Laman

Sabtu, 01 Oktober 2011

Bomber Solo: Siapa Mereka? (Membaca Anatomi Kelompok Bomber dan Follower)

Oleh: Harits Abu Ulya (Pemerhati Kontra-Terorisme & Direktur CIIA (The Community Of Ideological Islamic Analyst)

Akhirnya Mabes Polri (Selasa, 27/9) memastikan siapa pelaku Bom GBIS Kepunton Solo. Ia adalah Ahmad Yosepa alias Hayat, ia termasuk satu dari lima orang DPO peristiwa pengeboman masjid Azd Dzikra Mapolresta Cirebon pada 15 April 2011. Diluar itu, spekulasi bermunculan tentang siapa sebenarnya para pelaku ini? Demikian termasuk spekulasi lainya yang muncul.
Jika kita inventarisir spekulasi-spekulasi terkait bom Solo kali ini, ada beberapa poin: Pertama, siapakah Hayat sebenarnya? Dan dari jaringan atau kelompok manakah ia? Apa masih terkait dengan jaringan JI atau lainya? Kedua, apakah aksi Hayat itu murni inisiatifnya dan stiril dari rekayasa intelijen? Ketiga; adakah kaitanya dengan peristiwa Ambon paska Idul Fitri kemarin? Keempat; apa hubunganya dengan rencana DPR melegislasi RUU Intelijen dan proyek massif deradikalisasi BNPT?
Menurut saya (penulis) point-point di atas bisa dipisah dalam dua wilayah. Pertama, adalah siapa hakikat pelaku dan bagaimana langkah-langkah aksinya dan kedua adalah implikasi-implikasi politiknya. Implikasi ini bisa saja adalah plan yang sudah disiapkan satu rangkaian dengan peristiwa bom Solo, dengan asumsi jika bom bunuh diri itu adalah by design. Atau implikasi itu adalah plan yang dibuat sebagai respon cepat pada momentum yang tepat, inilah kerja para follower dalam isu terorisme di Indonesia. Para follower bekerja sedemikian rupa, untuk mencapai target yang maksimal dengan berbagai kompensasinya.
Untuk mengeja jawaban empat point diatas dan relevansi antar point tersebut, saya perlu paparkan fakta dan realita dari elaborasi (riset) lapangan:
Fakta kelompok dan hubungan antar mereka
Pada paparan beberapa fakta, saya (penulis) melokalisir pada person-person yang terkait kasus Bom Cirebon dan Bom GBIS Solo karena disana kita temukan irisan dan korelasi antar tandzim (sel). Ada tiga jaringan (tandzim) yang bergerak dengan amaliyah “jihad fardiyahnya” yakni; Tim Hisbah Solo, Kelompok Cirebon dan Tim Ightiyalat Klaten, (ightiyalat: melakukan jihad, baik dalam bentuk pembunuhan dari individu atau pembunuhan rahasia sasaran individu) .
Di akhir 2009 seseorang yang bernama Musolah tercatat ikut pengajian Tim Hisbah beberapa kali di Masjid al Anshor, Semangi, Solo, yang akhirnya ia pulang balik ke Cirebon. Saat itu Tim Hisbah yang basisnya di Solo di pimpin oleh Sigit Qordowi, cuma tidak terang bagaimana pertama kali pertemuan antar mereka terjadi. Cuma perlu dicatat bahwa perjumpaan itu bisa dengan berbagai kemungkinan. Apalagi saat sekarang banyak medium (missal; jejaring sosial) memudahkan komunikasi antar person.
Di Bulan Desember 2009 sesorang yang bernama Atok membentuk Tim Ightilayat di Klaten, yang kemudian di bulan Mei 2010 Tim Ightiyalat mulai mencoba belajar merakit bom dengan Heri Sigu Samboja, seseorang yang lahir dari keluarga yang diduga kuat anggota JI, ia bergabung dengan Noordin M Top, dan sempat belajar merakit bom dengan Dr Azhari, akhirnya Heri SS ditangkap ditahun 2004, dipengadilan di vonis 7 tahun penjara, kemudian bebas di tahun 2008.
Pada bulan September 2010 Tim Ightiyalat yang dibentuk oleh Atok berfusi dengan Tim Hisbah untuk melakukan amaliyah (serangan) terhadap polisi dan gereja.
Ada catatan sebelumnya di bulan September 2009 Syarif (pelaku bom Mapolresta Cirebon), Musolah dan seorang lagi yang bernama Yadi di duga terlibat perusakan toko Alfamart Cirebon karena alasan menjual miras dalam sebuah sweeping yang mereka lakukan bersama beberapa person dari komponen lainya.
Kemudian pada awal bulan Desember 2010 upaya amaliyah yang direncanakan kelompok gabungan dua jaringan (Tim Hisbah dan Ightiyalat Klaten) yakni pemboman di Sukoharjo gagal. Tapi ini tidak menyurutkan langkah mereka untuk melakukan amaliyah-amaliyah berikutnya karena terbukti di pertengahan bulan Desember 2010, Sigit Qordowi dari Tim Hisbah meminta anak buahnya yang berinisial EJ untuk membeli senjata. Kemudian EJ menelpon Musolah di Cirebon dan 2 kali di bulan Desember 2010 dan Februari 2011 mereka mendapatkan senjata. Di akhir Februari anak-anak Klaten (jaringan Klaten) minta tolong dari EJ untuk mencari tempat tinggal karena seorang yang bernama Atok dari tim Ightiyalat baru di tangkap. Akhirnya EJ menindaklanjuti dengan meminta tolong kepada Musolah, akhirnya kemudian orang tersebut pindah ke Cirebon.
Di bulan Maret 2011 Sigit Qordowi mencoba untuk mengusahakan senjata lagi dan kembali meminta EJ untuk mencari, akhirnya tanggal 10 April 2011 EJ ke Cirebon untuk mengambil pesanan senjata dari tangan Musolah kemudian dia kembali pulang.
Di tanggal 15 April 2011 Peristiwa bom bunuh diri di Cirebon terjadi, saat itu Musolah menghubungi EJ via telpon dan memintanya untuk turun ke lapangan (Cirebon). Disana EJ diminta mencari tempat yang lebih aman di wilayah Solo untuk 2 orang teman dari Musolah yaitu bernama Yadi dan Hayat alias Raharjo (alias Achmad Yosepa) karena mereka ikut menolong atau membantu Muh. Syarif (pelaku bom Cirebon), sementara Musolah sendiri menghilang lari ke wilayah Tegal Jawa Tengah.
Antara tanggal 17 s/d 19 April 2011 EJ berusaha mencari tempat untuk mereka menjual bakso namun tidak berhasil dan justru pada tanggal 19 April 2011 keberadaan Musolah terhendus oleh aparat bahkan kemudian tertangkap. Akhirnya informasi tertangkapnya Musolah ini mendorong Hayat lari ke Karang Anyar, sementara Yadi lari ke Bandung. Sementara EJ sendiri di tanggal 12 Mei 2011 ditangkap dan di hari berikutnya tanggal 13 Mei 2011 Sigit Qordowi tewas tertembak oleh Densus 88 di Sukoharjo. Dan akhirnya publik melihat peristiwa pada tanggal 25 September 2011 terjadi aksi bom di GBIS Solo dan Hayat alias Achmad Yosepa alias Raharjo alias Achmad Abu Daud dipastikan oleh Mabes Polri paska uji DNA sebagai pelakunya.
Dan masih ada DPO lainya dalam perburuan aparat Densus88; Amir Ashabul Kahfi Cirebon, Yadi alias Hasan (diduga menyembunyikan pelaku bom Klaten dan memerintahkan untuk memberikan pelatihan merakit bom), Heru Komarudin (di duga perakit bom yang dipakai M.Sarif di Mapolresta Cirebon), Beni Asri dan Nanang Irawan alias Nang Ndut alias Gendut alias Rian (dua orang ini di duga yang terlibat menyembunyikan rangkaian bom). Dan diduga juga seorang yang bernama Sohir (terpidana Bom Bali yang sudah bebas) menjadi tempat belajar merakit bom Hayat dan termasuk Sarif sebelumnya, karena Sohir dikenal cukup piawai merakit bom. Sementara bocoran intelijen MI6 Inggris mensinyalir kota Surabaya dan Semarang menjadi sasaran potensial untuk aksi berikutnya.
Mengeja Spekulasi
Dari fakta-fakta ini kita mencoba mengeja jawaban point diatas. Pertama, siapakah Hayat sebenarnya? Dan dari jaringan atau kelompok manakah ia? Apa masih terkait dengan jaringan JI atau lainya?
Hayat adalah termasuk DPO kasus Bom Cirebon, anak pertama dari tiga bersaudara, dan sejak kecil ia ikut ayahnya yang bernama M.Daud Turani dan ibunya bernama Hindun transmigrasi ke Kalimantan. Hayat memiliki nama asli Pino Damayanto di akte kelahiran dan karena sering sakit kemudian diganti nama menjadi Ahmad Urip, ia dilahirkan di Losari, Cirebon 19 Oktober 1980 dan beralamat di Jl Pandesan kota Cirebon.
Kedua orang tuanya sendiri sudah lama tidak berjumpa atau berhubungan dengan Yosepa. Pendidikannya dari awal di SD Losari kemudian dilanjutkan SMP saat di Kalimantan, dan masa SMA nya di Ciledug Kabupaten Cirebon. Yosepa tidak pernah mondok, berbeda dengan isu diluar yang menyatakan Yosepa pernah mondok di Ngruki selama tiga tahun. Sejauh yang terungkap, jualan bakso adalah salah satu pekerjaan yang ia tekuni sekalipun tidak sukses.
Saat di Cirebon Hayat pernah mengikuti MMI dan kemudian berafiliasi ke JAT (terlepas apakah bagi MMI atau JAT sendiri, Hayat diakui sebagai anggotanya atau tidak, karena di JAT sendiri ada mekanisme penerimaan seseorang bisa menjadi anggotanya. Dan kalimat mengikuti tidak selalu berarti menjadi anggotanya). Hayat sering bersama Sarif (pelaku bom Cirebon) dalam berbagai aksi sekalipun ia tidak seagresif Sarif, namun kesamaan visi yang dimiliki antar mereka menjadikan mereka membangun “tandzim” sendiri melepaskan diri dari kelompok yang sebelumnya mereka berafiliasi.
Maka saya (penulis) memberanikan diri untuk memberi catatan; bahwa mereka tidak terkait dengan kelompok gerakan Islam yang ada (seperti tuduhan sebagian pihak yakni yang dimaksud gerakan tersebut adalah MMI dan JAT). Mereka ada dalam simpul-simpul yang penulis ungkap diatas (jejaring Cirebon,Solo dan Klaten). Sebuah tandzim baru yang dilahirkan oleh situasi, sebuah entitas baru yang mencoba untuk eksis membawa ideologi jihad versi mereka. Mereka adalah entitas dari produk zaman, Mereka adalah manefestasi dan artikulasi percikan dari umat Islam yang dalam kontek sekarang menjadi korban imperialism global dan lokal. Mereka memahami kondisi tersebut perlu respon, tanpa memperdulikan keabsahan aksi mereka secara syar’I, begitu juga implikasi-implikasi politiknya (yang faktanya hari ini langkah mereka menjadi kontraproduktif terhadap Islam dan perjuangan Islam, atau minimal menjadi legitimasi kelompok pembenci Islam semakin massif langkahnya untuk mengaborsi geliat Islam dan umatnya).
Jika mereka pernah bersua beberapa person yang latarbelakangnya di duga anggota JI, tentu tidak bisa di vonis bahwa mereka adalah produk JI atau JI itu sendiri. Tidak harus JI yang bisa stimulus lahirnya tandzim baru dalam ranah jihad. Sikon politik yang mendzalimi umat Islam juga bisa mengispirasi siapapun dari umat Islam yang memiliki ghiroh (semangat) untuk membangun jaringan (tandzim). Menghimpun orang-orang yang sevisi dan melakukan aksi sebagai respond dan jawaban mereka terhadap sikon politik yang ada. Dan kita tentu tidak bisa membuat logika yang premature, misalkan; seorang koruptor pernah kuliah di UI atau UGM, tentu tidak terima jika institusi UI dan UGM divonis adalah koruptor atau sarang koruptor. Dan begitu juga sebaliknya, seorang jebolan UI dan UGM kemudian dia menjadi koruptor tentu bukan karena dia belajar bagaimana dia korupsi atau UI dan UGM mengajari korupsi. Tidak ada hubungan timbal balik otomatis dalam konteks ini.
Bisa jadi mereka berinteraksi dengan lintas tandzim (baik yang sirri maupun yang terbuka), kemudian mereka terinspirasi keluar dari tandzim itu semua. Dan berikutnya mengkonstruksi “ideologi” baru bagi kelompoknya. Dan yang tidak boleh di abaikan sama sekali adalah adanya kemungkinan diantara mereka ada penyusupan oleh intelijen, sehingga entitas mereka adalah produk intelijen dengan berbagai kepentingan diluar kendali mereka (mengingat lahirnya JI juga terindikasi ada kontribusi agen/intelijen, begitu juga kasus lainya dan dalam hal ini perlu elaborasi terpisah lebih jauh) .
Tentang urusan kemampuan mereka menyiapkan dan merakit bom, dunia maya menjadi tempat selancar yang baik. Di sana cukup banyak guiden untuk menjadikan seorang mahir atau minimal punya kemampuan dasar (seperti pasukan komando) dalam masalah bom. Hal ini terbukti dari kelompok Pepi (bom serpong). Tidak harus belajar langsung kepada seorang guru yang berpengalaman dibidang bom (alumni Afghanistan, Kamp Hudzaibiyah, atau konflik Ambon dan Poso).
Bahkan dalam hal keterkaitan dengan kelompok jihadis Ambon atau Poso, penulis melakukan riset tidak menemukan keterkaitan langsung atau tidak. Mereka yang ada di Poso atau Ambon diluar pusaran amaliyah “jihad Fardiyah” kelompok Hayat cs. Terlalu naïf jika mereka di vonis satu jaringan misalkan hanya karena kesamaan bahan baku peledak dan tehnik perakitannya. Atau hanya kesamaan sama-sama memiliki visi jihad. Atau masuk jauh pada asumsi misalkan karena sama-sama memiliki ideologi Islam Radikal fundamentalis. Masih perlu bukti lebih akurat, tidak hanya berdasarkan asumsi dengan demikian mudah mengeneralisir.
Kedua, apakah aksi Hayat itu murni inisiatifnya dan stiril dari rekayasa intelijen? Sekaligus relevansinya dengan kasus Ambon yang terbaru? Dari pola dan pergerakan mereka, cenderung ini adalah kelanjutan program kelompok Hayat sebelumnya. Disamping mereka sadar betul dalam perburuan dan menjadikan ruang gerak mereka semakin sempit dan terbatas. Dan ditambah persepsi yang tidak positif terhadap aparat (khususnya Densus88), yaitu kecondongan arogansi dan eksekusi mati terhadap orang-orang yang terduga terlibat aksi bom bunuh diri (apalagi jika ada korban didalamnya dari anggota Tribrata/Polisi). Maka dalam sikon seperti ini, akan mendorong seseorang pada pilihan fatal yaitu aksi bom, seperti rencana semula mereka. Di sisi lain mereka sudah seperti kehilangan induk, tanpa lagi ada komando (komandan). Karena sebagian besar “komandan” sudah di penjara, sehingga yang masih diluar “ngalor-ngidul” (istilah orang jawa; seorang yang kehilangan orentasi/bingung).
Jika ada dugaan sebagian pihak bahwa ini rekayasa atau pembiaran, bisa jadi logis karena laporan intelijen mengungkap adanya pergerakan kelompok mereka. Pada 14 Agustus di ungkap dalam laporan intelijen bahwa ada 5 orang yang di baiat dan 9 orang remaja yang belum dibaiat namun hadir dalam agenda itu. Jadi ada pergerakan di beberapa tempat. Jika dikaitkan dengan posisi tragedi Ambon paska idul fitri tidak terlalu relevan, namun bisa dimaknai posisi Ambon menjadi momentum keluarnya mereka kepermukaan untuk melaksanakan aksinya. Terlepas apakah peristiwa Ambon itu by design atau tidak (penulis, mendapatkan informasi yang mengindikasikan kasus Ambon dijadikan pancingan untuk mengeluarkan DPO dan termasuk untuk melahirkan para Jihadis baru muncul dipermukaan). Apalagi ditambah sikon di Ambon sebelum aksi bom di Solo terjadi teror bom secara beruntun di Karang Panjang, Terminal Mahardhika, Gereja Maranatha dan Gereja di Jalan Karang Panjang dari mulai hari Minggu sampai hari Senin malam.
Jika hendak mendiskusikan lebih jauh tentang “lemahnya” intelijen yang menjadikan Presiden SBY geram. Ada kemungkinan lemahnya kordinasi antar institusi intelijen terjadi, mengingat pola kerja Densus88 (yang 70% lebih fungsi mereka di intelijen) selama ini berdasarkan dugaan atau asumsi seseorang memiliki potensi ancaman, maka ia bisa diaborsi sebelum beraksi. Namun kali ini seolah kecolongan dan padahal terungkap sebelumnya adanya informasi intelijen di bulan Agustus tentang kemungkinan pergerakan dan aksi dari kelompok-kelompok tertentu (dan tidak keluar dari kelompok yang penulis ungkap diatas). Bisa juga munculnya dugaan (logika), terjadi gap atau persaingan antar institusi atau personel intelijen yang ada, hingga berakibat lemahnya kordinasi dan efeknya tidak bisa melakukan usaha preventif sebelum aksi bom Solo.
Ketiga; Apa hubunganya dengan rencana DPR melegislasi RUU Intelijen dan proyek massif deradikalisasi BNPT? Tentang point ini penulis lebih tepat mengatakan para follower yang konsen di bidang kontra-terorisme yang berada diberbagai lembaga dan institusi lagi sedang bekerja dan menemukan momentumnya.
Peristiwa bom Solo kali ini kalau bisa dijadikan penguatan asumsi RUU Intelijen harus segera di sahkan oleh DPR setelah sebelumnya di finalisasi secara tertutup oleh tim DPR dan Pemerintah. Dan bahkan kemudian memperkuat serta melegitimasi proyek kontra-terorisme dalam bentuk soft power berikutnya yaitu deradikalisasi yang dikomandani oleh BPNT. Seperti dalam kesempatan tertutup BNPT (Ansyad Mbai) dengan Komisi III DPR-RI mengusulkan anggaran 126 Miliar rupiah untuk proyek ini, dan menarget 800 ribu masjid dan 40 ribu pesantren menjadi partner BNPT, bahkan sudah membuat MOU dengan beberapa ormas Islam untuk proyek deradikalisasi.
Sang Presiden-RI; orang yang cukup peka kesempatan. Banyak pihak membaca langkahnya menyikapi bom Solo sangat bernuansa politik. Dan begitulah adanya, karena disana ada ketimpangan jika sang Presiden di baca bagaimana sikap ia terhadap kasus lainya yang serupa. Misalkan rakyat tidak melihat sikap tegas presiden terhadap kerusuhan di Ambon yang menewaskan beberapa orang muslim, yang di picu kematian tidak wajar tukang ojek yang beragama muslim (yang sampai tulisan ini dibuat juga belum di publish siapa pelaku pembunuhan tukang ojek tersebut). Atau bagaimana sikap sang presiden terhadap kelompok bersenjata di Papua yang beraksi menewaskan beberapa orang termasuk didalamnya aparat kepolisian dan TNI. Sangat sumbang dan timpang memang, semua rakyat membaca langkah dan sikap dia hanya untuk mengalihkan perhatian rakyat terhadap rusak, bopeng dan jebloknya pemerintahan dia yang terjebak dalam pusaran skandal mega korupsi.
Sang Presiden seperti seorang follower sejati, mengetahui waktu yang tepat untuk menggeser perhatian rakyat dari skandal politik pemerintahan ke urusan bom petasan yang di dramatisir seolah membahayakan toleransi, pluralism dan demokrasi.
Kalau ada upaya pengkaitan dengan kelompok ormas tertentu, ini juga pekerjaan para follower yang sejak awal sangat bernafsu ingin mengaborsi kelompok-kelompok Islam tersebut (misal; MMI dan JAT atau kelompok lainya yang di cap radikal fundamentalis). Ini terlihat opini yang digiring oleh media, dan bahasa-bahasa tendensius yang mereka gunakan.
Di akhir tulisan ini, penulis mau katakan; saatnya penguasa dan para politikus muslim yang terlibat dalam sebuah keputusan penting menyangkut nasib kehidupan sosial politik rakyat Indonesia yang notabene mayoritas adalah muslim, agar bersikap obyektif,  jujur dan menjadikan akidah yang ada dalam dirinya menjadi maqoyis (standar) dalam tiap keputusannya. Sudah terlalu lama Islam dan umatnya terdiskriditkan dengan isu terorisme. Jangan sampai Indonesia betul-betul berubah menjadi “state terrorism” dan akhirnya berhadapan secara diametrikal dengan umat Islam. Kekuasaan itu sementara, dan hisab Allah SWT itu pasti, maka tidak beriman orang yang tidak amanah dengan kekuasaan. Wallahu a’lam bishowab (the.ciia2020@gmail.com/eramuslim.com,Kamis, 29/09/2011)
http://www.eramuslim.com/berita/analisa/bom-solo-siapa-mereka-membaca-anatomi-kelompok-bomber-follower.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar