebut oleh George Bush Jr sebagai ‘Perang Melawan Teror’.

Meskipun ada tanda-tanda yang jelas bahwa perang ideologi ini sedang mengarah ke Islam, Amerika membujuk semua negara untuk bergabung dengan perang mereka yang tanpa akhir ini. Pendekatan ini merupakan tanda menurunnya pengaruh Barat - dan pepanjangan kepemimpinan Amerika - hanya karena kepemimpinan memerlukan suatu arah yang bisa memobilisasi negara lain, sementara kekuasaan yang dilakukan demi dominasi hanya berfungsi untuk menundukkan pihak sekutu yang enggan mengikuti kemauan sebuah negara dengan kekerasan. Saat ini, Amerika telah mengerahkan peralatan militer berpresisi tinggi pada arsenalnya, yang diperlukan untuk menghadapi musuh yang setara, namun kita mungkin lupa bahwa hal itu hanyalah memerangi sekelompok kecil orang Islam, bahkan bukan melawan musuh yang setara. “Barat menundukkan dunia bukan karena keunggulan ide-ide atau nilai-nilai atau agamanya, melainkan dengan keunggulannya dalam menerapkan kekerasan yang terorganisir, Orang-orang Barat sering melupakan fakta ini, tetapi orang-orang non-Barat tidak pernah melupakannya “(Samuel P. Huntington).

Apalagi  setelah 11/9, Amerika menanggapi kejadian itu dengan cara yang memperburuk situasi yang sudah buruk, sehingga hasil akhirnya akan sangat sulit bagi Barat untuk mendefinisikannya. Mengingat fakta hari ini, bahwa Amerika bersikap antagonis di dunia Muslim. Terutama respons Amerika akan ketakutannya terhadap perang melawan Islam, sehingga pada gilirannya, membuat orang Amerika merasa kurang aman dan telah menginspirasi lebih banyak ancaman dan serangan. Namun demikian konsekuensi-konsekuensinya pasti akan berakhir dengan apa yang paling mereka takutkan, suatu entitas Islam tunggal. “Militer pada saat ini merupakan satu-satunya alat Amerika dan akan tetap demikian sementara kebijakan-kebijakan saat ini berlaku.  Tidak ada diplomasi publik, pujian presiden kepada Islam., atau politik debat yang benar yang menutupi kenyataan bahwa banyak dari 1,3 miliar kaum Muslim dunia yang membenci kita karena tindakan-tindakan kita dan bukan karena nilai-nilai kita, yang dapat membuat Amerika keluar dari perang ini. ” Anonymous, Keangkuhan Imperial.

Presiden Obama mewarisi situasi berbagai kebijakan luar negeri pemerintahan sebelumnya, dan tidak memiliki pilihan lain kecuali untuk mencoba dan mengelola kekacauan yang diwariskan . Pada akhirnya, hal ini akan menjadi faktor yang menentukan posisinya sebagai presiden dan ukuran kunci suatu pendirian. Sebagaimana yang dikatakan oleh Dmitry Shlapentokh dari laman website Asian Times : “Masalahnya bukanlah sikap naïf geopolitik Presiden Barack Obama, rasa malu atau bahkan pengkhianatan, sebagaimana yang dikatakan oleh banyak kritikus, melainkan kemungkinan bisa dilaksanakannya disain geopolitik Kaum Neo-Con, yang dibangun dengan cara yang sama seperti dibangunnya ekonomi AS, yang didasarkan pada spekulasi keuangan yang cepat atau pencetakan dolar “.

Keyakinan bahwa membangun Demokrasi melalui laras senjata akan bisa berjalan di dunia Muslim, malah menjadikannya ditinggalkan dan kembali ke pangkuan Islam dan kini telah berubah menjadi kubangan. Terlepas dari kenyataan pidato Obama di Kairo itu dimaksudkan untuk mengembalikan nama Amerika Serikat, dengan meyakinkan kaum Muslim bahwa Amerika tidaklah bertabrakan dengan Islam, diungkap oleh Wikileaks, dengan menghapus setiap ambiguitas bahwa hal ini nyata terjadi. Untuk menanggapinya, umat Muslim harus mengerahkan dirinya untuk dapat menggunakan haknya untuk menentukan nasib sendiri dan membebaskan diri dari hegemoni barat. Akibatnya Revolusi di Timur Tengah pada saat ini harus menuntut bagi adanya suatu Al-dawlah Al-Islamiyah (Negara Islam).

Selain itu, AfPak (Afghanistan-Pakistan) adalah sebuah kata baru yang digunakan dalam lingkaran kebijakan luar negeri AS untuk menunjuk Afghanistan dan Pakistan sebagai suatu teater operasi tunggal. Pemikiran di balik konflik Afghanistan ini terkait dengan sistem pengiriman nuklir Pakistan untuk seluruh wilayah itu dan di luar wilayah itu dan kemungkinan bertemunya kedua isu membuat pemikiran untuk meninggalkan wilayah ini pada saat ini sebagai hal yang tak terbayangkan bagi Amerika. Namun, opini publik AS sekarang terpolarisasi dan tidak lagi berkelompok-kelompok atas isu ini. Sebuah jajak pendapat CNN terbaru menunjukkan ; “Data jajak pendapat juga mengungkapkan bahwa 52% orang Amerika percaya bahwa perang ini telah berubah menjadi perang Vietnam yang lain”, dikarenakan tingginya angka kematian tentara AS [situs CNN].

Jika presiden Amerika melepaskan diri dari konflik AfPak dan situasi memburuk, maka dia selamanya pasti akan dicap sebagai seorang presiden yang kalah, sehingga menjadikan hal ini penting untuk berada di sana sampai akhir. Oleh karena itu, tiap hari diperlukan gelombang serangan pesawat Predator dan serangan Reaper tak berawak terhadap kaum perempuan muslim yang tak berdosa dan anak-anak.

Selain itu, Amerika perlu bantuan Pakistan di Afghanistanl; diketahui bagaimana pentingnya bagi elit Pakistan untuk mendesak dilaksanakannya tindakan brutal. Kebanyakan solusi yang diajukan dirancang untuk menarik elemen-elemen konflik AfPak yang tidak bertujuan melakukan Jihad global, seperti Taliban yang moderat, menjadi semacam pengaturan dalam rangka memfasilitasi strategi keluar Amerika dari kedua negara itu. Meskipun demikian, kekurangan dari strategi ini adalah bahwa Afghanistan bersekutu dengan musuh bebuyutannya Pakistan, yakni India. Akibatnya, upaya berulang-ulang oleh Washington untuk meyakinkan Islamabad bahwa India tidak akan menimbulkan ancaman bagi Pakistan jika mereka mendukung penghancuran Taliban dipandang sebagai kunci kemenangan AS di Afghanistan. Ini adalah perang yang Amerika tidak pernah bisa menang.

Beralih ke pertanyaan mengapa dunia Muslim memegang sangat tidak menyukai AS, marilah kita pertimbangkan beberapa fakta dan angka. Amerika hampir memiliki 800 pangkalan militer di seluruh dunia, yang sebagian besarnya berada di negeri-negeri muslim, sementara pangkalan-pangkalan yang baru dan bahkan lebih besar masih sedang dibangun. Negara itu menduduki Afghanistan dan Irak, memaksa pasukan Muslim yang besar untuk melakukan tawar-menawar di Pakistan, mengerahkan pasukan khusus ke berbagai negara-negara Muslim (Somalia, Sudan, dan Yaman), memenjara ribuan orang tanpa perlindungan, dan mengobarkan perang ide besar-besaran yang melibatkan ulama-ulama Islam untuk memutar balik konsep-konsep Islam dan mendirikan lembaga-lembaga untuk menyerang negara-negara Muslim dengan norma-norma barat. Demikian juga, memang benar bahwa jutaan guru, dokter, perawat, insinyur, diplomat dll, dari barat yang hidup di dunia Muslim digunakan sebagai mata-mata, yang diwawancarai oleh berbagai badan keamanan ketika mereka kembali ke negeri mereka. Anehnya, sejauh ini Amerika masih tampak bingung atas kenyataan mengapa sebagian umat Islam masih marah atas situasi ini.

Keyakinan bahwa umat Islam memiliki Allah (SWT) dan Nabi-Nya (SAW) adalah jauh lebih bergairah dan abadi dari pada keyakinan yang ditunjukkan oleh orang-orang Israel Amerika yang mendukung Neo-Cons dan gerakan Kristen Zionis yang telah memainkan peran utama dalam mengarahkan kebijakan AS ke arah yang mereka ingin, termasuk juga riba ekonomi. Meskipun demikian, barat juga suka pada agama mereka, Tuhan dan saudara-saudara mereka yang mirip dengan kelompok “Islamis”, suatu istilah yang diciptakan barat. Perbedaannya adalah bahwa para penginjil belum mengambil langkah perjuangan untuk pertahanan-Nya, karena semua orang telah menerima pemisahan yang legal di Amerika dan Eropa antara gereja dan negara. Tidak ada pemimpin agama kontemporer Barat  yang telah menganjurkan pembentukan negara berdasarkan iman Kristen, sedangkan umat Muslim menyerukan pelaksanaan Quran dan Sunnah, yang merupakan pegangan bagi semua aspek kehidupan, pribadi, keluarga, sosial, ekonomi, politik dan internasional. Allah SWT berfirman dalam Quran :


إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ

“Menetapkan hukum hanyalah hak Allah” [al-Anaam, 6:57]

Ide ini adalah inti yang merupakan pusat dari perang tak terbatas yang dikobarkan Amerika melawan Islam.“Lupakan strategi keluar, kita melihat suatu keterlibatan berkelanjutan yang tidak ada batas waktu” kata Donald Rumsfeld [New York Times 27 September 2001].

Amerika juga mahir dalam mendapatkan izin untuk menyerang musuh-musuhnya, target terakhirnya adalah Iran. Dengan dukungan dari para anggota parlemen ternama Amerika, pemerintah Israel tidak mengesampingkan diluncurkankaanya serangan pre-emptive terhadap fasilitas nuklir Iran, “Jam terus berdetak dan pada kenyataannya, kita hampir kehabisan waktu” kata Perwakilan Demokrat, Howard Berman ketika berbicara kepada para pemimpin Yahudi dalam komentar yang dimaksudkan untuk menghilangkan kekhawatiran bahwa pemerintahan Presiden Obama tidak melakukan hal yang cukup dalam menjinakkan ambisi nuklir Teheran. AFP

Di sisi lain, pilihan yang diambil adalah strategi pengurungan (strategy of containment). Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh George F. Kennan, seorang diplomat terkenal dan penasehat Departemen Luar Negeri Amerika untuk urusan Soviet. Dia menyarankan suatu “pengurungan jangka panjang, yang penuh kewaspadaan sabar namun tegas atas kecenderungan ekspansif Rusia”. Konsep politik ini dimaksudkan untuk mencapai tiga sasaran: pemulihan keseimbangan kekuasaan di Eropa, pemotongan proyeksi kekuasaan Soviet, dan modifikasi konsepsi Soviet dalam hubungan internasional. Iran bukanlah negara ideologis atau sebuah kekuatan superpower, sehingga jika Uni Soviet bisa dikurung dan akhirnya hancur tanpa satu peluru ditembakan, maka hal yang sama bisa dilakukan atas desain nuklir para mullah di Iran. Singkatnya, Teheran bukanlah Moskow. Dengan menggunakan sanksi tidak berprikemanusiaan dan, pada suatu tingkat, pembatasan akses terhadap kebutuhan dasar seperti makanan, Iran dapat dibujuk untuk mengubah arah kebijakannya.

Seruan untuk kembali kepada Islam memerlukan bentuk pemikiran tertinggi, yakni Pemikiran Politik . Ini merupakan penggabungan dari legislatif (Quran & Sunnah), Rasional, dan pemikiran Ilmiah tentang peristiwa-peristiwia dunia untuk menyimpulkan suatu solusi politik praktis. Untuk menjaga Islam dan umat Islam dari musuh-musuh mereka memerlukan pengawasan yang ketat dan konstan pada setiap episode politik di seluruh dunia.

Di masa depan, untuk bertahannya Negara Islam yang akan segera terwujud juga perlu menutup celah di antara yang ada diantara cara-cara militer dan tujuan-tujuan strategis. Negara Islam harus menjembatani kesenjangan antara apa yang diminta oleh tentara Islam untuk dilakukan dan apa yang mereka mampu lakukan dan selalu harus bergantung pada keberanian ideologi. Tentara Amerika dengan segala kecanggihan teknologi majunya belum mampu mencapai salah satu misi yang ditugaskan sejak tragedy 11/9. Memang, mereka  telah gagal untuk memenuhi salah satu tujuan seperti memberikan pertempuran bagi musuh, mengganggu rencananya, dan menghadapi ancaman terburuk sebelum mereka muncul. Selanjutnya, dunia Barat sekarang harus mempersiapkan diri bagaimana untuk bisa hidup berdampingan dengan Negara Islam yang pasti muncul.

Juga, kebijakan energi nuklir harus dirumuskan sekarang, bukan nanti.  Hal ini harus dibimbing secara khusus dari sudut pandang Islam. Hal ini akan membantu proyek kekuatan militer Negara Islam untuk berada di luar batas negaranya, sambil memberikan kemandirian keamanan dari ancaman keamanan potensial.

Perasaan Ummat, yakni perasaan muak kolektif  yang ada di sekitar keadaan saat ini harus terkonsentrasi pada pembangunan Politik Islam. Negara adalah satu-satunya yang membawa jaminan perlindungan terhadap ancaman, ketidakamanan dan permusuhan bagi Nabi selama masa hidupnya saat itu, dan hal itu pasti akan membawa hal yang sama pada saat ini bagi umat-Nya. Persatuan di bawah satu Negara adalah solusi yaitu Islam harus menggabungkan kekuatan ideologi dan kekuatan militer untuk mengakhiri perang yang tidak adil ini yang dilancarkan pada negeri-negeri Islam dan pada kaum muslim.

“Tidak peduli seberapa kuat militer anda, anda tidak dapat menghancurkan pikiran dengan peluru dan bom, terutama ide-ide yang berakar pada kebutuhan untuk menentukan nasib sendiri, keadilan dan hak-hak politik.” Alan Harts, mantan koresponden Vietnam ITN. (rza)

Sumber: khilafah.com (1/6/2011)

Siapa yang Lebih Membahayakan NKRI?



Kepala BNPT Ansyaad Mbai
Oleh: Harits Abu Ulya

DALAM sebuah wawancara dengan situs Kristen Reformata berjudul, “Tujuan Mereka Adalah Negara Islam!” (di Posting 07 Juni 2011), Kepala BNPT Ansyaad Mbai untuk kesekian kalinya mencoba menjelaskan cara pandangnya terhadap persoalan radikalisme dan terorisme di Indonesia.

Di kota Makasar-Sulsel, BNPT juga pernah menggelar seminar nasional bertajuk “Ayo Lawan Terorisme”, di Balai Prajurit M Yusuf, Makassar, Rabu (25 Mei 2011). Saat itu, tampil sebagai pemateri, Kepala BNPT Ansyaad Mbai, Perwakilan Kedutaan Australia Andrew Barner, Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo, Perwakilan Kadin Indonesia Wibawanto Nugroho, Ketua Komisi I DPR RI Luthfi Hasan Ishak dan dipandu Guru Besar UIN, Prof Dr Hamdan Juhannis.

Mbai dihadapan ratusan remaja dan mahasiswa juga mengulang penjelasan yang sama seperti diberbagai forum sebelumnya. Penulis melihatnya hal ini wajar. Beliau harus bicara di mana-mana dengan konten seperti itu karena posisinya di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Tapi yang menjadi tidak wajar jika kita menguji pemikiran (doktrin) Mbai terkait persoalan terorisme dan akar masalahnya. Dalam wawancaranya dengan situs Reformata minimal ada beberapa poin yang bisa kita uji kesahihannya.

Pertama; ia mengatakan, ciri-ciri radikalisme (mengutip pandangan Gus Dur dalam buku Ilusi Negara Islam), antara lain bahwa kelompok itu suka mengkafirkan orang. “Jangankan yang berbeda agama, yang berbeda saja, dalam tata ibadah misalnya, itu sudah dianggapnya kafir.”

Kedua, beliau juga mengatakan, ciri-ciri mereka selalu mengatasnamakan Tuhan untuk menghukum yang lain. “Tujuan gerakan mereka adalah ingin mengubah negara bangsa menjadi negara agama. Ganti ideologi Pancasila dengan Islam versi mereka, mengganti NKRI dengan khilafah. Ini ancaman bagi NKRI, karena itu Presiden selalu mengatakan, negara tidak boleh kalah, bagitu katanya.

Ketiga, Mbai juga mengatakan begini; “jelas tujuan mereka adalah Negara Islam, khilafah dan penegakan syariat Islam.”

Ada banyak hal yang perlu ditanggapi masalah ini. 
Pertama, cara main kutip tanpa memperhatikan kredibilitas buku adalah sangat berbahaya. Lebih-lebih referensinya buku “Ilusi Negara Islam” terbitan LibForAll Foundation (kerjasama The Wahid Institut dengan Ma’arif Institut dan Gerakan Bhineka Tunggal Ika yang diluncurkan 16 Mei 2009) ini telah banyak menuai kritikan.

Empat peniliti asal Yogyakarta, Zuli Qodir, Adur Rozaki, Laode Arham, Nur khalik Ridwan, memprotes isi buku “Ilusi Negara Islam” tersebut. Buku itu dinilai tidak sesuai dengan yang diteliti dan isinya “mengadu domba” umat Islam. Aneh bukan?

Buku yang memuat hasil penelitian mereka (4 orang di atas), tapi justru ketika jadi buku isinya jauh dari apa yang ditelitinya. Isi dari buku telah menyimpang dari yang mereka teliti selain mereka juga tidak dilibatkan dalam proses penerbitan. Dan tujuan penerbitan di nilai telah bergeser dari riset yang semula bertujuan akademik kepada kepentingan politis. Dan ini diperkuat hampir semua peneliti daerah yang namanya tercantum dalam buku tersebut tidak pernah diajak untuk berdialog menganalisis temuannya dalam kerangka laporan hasil penelitian yang utuh. Di catutnya para peneliti daerah hanya untuk melegitimasi kepentingan politis pihak asing. Sebagaimana dilakukan Holland Taylor dari Lib For All, Amerika Serikat yang begitu dominan bekerja dalam kepentingan riset dan penerbitan buku itu. Jika malu mengatakan buku ini ilmiah. Dari sini saja sudah bermasalah, kenapa hasilnya juga dipaksakan seolah itu pendapat shahih? Apalagi yang disimpulkan itu masalah penting, menyangkut syariat Islam.

Serasa lebih aneh lagi dengan buku tersebut ketika mencantumkan Gus Dur menjadi editornya. Padahal, pada saat itu Gus Dur terganggu penglihatannya sehingga tidak mungkin Gus Dur bisa mengeditnya, aneh bukan?

Penulis pernah menjadi salah satu penanggap dalam diskusi terbatas yang di lakukan Litbang Depag Pusat (Tahun 2010), membahas buku “Ilusi Negara Islam” dengan menghadirkan salah satu narasumbernya adalah Direktur The Wahid Institute. Banyak perserta diskusi mengkritisi dan tidak puas bahkan meragukan kredibilitas dan intelektualistas orang-orang The Wahid Institute jika mengacu kepada produk buku “Ilusi Negara Islam”. Sebuah buku yang substansinya sarat adu domba dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Buku yang cacat secara ilmiah. Namun tetap saja, buku ini tak pernah direvisi dan tidak pernah ditarik. Bagaimana mungkin sebuah istitusi riset masih saja mengeluarkan buku bermasalah? Ada apa ini?

Rupanya, buku semacam inilah yang dijadikan referensi Ansyaad Mbai untuk menjelaskan doktrin-doktrinya siapakah yang dianggap radikal atau yang bukan radikal. Apalagi itu dilakukan dengan sebuah parameter yang gegabah dan sarat dengan cara pandang yang tendensius.

Dengan tetap memaksakan menggunakan buku “Ilusi Negara Islam”, Mbai, kata orang Jawa, ingin “nggepuk, nyilih tangan” (memukul dengan meminjam tangan orang, red).

Bagi Mbai --seperti yang pernah ia ungkapkan juga di Loka Karya Sespim 27 Oktober 2009-- pada umumnya jika seorang mempunyai persepsi (mindset) tentang adanya kondisi yang menindas secara terus menerus oleh Barat pimpinan AS terhadap Islam. Dan kemudian menganggap bahwa kondisi tersebut adalah ketidakadilan yang harus diubah maka cukup seorang bisa di labeli Radikal bahkan teroris. Nah, jika itu alasanya, akan banyak para intelektual dan para pengamat politik yang masuk kategori “radikal” dan “teroris”. Apalagi jika dikaitkan dengan kewajiban dalam Islam “amar makruf nahi munkar”, berapa juta orang yang akan masuk radikal jika mereka dengan beraninya mengkritisi setiap kedzaliman yang dilakukan oleh penguasa atau oleh negara imperialis semacam Amerika?

Sungguh naïf sekali jika pendapatnya untuk mengidentifikasi seorang itu radikal atau tidak dengan ciri-ciri sangat sederhana. Bahkan terlihat lebay memberikan label radikal jika ada seorang mengkafirkan orang lain karena berbeda dalam masalah ibadahnya. Betulkah demikian? Apakah ada di ormas Islam NU, Muhamadiyah, AL Wasilah, Al Irsyad atau DDII saling mengkafirkan karena perbedaan dalam wilayah ibadah (furu’iyah)? Umat Islam tak sebego itu melakukannya. Mereka memang berbeda pendapat, namun mengkafirkan orang itu bukan masalah main-main. Hukumannya sangat berat. Jadi di mana ada ormas atau kelompok Islam saling mengkafirkan? Dari mana dapat data itu? Mengapa hal seperti ini diungkapkan di publik tanpa data akurat?

Umat Islam “sudah melek akidah dan fiqh”, tak akan mengkafirkan atau memurtad kan orang” hanya untuk urusan furu’iyah (cabang-cabang ibadah).

Kedua,  lebih setia mana kelompok Islam dan pesantren dengan kelompok yang mengusung semangat etno-nasionalism atau separatism seperti OPM (organisasi Papua Merdeka) dan Republik Maluku Selatan (RMS)? Ribuan pesantren di Indonesia hadir justru untuk membantu pemerintah mengatasi kemiskinan dan tingkat buta huruf. Harusnya beruntung pemerintah pada mereka yang ingin mendirikan sekolah-sekolah gratis dan menyelanggarakan pendidikan tanpa bantuan pemerintah. Betapa pusingnya pemerintah jika semua harus ditanggung. Sedang mengurusi Century dan operasinya Malinda Dee saja sudah pusing.

Banyak mahasiswa aktif di masjid-masjid kampus. Mereka rajin shalat dan rajin belajar. Karena sifat berislam itu, jika ia makin beriman, maka ia majin rajin dan ingin berprestasi. Maka tak sedikit aktivis kampus itu menjadi peneliti, doktor dan profesor dan akhirnya menjadi cendekiawan yang akhirnya membantu dan menjadi mitra pemerintah juga.

Mereka kuliah sembari belajar agama, supaya mereka tidak menjadi ilmuwan, politisi atau teknokrat yang koruptor. Sudah beruntung pemerintah tidak mengeluarkan biaya training mereka selama kuliah. Lha kok para aktivis Islam ini justru "diburu?" dan dimasuk-masukkan kategori "radikal” dan “teroris”. Mengapa bukan para bandar narkoba yang merusak mental jutaan remaja kita?

Kenapa pula BNPT dengan Densus 88 tidak bekerja keras menangkap OPM, RMS dan bandar narkoba dan para koruptor selama 7 kali 24 jam? Sementara hingga saat ini lebih dari 600 orang aktifis Islam dalam bui rezim karena dikaitkan dengan “terorisme”.

Di bidang perminyakan, penghasil minyak utama didominasi oleh asing. Di antaranya, Chevron 44%, Pertamina & mitra 16%, Total E&P 10%, Conoco Phillip 8%, Medco 6%, CNOOC 5%, Petrochina 3%, BP 2%, Vico Indonesia 2%, Kodeco Energy 1 % lainnya 3% (sumber: Dirjen Migas, 2009).

Di bidang pertambangan, lebih dari 70% dikuasai asing. Porsi operator minyak dan gas, 75 % dikuasai asing. Asing juga menguasai 50,6% aset perbankan nasional per Maret 2011. Total kepemilikan investor asing 60-70 persen dari semua saham perusahaan yang dicatatkan dan diperdagangkan di bursa efek. Dari semua BUMN yang telah diprivatisasi, kepemilikan asing sudah mencapai 60 persen. Begitu pula telekomunikasi dan industri sawit pun juga lebih banyak dikuasai asing (lihat, Kompas, 22/5).

Lantas siapa sebenarnya yang membahayakan NKRI? Jika kita telisik banyak sekali kebijakan-kebijakan politik yang menjadikan kedaulatan NKRI hanya menjadi mimpi di siang bolong.

Ketiga, Mbai mencontohkan Malasyia dan Singapura tentang perangkat hukum. Menurutnya, Malaysia sangat keras terhadap kelompok Islam. Menurutnya, di sana, radikalis tidak memiliki ruang gerak. Ia mencontohkan Mahathir, mantan perdana menteri Malaysia yang dianggap tegas. Sebbab semua ceramah, dakwah atau apa pun yang ditengarai menyebarkan permusuhan dan kebencian, itu ditangkap dan dimonitor. Sungguh aneh, apa yang dilakukan Mahatir (yang sebenarnya ingin meniru Pak Harto) dianggap mundur. Sebab di hari akhir, pak Harto merevisi kebijakannya semasa Orde Baru. Lha kok pak Mbai ingin kita seperti Orde Baru lagi?

Atau mungkinkah pemerintah ingin menerapkan kembali masa Orde Baru, sebagaimana kini diterapkan di Malaysia? Di mana semua masjid akan diberi kamera? Aktivis Islam ditangkapi dan dipenjara? Mengapa tak berkaca pada jatuhnya Soeharto, Revolusi di Mesir, Aljazair dan beberapa Negara Timur Tengah?

Sebagai bagian dari umat, rasanya ingin sekali penulis berdiskusi secara gayeng dengan Mbai. Sayang, di banyak kesempatan beliau jarang membuka ruang dialog secara fair dan gayeng. Dalam banyak diskusi yang saya temui, beliau datang, lantas pergi.

Telah banyak darah umat Islam tumpah untuk negeri ini. Banyak darah syuhada, ulama para santri menjadi saksi hingga negeri ini berdiri sampai kini. Jadi, mengapa masih saja umat Islam dianggap membahayakan NKRI dan dipertanyakan kesetiannya?

Penulis Ketua Lajnah Siyasiyah DPP HTI 

(hidayatullah/al-khilafah.co.cc)